Kamis, 03 Maret 2016

Lingkaran Pertemanan 4

Aku menghentakkan kakiku, aku berjalan beberapa langkah menjauhi Radit. Aku berharap saat itu Radit memanggilku atau sekedar menahanku . Namun sampai aku keluar dari taman , tidak ada suara Radit, tidak ada tangan Radit yang berusaha menahanku. Ah Radit, mengapa semua terasa begitu asing?



Aku berjalan menuju kamarku, aku tidak ingin terlalu memikirkan Radit. Jika memang dia benar-benar orang yang peduli denganku, aku percaya dia akan datang.

Aku hempaskan tubuhku di kasur empuk milikku. Mataku memandang dalam-dalam langit-langit kamarku yang putih bersih. Namun pikiranku masih saja memikirkan tentang Radit, dan Genta. Aku segera membuang radit dari pikiranku. Tinggal Genta kini disana. Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan kepada Genta. Bagaimana dia tahu nama ayahku? Siapa Adinda baginya? Aku mungkin tidak mau terlalu mencampuri urusan saudaraku itu, namun hatiku sangat peduli.

Aku terbangun dengan suasana kamar yang sangat gelap. Bodohnya aku tertidur tanpa menyalakan lampu, aku menyalakan lampu sambil melihat kearah jam dinding. Huft masih jam 8, dan aku terbangun pada jam-jam yang masih lama menuju pagi.

Aku membuka tirai jendela, melihat kearah luar, aku melihat dua sosok manusia di lapangan. Genta ya itu Genta dan…. Adinda. Sekarang aku merasa teoriku benar. Diantara mereka ada sesuatu. Untuk apa mereka malam-malam berduaan disana?

Aku berjalan kelemari, mengambil senter. Aku menghidupkan senter sambil membuka jendela kamarku, aku mengarahkan senter ke wajah Genta. Genta tampak begitu terkejut, mata reflex melihat kediriku. Aku tersenyum membalas tatapannya, dan dia kemudian tersenyum ah manisnya. Tampak Adinda juga ikut melihat kearahku ketika Genta senyum kepadaku.

Cara Adinda menatapku seakan-akan tidak suka denganku, mereka kemudian terlibat pembicaraan. Dan aku rasa mereka membicarakanku. Aku berharap Genta menyebutku sebagai saudaranya, supaya Adinda sadar harusnya dia sopan terhadap diriku.

*****

Pelajaran olahraga menjadi pelajaran yang sangat tidak kusukai, ketika pelajaran aku lebih suka membawa buku kelapangan. Toh ujung-ujungnya aku akan hanya duduk di bawah pohon. Seperti hari ini, aku duduk disini, dibawah pohon Mangga ini. Aku memang tidak pernah ikut olahraga, bukan karena aku tidak mau, bukan karena aku malas. Fisikku, aku terlalu lemah.

“Quin.” Suara Genta terdengar memanggilku saat aku sedang sibuk dengan buku bacaanku.

“Ya, saudaraku.” Jawabku

“Kamu kenapa tadi malam? Iri yaa?”

“Iri sama kamu? Enggaklah. Aku bisa kok kaya gitu.”

“Buktikan saudariku, cari pacar gih.” Genta benar-benar menyebalkan saat mengucapkan kalimat itu.

“Loh? Memangnya kamu udah jadian sama Adinda?”

“Sebenarnya enggak, tapi dia baik banget sama aku, dia selalu kaya ngebantu.. kadang-kadang buat surprise juga, temannya bilang dia suka atau kagum gitulah.” Genta berbicara dengan gaya yang benar-benar pamer.

“Hahaha, jadi? Kamu mau nyatain perasaan kedia? Aku enggak suka dia Gent.”

“Enggak sih, tapi aku gak enak jugalah liat dia udah berkorban waktu, ide bahkan materi buat aku. Kenapa Quin? Kamu cemburu? Aku milikmu saudariku, kamu boleh memelukku atau menciumku juga tidak masalah.” Genta berbicara sambil memainkan matanya.

Aku memukul keningnya, aku merasa dia begitu menyebalkan hari ini.

“Seorang wanita harusnya tidak perlu mengumbar-ngumbar perasaannya. Cara yang di lakukannya secara tidak langsung sebenarnya sudah meminta kamu jadian sama dia. Kesannya murahan gitu Gent.” Jawabku sambil memainkan buku ditanganku.

“Cemburu aja bilang.” Genta membalas sambil memeletkan lidahnya.

Aku meninggalkan Genta disana, bukan karena marah. Tapi jam pelajaran olahraga telah berakhir. Genta mengikutiku dari belakang sambil memanggil-manggil namaku. Ya Tuhan, apakah saudaraku ini tidak punya malu teriak-teriak di tengah lapangan.

“Genta. Malu!” teriakku saat Genta masih menyebut-nyebut namaku.

Kelas terasa sumpek dengan bau-bau parfum yang baru disemprot oleh anak kelas. Yah beginilah setiap habis olahraga kelas pasti jadi wangi. Aku duduk di kursiku, aku mencari-cari Genta. Aku tidak tahu kemana dia, seingatku tadi dia berada di belakangku.

Aku merasakan ada orang lain yang duduk disampingku. Hmm aku tahu itu Genta.

“Gent.” Sapaku sambil menolehkan kepala kesamping.

“Genta aja terus Quin.” Yudha menjawab sapaanku.

“Eh, Yudha. Kamu kenapa?” tanyaku penasaran.

Tidak biasanya Yudha berada di dekatku, Yudha adalah ketua kelas kami. Laki-laki yang dikenal dengan
watak tegas dan mempunyai public speaking yang bagus.

“Enggak papa. Kamu sama Radit pacaran?”

“Enggak.”

“Kamu ada masalah sama dia? Cerita aja Quin. Aku liat kalian berdua kemarin di taman.”

“Enggak papa kok Yudha.”

Tampak Yudha berdiri saat melihat Genta dipintu, Genta berjalan sambil memegang sebuah kotak. Pikiranku berputar jangan-jangan genta bakalan jadian sama Adinda. Aku enggak rela benar-benar enggak rela. Entah kenapa. Aku tidak rela.

“Nih.” Genta menyerahkan isi kotaknya kepadaku. Isi kotak itu ternyata coklat.

“Dari siapa?”

“Adinda.”

“Tuhkan, murahan banget kesannya, ngasih-ngasih ginian. Nunjukin banget kalau dia suka sama kamu.” Jawabku sambil menimbang-nimbang coklat ditanganku.

“Kenapa sih Quin, kamu enggak suka gitu kenapa?”

“Gini ya Genta. Enggak ada cewek yang suka liat teman cowoknya didekati sama cewek ganjen.”

“Quin, aku enggak jadian sama dia.”

“Iya, tapi bentar lagi mau jadiankan?”

“udahlah Quin, jadi kamu enggak mau coklatnya?”

“Aku emang enggak suka sama Adinda, tapi untuk coklat ya maulah.” Jawabku sambil menyimpan coklat ke laciku.

“Kamu sama Hana aja, kemarin waktu di taman kan kamu dekat sama Hana.” Ujarku pelan.

“Kamu salah saudariku, aku dekat sama Hana. Itu karena aku punya tujuan. Aku butuh informasi tentang dirimu. Aku ingin tahu tentang dirimu dan caranya adalah aku mendekati orang yang dekat dengan dirimu. Sayangnya dia begitu menghayati kehadiranku.” Genta menjelaskan dengan sangat pelan.

Sekarang aku tahu, Genta! Dia memperhatikanku, dia peduli. Aku mungkin salah saat itu. Aku memang sering berpikir sepihak.

“Gent, aku boleh minta sesuatu?” tanyaku pada Genta setelah kebisuan menerpa kami berdua dalam waktu yang cukup lama.

“Iya.”

“Eh enggak deh kapan-kapan aja Gent.” Jawabku lugas.
****

Pulang sekolah seperti biasa aku melewati koridor sekolah, terkadang aku bosan dengan pemandangan koridor sekolah yang selalu penuh dengan anak-anak yang bergerombol. Tiba-tiba tanganku terasa di tarik kearah kiri, semua terasa cepat dan mengejutkan. Aku reflex melihat kearah orang yang menarik tanganku.

“Quin.” Aku mendengar suara yang merdu saat mataku menatap Radit.

Radit, ah aku pikir aku tidak akan bertemu dengannya. Iya, aku takut dia marah, aku takut dia pergi. Yang lebih parah dari semuanya, aku takut dia malah memilih Hana.

“Nanti sore ada kerjaan?”

“Enggak ada Radit.”

“Aku tunggu di lapangan jam 5 ya.”

Aku hanya mengangguk mendengarnya. Radit membalas anggukanku dengan senyum, tangannya kemudian memegang kepalaku sedikit mengacak-acak rambutku, lalu meninggalkanku. Saat ini, aku berpikir. Mungkin Radit adalah orang yang pantas, dan Radit adalah orang yang berhasil membuatku jauh dari sifat egoisku. Aku yakin, dia orang yang kucari.

Sore itu, aku berencana menemui Radit seperti yang kami janjikan. Tapi aku merasa, aku harus menunda semuanya. Aku mendapat kabar bahwa ibuku ingin bertemu denganku, ini ibu kandungku. Aku merasa benar-benar bingung bagaimana aku bersikap. Aku mungkin merindukannya, tapi itu dulu. Saat ini aku sudah terbiasa tanpa ibuku. namun, tanteku memaksaku kembali kerumah.

Aku ingin sekali bermain dengan Radit hari ini, tapi aku harus memprioritaskan keluargaku. Aku berusaha menelefon Radit, namun tidak ada jawaban. Aku memutuskan untuk pergi dan membatalkan janjiku dengan Radit.

Kakiku terasa berat saat melangkah ke gerbang sekolah, besok adalah hari minggu, bisa di pastikan ibuku tidak akan mengizinkanku langsung kembali ke asrama hari ini. Aku menatap tanteku yang terlihat menungguku di gerbang.

“Quin, ayo.” Tanteku menyuruhku untuk lebih cepat lagi.

Aku mempercepat langkahku. Didalam mobil tidak ada perbincangan yang istimewa. Semua terasa biasa. Bahkan pikiranku sedang tidak berada dalam diriku saat ini, aku masih memikirkan Radit. Aku merasa bersalah. Wajar, mungkin.

Sesampai dirumah tanteku, aku melihat seorang wanita menunggu di depan pintu. Wanita yang bahkan tidak kukenal, mungkin dia memang ibuku. wajar semua berbeda, aku sudah tidak bertemu ibuku sejak 5 tahun yang lalu.

Aku memeluk wanita yang tampak asing bagiku itu, aku tahu ini ibuku, pelukannya masih sama, terasa sangat hangat.

“Quin, apa kabar.” Itu kata pertama yang keluar dari bibir ibuku.

“Aku merasa lebih baik bu.”

Aku menghabiskan hariku bersama ibuku. Tidak ada sedikit pun kalimat ibuku yang membahas tentang ayahku. apa ibuku tidak tahu ayah disini? Didaerah yang sama dengan kami. Bahkan anaknya satu kelas denganku?
“Bu, ibu tahu Genta?”
“Genta? Anak ayahmu dari wanita itu?”
“iya, dia satu kelas denganku bu, dan rumahnya berada dekat sekolahku.”
“Genta… ah ibu tidak mau membahas tentang ayahmu Quin. Ayahmu sudah memilih pilihannya, ayahmu bukan orang bodoh yang tidak punya tujuan. Percayalah ayahmu punya tujuan untuk itu Quin.”
Jawaban ibuku benar-benar menguatkanku, aku memang masih menaruh dendam kepada wanita yang merebut ayahku, tapi melihat ibuku yang begitu ikhlas ada rasa malu di hatiku.
Aku menghabiskan akhir pekanku disini. Aku merasa tenang saat ini, entahlah. Terkadang aku berharap keluargaku seperti keluarga anak-anak lainnya, tapi apa lah dayaku. Tuhan memberikanku keluarga yang seperti ini.
Minggu sore tanteku dan ibuku mengantarkanku kembali kesekolah. Aku benar-benar tidak sabar sampai disekolah.
Kakiku bergerak dengan cepat,bahkan  terasa sangat cepat. Aku tidak tahu entah mengapa aku merasa sangat merindukan kamarku. Namun, didepan kamarku aku melihat Radit disana.
“Kemana aja Quin?”
“Oh Tuhan Radit maaf, aku ketemu ibu.”
Radit meninggalkanku setelah bertanya tentang kabarku, aku berpikir Radit akan mengatakan hal yang penting atau sejenisnya, tapi tidak ada satupun yang kuharapkan di tanyakannya.
Mungkin memang aku terlalu bodoh, berharap dengan dia, orang yang dulunya mengatakan dia sangat peduli. Padahal perasaan bisa saja berubah.
Aku berjanji aku akan menunggu Radit. Aku berjanji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar