Senin, 28 Maret 2016

Time Error (2) : Siapa?



Rainy bangun dari tidur dengan perasaan yang aneh, tangannya seperti ada bekas cengkeraman. Rainy berusaha untuk berpikir positif, bagaimana pun sebenarnya dia begitu takut. Why? Karena rumah yang ditinggali Rainy dan keluarganya kata tetangganya angker. Tapi ini untuk pertama kalinya Rain merasakan hal aneh.


Langkahnya terasa ringan menuju sekolah, cahaya matahari pagi begitu menyilaukan matanya. Namun ada secercah senyuman dimatanya. Senyuman yang hadir karena cahaya hangat matahari.

“Rain, nanti aku kerumahmu ya?” Veno menyapa Rain sambil duduk disamping Rain.

“oke boleh kok.” Jawab Rain.

Pelajaran berlalu dengan cepat, dan jam pulang telah tiba. dengan malas Rain berjalan kearah gerbang, Rain berjalan sambil melihat-lihat bekas cengkeraman di tangannya.

“Rain.” Terdengar suara memanggil Rain.

“Ardi.” Rain menjawab sambil menoleh.

“Mau ambil kuliah dimana? Udah ambil formulir ga?” Arti bertanya sambil melihat kearah tangan Rain.

“Eh, buat SNM? Aku ambil kuliah di swasta sih, emang perlu ya?” Tanya Rain sambil menutupi tangannya, seakan sadar tangannya sudah menjadi perhatian Ardi.

“Tangannya kenapa? Abis tarik-tarikan sama Veno ya?” Tanya Ardi sambil memicingkan mata.

“Eh, enggak kok.” Jawab Rain sambil berlalu.
Rain berjalan kearah rumahnya melalui jalan setapak yang biasa di laluinya. Namun ada yang berbeda di jalan setapak ini, keadaannya  begitu ramai. Mata Rain melihat tajam kearah kerumunan. Wajahnya merasa aneh ketika melihat Sisi ada disana dengan wajah yang begitu sembab.

“Si, Sisi kenapa?” Tanya Rain sambil berjongkok.

“Dira kak. Dira meninggal.” Sisi bercerita sambil memeluk Rain.

“Si, kakak gamau lagi kalian tinggal dipanti. Kakak bakal buat satu tempat buat kalian.” Rain berbicara sambil melepas pelukan dari Sisi.

“Kak, Dira di culik. Tadi pagi Dira enggak ada dikamar, enggak tahunya Dira udah meninggal.” Sisi berujar sambil menunjuk kearah kerumunan.

Rain berjalan kearah kerumunan. Telinganya mendengar suara-suara yang menyalahkan kepergian ibu Panti setahun yang lalu. Semua memang terjadi setahun yang lalu, saat panti yang indah kini berubah menjadi suram.

Rain menilik kearah dalam kerumanan, Rain langsung memalingkan wajahnya saat melihat mayat Dira yang begitu mengenaskan.

Sore itu, setelah menenangkan anak panti dan mengurangi rasa trauma mereka. Rain berjalan kearah kantor kepala desa, tujuannya tak lain tak bukan adalah meminta anak-anak panti agar diizinkan tinggal dirumahnya.

“Sore pak.”

“Eh, Rain. Masuk, ada apa ya?”

“begini pak, setelah kejadian Dira yang meninggal secara mengenaskan tadi, saya rasa anak-anak yang
ada dipanti butuh seorang pengawal, saya sudah pertimbangkan dan memutuskan untuk membuat tempat tinggal untuk mereka. Dibelakang rumah saya ada sebuah rumah kecil mungkin itu bisa menjadi tempat mereka.”

Pak kepala desa beberapa saat termangu-mangu mendengar ucapaan Rain.

“Iya, saya rasa juga begitu, kalau begitu lakukan saja Rain. Bapak sama Ibu udah tahu?”

“Udah pak.”

Rain keluar dari kantor kepala desa dengan senyuman. Wajahnya begitu gembira, dalam benaknya terbayang apa yang akan dilakukannya bersama anak panti yang ada. Bahagianya bisa bersama mereka kembali. Rain berjalan sambil memijat tangannya yang ada bekas cengkeraman.

Ditariknya nafas panjang, seakan-akan dirinya begitu kekurangan oksigen.

“Rain, mama dengar si Dira dibunuh loh. Rain hati-hati kalau keluar rumah. Mungkin saja pembunuhnya masih berkeliaran.” Mama Rain berucap sambil menaruh teh didepan putrinya.

Rain mendengar ucapan mamanya dengan tanpa ekspresi.

“Kapan anak panti pindah kesini?”

“Mungkin besok ma, Rain berharap mereka bisa tenang disini. Mereka benar-benar trauma karena Dira.” Ujar Rain lirih.
****

“udah dengar tentang anak panti yang meninggal karena dibunuh? Karena ini aku enggak berani keluar rumah.” Terdengar suara Veno diluar kelas.

Rain sedikit memicingkan matanya saat mendengar ucapan Veno, setakut itukan Veno? Dasar laki-laki yang tidak jantan, pikir Rain.

Namun hati dan pikiran Rain sama seperti Veno, semua terasa begitu menakutkan. Banyak pertanyaan yang mengular di pikirannya. Siapa pembunuhnya? Bagaimana mungkin sang penculik mempunyai akses masuk kepanti? Tubuh Rain bergidik karena memikirkannya.

Entah kenapa ada rasa ingin berjalan disekitaran koridor sekolah dibenak Rain, entahlah seperti ada yang menariknya. Tangannya digerakkannya kearah matanya untuk melihat jam. Tiba-tiba matanya begitu kaget dan terbelalak. Matanya tertumpu pada angka jam ditangannya 00.00, Rain menatap kearah luar, ini masih siang. Bahkan anak kelas sedang berada dikantin.

Diusapnya jam tangan kesayangannya itu berkali-kali, kemudian matanya menatap tajam kearah jam tangannya dan Rain menarik nafas panjang. Apa yang dilihatnya itu hanya sebuah ilusi yang mungkin tercipta karena hobinya melihat time error.

Dilangkahkannya kakinya kearah koridpr sekolah, koridor sekolah memang selalu sepi setiap jam istirahat. Anak-anak sebagian besar menghabiskan waktunya di kantin. Meninggalkan beberapa orang anak yang kurang pergaulan di koridor sekolah. Rain melangkahkan kakinya dengan tatapan tajam yang menyapu kiri dan kanan koridor. Matanya merasa aneh berada ditempat itu.

Matanya sesekali menangkap tatapan aneh terhadap dirinya. Entahlah. Seakan-akan dirinya bukan manusia dari abad ini.

Sampai akhirnya Rain berhenti diujung koridor, jalanan keramik berakhir disini. Didepannya tampak sebuah taman.

Taman? Matanya menatap asing kearah pemandangan yang ada di hadapannya. Sesekali Rain menggigit bibirnya. Matanya menatap kearah langit yang mendung, seakan-akan mengulang memori tentang tempat ini.

Seingat Rain, sekolahnya tidak mempunyai taman, dan koridor sekolah juga tidak berakhir dengan janggal.

Rain memutuskan untuk kembali kekelas, perasaannya semakin tidak enak. Dibalikkannya tubuhnya dengan cepat.

Bruk…

Tubuhnya terpental kearah samping mengenai dinding, seorang anak lelaki tampak berdiri di hadapannya dengan tatapan bersalah.

“Aikh, maafkan aku. Aku tidak melihat jalanku tadi.” Lelaki itu bertanya dengan nada yang tulus.

“Ah, tidak apa. Harusnya memang aku tidak disini.” Jawab Rain cepat.

Mata Rain menatap kearah baju lelaki yang berada dihadapannya. Bajunya terlihat asing.

“Kelas XII IPA 3 dimana ya?” lelaki itu bertanya sambil melihat kearah kejauhan.

“Itu kelas ku, mari kuantar.” Rain menjawab sambil berjalan kearah kelasnya.”

Sandiko nama lelaki itu, anak pindahan yang berasal dari kota lain. Rain merasa aneh dengan Sandi, mulai dari tatapannya yang sangat tajam kepada Rain dan tangan yang mempunyai tanda di pergelangannya, seperti sebuah tato.

“Rain.” Suara Veno menghancurkan lamunan Rain.

“Kita belajar hari ini ya, kan kemarin kita enggak belajar.” Lanjut Veno sambil berjalan cepat kearah Rain.

“Oh, iya.” Jawab Rain sambil tergagap.

“Kau tahu tentang Dira? Anak panti yang meninggal kemarin?” veno bertanya saat mereka mulai membuka buku.

“Oh, ya aku tahu.”

“Menurut berita yang kudengar dia dibunuh dengar cara di cekik dan meninggal karena kehabisan oksigen. Pasti orang yang melakukannya orang yang kuat dan mampu menghilangkan rasa bersalah dengan cepat.” Veno bercerita sambil menatap kearah bekas cengkeraman di tangan Rain

“Oh, ya mungkin, dan aku sudah meminta kepada kepala desa untuk memindahkan anak panti ke rumahku.” Jawab Rain sambil sibuk dengan bukunya.

“Tanganmu kenapa?”

“Oh, aku tidak tahu, tidak ada rasa sakit dan dia tampak sewaktu aku bangun.”

Tiba-tiba terdengar sebuah ketukan dipintu. Rain dan Veno saling tatap-tatapan mata mereka menyiratkan ketakutan.

“Rain? Itu ibumu?” veno bertanya sambil menatap horror kearah Rain.


“Enggak, mamaku pergi baru saja tadi kepasar.” Jawab Rain sambil menatap kearah ketokan pintu.
Veno berjalan kearah pintu dan membuka pintu dengan sangat pelan. Veno menghela nafas panjang saat melihat apa yang dihadapannya. Rain yang melihat Veno tampak penasaran dan wajah penuh cemas.  Angin yang masuk dengan kencangnya semakin menambah kengerian yang terjadi.

3 komentar: