Minggu, 06 Maret 2016

Lingkaran Pertemanan 5

Aku berada dalam bis saat ini, disebelahku duduk orang yang selama ini menginspirasikan dan ‘katanya’ sangat menyayangiku. Pikiranku masih berkecamuk. Aku bingung. Aku sudah menjalani pertemanan yang kelihatannya seperti hubungan istimewa ini selama berbulan bulan. Aku menunggu, namun hingga kiniRadit tidak pernah bertanya, bertanya tentang perasaanku atau yang lainnya.



“Radit, jadi ambil kedokteran?” tanyaku memecahkan kesunyian bis

“Iya, tadi aku udah ngasih data SNMPTN jadi udah fiks.”

“Hm, kita bakalan jauh ya.” Ujarku sendu.

“Yaampun, Quin kita enggak bakalan jauh kok, kamu itu udah punya tempat dihati aku.”

Ada rasa bahagia saat mendengar perkataan Radit, namun aku enggak butuh itu, aku enggak butuh kata-kata yang seakan-akan melambungkanku, aku butuh ikatan. Jujur saat ini aku benar-benar mengharapkan Radit. Sayangnya semua seperti mimpi, tahun sudah berganti beberapa bulan  yang lalu. Tapi aku masih disini dengan kesendirian.

Bis berhenti disebuah danau, ini memang tujuan kami. Ya, tujuan aku dan Radit. Kami memang hanya pergi berdua, kami sering melakukan hal seperti ini.

Aku berjalan kearah sebuah pohon dan bersandar disana. Aku menyukai tempat ni. Aku merasa tenang disini, seakan-akan sebuah kenyamanan menyentuh diriku. Pemandangan yang langsung mengarah ke danau semakin membuat semua terasa begitu nyaman.

“Quin.” Aku merasakan tepukan pada pundakku.

Aku membuka mataku, melihat kearah Radit.

“Quin, aku mungkin bakalan kuliah diluar daerah ini.”

“Oh ya? Itu pasti univ yang sangat berpengaruh. Aku tahu itu. Lalu apa masalahnya?”

“Dirimu, dirimu adalah masalahnya. Bagaimana jika disana aku merindukanmu? Bagaimana jika disana aku membutuhkanmu?”

“Aku enggak akan pergi Radit, aku masih disini. Bahkan dengan perasaan yang sama.”

“Sayangnya, kita harus berhenti sampai disini.”

“Kenapa?”

“Sebentar lagi UN Quin, itu butuh focus.” Radit menjawab sambil memainkan batu ditangannya.

“Iya aku tahu, aku juga.”

“Quin, kemarin itu aku jalan sama Ratna. Keren enggak? Aku bisa jalan sama anak kelas kita dulu yang sangat-sangat populer?”

Mataku membelalak mendengar perkataan Radit. Ratna? Anak kelas yang sangat glamor dan manja.
Memang dia cantik, lalu mengapa Radit jalan dengannya? Radit. Aku berdoa kamu tidak akan menghancurkan hatiku. Aku sangat berharap.

“Oh, gitu. Lalu?” tanyaku pendek.

 “Mungkin, aku bakalan dekati dia, harusnya aku ngelakuin ini dari dulu Quin. Karena dia itu suka sama aku.”

Aku merasa panas, panas pada mata dan hatiku. Aku melangkahkan kakiku kearah jalan raya. Entah
mengapa aku benci penyataan terakhir Radit. Mungkin aku yang bodoh. Menunggu berbulan-bulan, hatiku lelah sungguh.

“Quin.”

Aku mendengar Radit menyebut namaku. Radit memegang tanganku saat aku hampir mencapai jalan raya.

“Apa yang salah.” Radit bertanya dengan wajah yang benar-benar polos.

“Enggak ada yang salah, aku yang salah.” Jawabku sambil naik kebus yang baru saja berhenti di hadapanku.

“Jangan ikuti aku Radit, aku butuh waktu.” Perintahku saat melihat Radit ingin naik ke bis.

Selama perjalanan, aku merasa mataku panas. Aku merasakan emosi. Ada rasa cemburu disini, ada rasa tidak rela. Aku membenci mereka yang mengambil orang yang berharga untukku. Aku benci mereka yang berada dalam mimpi orang yang kusayang, tapi bodohnya aku tidak bisa membenci orang yang kusayang.
Laju bis terasa sangat cepat, aku merasa aku tiba terlalu cepat. Entah bis yang cepat atau perasaanku yang hancur yang membuatnya terasa begitu. Aku turun dari bis dan berjalan kearah lapangan basket. Aku butuh Genta saat ini.

Aku melihat Genta disana, dengan tetesan keringat diwajahnya. Aku benar-benar melihat Genta begitu sempurna hari ini, entahlah dia terlihat begitu dimataku.

“Genta.” Aku memanggil dengan suara lantang.

Genta melihat kearahku, tidak hanya Genta, Yudha pun melakukan hal yang sama. Genta berjalan kearahku dengan langkah yang cepat.

“Kamu kenapa Quin? Ada masalah.”

“Gent, pliss kita jalan hari ini, aku butuh kamu.” Jawabku.

Genta segera berjalan kearah teman-temannya berbicara sebentar kemudian masuk kekamarnya. Aku tahu dia menerima ajakanku.

Aku memutuskan untuk duduk di bawah pohon besar yang tampak begitu sejuk. Pikiranku masih berkecamuk. Aku bingung. Aku merasa bersalah meninggalkan Radit, tapi aku mau Radit melihat kearahku.

“Quin, kenapa? Masalah sama Radit?” sebuah suara memecahkan pikiranku.

Aku membuka mataku, menatap siapa yang berbicara, ternyata Yudha. Ah dia, mengapa dia begitu peduli dengan diriku.

“Radit? Ratna?”

“Tahu dari mana Yud?”

“Aku tahu tentang Radit, aku tahu tentang dirimu Quin. Kenapa kamu bertahan?”

“Aku bertahan karena dia.”jawabku tenang.

“Dia saat ini sudah memilih, buatlah dirimu memilih juga. Bodoh ketika dirimu memilih dia, sementara dia memilih orang lain.” Yudha berbicara dengan tenang.

“Yud, aku enggak masalah berjuang, aku tahu dulu dia berjuang untukku. Bodohnya aku tidak peduli dan saat ini semua berbalik.”

“Tidak aka nada kata berbalik, jika dirimu memilih yang lain.”

Aku terdiam mendengar ucapan Yudha. Mungkin ini saatnya, saatnya pergi, berhenti peduli dan berhenti menatap sebuah harapan.

“Quin.” Suara Genta memecahkan kesunyian diantara kami.

“Yud, aku pergi dulu ya.” Ujarku sambil berdiri.

“Hati-hati ya.”

Aku berjalan kearah Genta. Aku mengajaknya ke taman sekolah. Sepanjang jalan aku menyusun semuanya, menyusun apa yang harus kuceritakan. Genta mengajakku duduk disebuah kursi dekat kolam kecil. Aku menuruti keinginannya.

“Quin kenapa?”

“Radit.” Mataku terasa panas saat menyebut namanya.

“Kenapa Radit? Selama ini kan baik-baik aja.”

“Aku bodoh Gent, aku nunggu dia. Aku berusaha menghargai dia. Tapi aku bodoh, aku begitu peduli sampai aku lupa sebuah perasaan bisa saja berubah.” Ujarku pelan.

“Quin, kamu baik-baik ajakan tapi? Kamu butuh pelukan? Aku siap saudariku.” Genta memegang lembut kepalaku.

Jujur aku tidak sanggup, aku takut. Aku memeluk Genta saat itu. Untuk pertama kalinya aku melakukan itu. Aku merasakan ketenangan sebuah pelukan dari saudaraku.

****

Aku mulai melupakan Radit, aku selalu menolak ajakannya. Kadang ada rasa tidak rela, namun siapa aku?
Aku hanya orang yang dicari Radit saat dia butuh. Aku berusaha focus dengan ujian demi ujian yang kuhadapi. Aku ingin membuktikan. Aku bisa hidup tanpamu Radit, aku masih punya Genta. Saudara yang kini menjadi temanku.

Aku menyelesaikannya dengan baik. UN berkhir. Aku hanya perlu sabar menunggu semuanya.

“Quin.”

“Ya, gent?”

Aku dan Genta berada di danau saat ini.kami tidak berdua, kami pergi bersama anggota kelas kami.

“Masih mikirin Radit?”

“Kadang.”

“Move on kali Quin. Kaya aku moveon dari kamu.”

“Ha?” ada sebuah keterkejutan saat mendengar kata-kata Genta.

“Iya, dulu aku tuh suka sama kamu, sayangnya kita saudara Quin. Kamu tahu, aku move on dari kamu itu lama. Aku berusaha jalan sama kamu sebagai saudara, tapi jujur aku ingin kamu lebih dari itu. Tapi itu dulu.

Saat ini lingkaran pertemanan kita hanya ada kata teman dan saudara.”

Aku hanya mengangguk mendengar ucapan Genta.

Aku meninggalkan Genta disana, aku berjalan kearah jembatan. Jembatan yang berakhir di danau. Ah ini mungkin bukan jembatan, tapi entahlah aku lebih suka menyebutnya sebagai jembatan.
aku duduk disana, aku menghibur diriku. Kenangan bersama Radit itu banyak, bahkan terlalu banyak. Aku merasa sulit untuk melepaskan semuanya. Tapi aku bukan wanita bodoh yang terlalu peduli dengan orang lain, tanpa peduli dengan diriku sendiri.

“Quin.”

Aku menolehkan kepalaku kebelakang. Aku melihat Yudha disana, dengan sebuah amplop ditangangnya. Tangannya tampak menyodorkan amplop kepadaku. Aku bingung. Aku menerima amplop dari Yudha.

Aku membuka dengan perlahan, ada kertas pink didalamnya dan sebuah tulisan.

“WILL YOU BE MINE QUIN?”

Aku menolehkan kepalaku ke Yudha kembali, kini aku melihatnya berdiri dengan sebatang bunga mawar merah ditangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar