Sabtu, 26 Maret 2016

Change Your God or Change Your Feeling

 Cerpen ini merupakan repost dari blog saya yang lain. Semoga menginspirasi :)



Banyak hal yang terjadi didalam kelas. Hal bodoh,hal unik,hal lucu bahkan tentang perasaan. Termasuk aku, aku menyukai seseorang dikelasku. Seorang pria lucu yang selalu mencairkan suasana kelas. Hampir tiga bulan aku memendam rasa untuknya. Aku tahu mungkin aku hanya pantas menjadi secret admirer untuknya, seseorang yang hanya bisa menjaganya dari jauh.


Namaku Rafika, aku hanya ingin orang mengetahui namaku, bukan jati diriku. Aku tidak menyukai mereka yang mencari tau tentang kehidupanku atau tentang perasaanku.

Hari ini disiang yang begitu panas aku harus pergi belajar kelompok, yahhh ada rasa malas dihatiku. Aku mampu mengerjakan tugas ini sendirian, entah mengapa harus mengerjakan secara kelompok. Rumah temanku tidak begitu jauh dari rumahku, aku memutuskan untuk berjalan kaki saja.

Dirumah temanku, Rania. Teman-temanku yang lain sudah tampak berkumpul. Berkumpul membentuk lingkaran. Mana mungkin mereka mengerjakan tugas. Paling juga mereka membuat gossip. Kuedarkan pandanganku kelingkaran yang bahkan mengacuhkan kehadiranku.

Ada Rania sang tuan rumah disana, Takim,Dira, dan astaga ada Dino disana. Oh Tuhan bagaimana mungkin aku lupa jika aku satu kelompok dengannya. Bagimana diriku nantinya, bagaimana jika Dino membaca mataku? Membaca rahasia hatiku.

“Ya Tuhan Rafika. Sejak kapan disana? Kami menunggumu sejak tadi.” Rania melihat kearahku. Seketika mereka semua melihat kearahku, aku merasa seperti teroris yang tertangkap tangan.

“Barusan kok Ran.” Jawabku sambil menunduk.

Kami memulai kerja kelompok yang bisa dibilang bukan kerja kelompok. Bagaimana mungkin ini disebut kerja kelompok jika yang mengerjakan hanya tiga orang? Aku, Rania,dan Dino yang bekerja, sementara Takim dan Dira kemana mereka? Mereka berduaan disudut ruangan. Banyak gossip yang mengatakan bahwa Takim menyukai Dira, ada juga yang mengatakan bahwa mereka backstreet. Tapi yang kulihat mereka tidak mungkin hanya teman. Kemana-mana selalu berdua, tidak lazim jika mereka hanya berteman. Mungkin memang mereka backstreet.

Hujan rintik-rintik tampak diluar saat kami selesai mengerjakan tugas kelompok. Dalam hati aku berdoa semoga rintik-rintik tidak berubah menjadi hujan deras. Bagaimana aku pulang jika itu terjadi. Aku tidak mau berada disini terlalu lama, melihat dua temanku yang mungkin sedang pacaran disudut ruangan ini. Bukan karena iri, tapi aku tidak menyukai mereka yang terlalu berlebihan.

“Akhir-akhir ini cuaca sulit ditebak.” Gumam Dino melihat kearah luar.

“Rumahmu dimana Fik?” Dino menatapku.

“Emmm dekat sini kok, beda 3 blok aja dari sini.” Jawabku sambil membuang pandanganku darinya.

Aku takut. Takut Dino mengetahui perasaanku, ada yang mengatakan kebohongan bisa terdeteksi hanya dengan melihat arah bola mata. Pasti tidak sulit melihat perasaan terpendam dari mata. Apa bedanya kebohongan dengan perasaan terpendam, mereka adalah rahasia.

Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Aku memutuskan untuk pulang, sampai kapan aku akan terjebak disini? Hujannya bahkan berubah menjadi gerimis sekarang, mungkin beberapa saat lagi akan benar-benar hujan.

“Ran aku pulang ya.”

“Gak nunggu huja reda Fik?” Tanya Rania

“Aku antar aja Fik, sekalian aku juga mau pulang.” Dino menepuk bahuku.

Oh Tuhan ada rasa senang dihatiku, namun jika Dino mengantarku, apa yang harus aku bicarakan selama dijalan?

“Eh enggak usah, bisa pulang sendiri kok.” Kuputuskan untuk menolak ajakannya.

Dino melepas jaketnya perlahan aku bingung dengan yang dilakukannya. Tapi aku memutuskan untuk berpamitan terlebih dahulu dengan Takim dan Dira yang masih ditempat yang sama dengan kedekatan yang sama.

Aku berjalan kearah pintu, sambil berbincang dengan Rania. Tepat diteras, aku melihat Dino seperti menunggu sesuatu. Dino menatapku, tatapan yang dalam. Aku tidak tahu aku yang terlalu berlebihan menilainya atau memang demikianlah yang terjadi.

“Fika, yakin gak mau diantar?” Tanya Dino.

“Enggak, enggak usah.” Jawabku

Tangannya menjulurkan jaket padaku.”Pake ini Fik nanti kamu sakit.”

Oh Tuhan, jaket abu-abu itu kini berada ditanganku, dan aku memakainya. Aku merasakan wangi yang familiar dihidungku. Sepanjang jalan pulang aku tidak bisa berhenti tersenyum. Inikah yang disebut hujan berkat?

Sesampai dirumah kuputuskan untuk mandi, kemudian aku mengerjakan PRku. Aku bahkan tidak bisa menulis apapun dibuku PRku aku masih membayangkan Dino,membayangkan senyumnya. Kutatap jaket abu-abu yang kini tergantung di dinding kamarku, andai dia yang disini bukan hanya sebuah jaket. I hope it God.

Kringggg….kringg

Telefon rumahku berbunyi. Bunyinya bahkan mengejutkanku. Aku tidak menyukai bunyi telefon rumah.

Suaranya suka mengejutkanku. Kakakku bahkan pernah terkena setrika karena suara telepon yang tiba-tiba.

Kutunggu beberapa saat,sepertinya kakakku menungguku yang harus mengangkat telefon. Aku beranjak dari meja belajarku kearah depan.

“Halo Rafika disini.”

“Udah sampai dirumah?”

Aku mengenal suara ini. Kutatap kedalam kamarku, pandanganku berhenti di jaket yang tergantung disana.
Ya. Pemilik jaket itu. Untungnya Dino tidak bisa melihatku,melihat wajahku yang kini bersemu merah.

“Sudah.” Jawabku setelah selesai dengan pemikiranku.

“Bagus lah kalau gitu, ada pr apa aja besok?” suara Dino terdengar di seberang sana.

“Cuma biologi kok, kenapa? Gak biasa-biasanya nelfon kesini?” Tanya ku

“Yakali, Cuma mastiin aja kalau kamu nyampe rumah dengan selamat, aman, tidak kekurangan satu apapun.”

Obrolan kami berlanjut hingga sekitar 20 menit. Selesai menerima telefon dari Dino, ada rasa ngefly. Rasanya pintu kamarku terlihat seperti hati berwarna pink, seluruh rumahku bahkan seperti berbunga-bunga. Aku mulai merasa seperti mabuk, entah karena telefon atau karena obat nyambuk semprot yang baru disemprotkan kakakku. Kuputuskan untuk tidur, sebelum bayang-bayang bunga-bunga berubah menjadi bayangan lain.

Sejak dari telefon pertama itu, aku semakin dekat dengan Dino, hampir satu bulan kita dekat. Ada rasa nyaman saat berada didekatnya, tapi ada satu batas diantara kita. Tentang kepercayaan. Aku Kristen sementara Dino muslim, kadang rasa bimbang dihatiku. Percuma aku menyukai seseorang jika pada akhirnya aku tidak bisa memilikinya selamanya. Perbedaan  ini seperti sebuah tembok yang membatasi kami berdua.

“Fik tunggu aja tanggal mainnya ya.” Rania menepuk bahuku.

Aku kurang mengerti apa maksudnya, mungkin dia hanya bercanda, atau entahlah. Dua hari yang lalu Rania mengatakan Dino punya rasa untukku. Ah sulit bagiku untuk mempercayainya. Aku lebih suka menunggu fakta daripada harus mereka-reka fakta.

Malam ini Dino mengatakan akan kerumahku, katanya sih mau ngerjai tugas bahasa inggris. Aku bukan seperti Rafika yang dulu, Rafika yang takut bersikap didepan Dino, kini aku merasa sangat biasa melihatnya.

Bahkan tidak ada persiapan bagiku untuk menyambut Dino dirumahku. Mungkin perbedaan rasa suka dan nyaman itu terletak di cara bersikap.

Sekitar jam tujuh Dino tiba dirumahku. Dirumahku hanya ada aku dan kakakku, untungnya orangtuaku sedang pergi keluar kota untuk urusan bisnis.

“Mau didalam atau diluar aja?” tanyaku saat Dino berada didepanku.

“Didalamlah. Kamu tega badan aku yang bagus ini digigit nyamuk? “ jawabnya sambil memukul keningku.

Hampir tiga puluh menit kami mengerjakan tugas bahasa inggris yang menurut Dino sulit, padahal menurutku
ini tidak terlalu sulit.

“Fik?” Dino memanggilku.

“Iya?” jawabku sambil terus menulis.

“Lihat kesini coba?” ujar Dino sambil memegang daguku.

“Sebenarnya PR ini Cuma alasan Fik, aku mampu kok ngerjai ini semua. Sejujurnya aku kesini ada tujuan lain. Sejak sebulan terakhir aku dekat dengan kamu, aku merasa nyaman dengan kamu. Aku merasa senang bisa memiliki teman sepertimu. Mungkin memang enggak seharusnya aku bilang ini. Tapi  boleh enggak aku nyoba jadi orang yang berarti untuk kamu?”

Matanya menatapku dalam-dalam selama mengatakan hal yang bahkan aku tidak pernah aku bayangkan. Ada rasa ingin menolak dihatiku. Kami beda kepercayaan itu masalahnya. Tapi ada rasa sayang juga untuknya. Aku menundukkan kepalaku menghindar dari tatapannya yang dalam.

“Aku enggak minta kamu jawab sekarang Fik, aku tunggu sampai besok pagi ya.” Suara Dino memecahkan keheningan diantara kami.

Aku hanya mengangguk mendengar perkataannya.
Dino memutuskan untuk pulang beberapa menit setelah kami mencoba mencairkan suasana, tapi suasana canggung sangat terasa diantara kami.

Sepanjang malam aku memikirkan perkataan Dino. Banyak hal yang harus kupertimbangkan. Keluargaku pasti tidak setuju jika mengetahui ini. Otomatis jika aku menerima Dino aku harus menyembunyikan hubungan kami dari keluargaku, yang terutama kakakku. Kakakku terkadang jadi pembawa berita untuk orangtuaku. Aku tidak mau diriku jadi topik utama berita yang dibawakannya. Aku memutuskan untuk tidur, mungkin saja aku bisa mendapat jawaban dalam mimpi.

Pagi hari saat bangun pagi aku melipat tanganku, menutup mataku. Berdoa kepada Tuhan. Berdoa untuk hari ini, berdoa untuk keputusan yang akan kuambil.

Sepanjang jalan kesekolah aku masih belum menemukan keputusan apa yang harus kuambil. Tiba didepan kelas tampak Dino disana tersenyum kearahku. Hatiku luluh dengan senyumannya.

“Pagi Fika? Bagaimana?” tanyanya sambil tersenyum.

Aku menatap wajahnya. Menarik nafas panjang. Didalam hati aku berdoa semoga ini keputusan terbaik.

“Jawabannya iya.” Jawabku sambil berlalu.

Dino mengejarku kearah mejaku.

“Thankyou ya.” Ujarnya sambil mengelus kepalaku.

Tiga bulan kami menjalani hubungan lebih dari teman. Aku bahagia memiliki Dino, aku berharap diapun sebaliknya. Kami berusaha menjadi orang yang saling mengerti,aku berusaha untuk selalu mengingatkannya untuk beribadah dia pun sebaliknya. Banyak momen yang sudah kami ciptakan berdua. Seperti hari ini kami berada dikolam pemancingan. Kami sama-sama suka memancing, kami sering melakukan ini.

Ketika Dino mengantarkanku pulang, tampak kakakku sedang membaca didepan rumah. Matanya tampak mengawasi kami berdua. Dino akhirnya pulang setelah beberapa menit berada dirumahku. Sepertinya Dino menyadari tatapan mata kakakku.

“Fika.” Kakakku memanggilku saat aku hendak masuk kerumah, bahkan kakiku satu telah berada didalam.

“Iya?” Jawabku sambil berjalan kearahnya.

“Dino itu pacarmu?”

“Emm enggak, eh sebenarnya sih iya.” Jawabku sambil menunduk. Bisa dipastikan kakakku akan menanyakan tentang kepercayaan dipertanyaan berikutnya.

“Dia Kristen atau bukan?”

“Bukan.” Jawabku pelan.

“Kakak kan udah bilang Fika, gak ada gunanya pacaran beda agama, intinya akan ada perpisahan disana.

Kalaupun kalian langgeng, otomatis salah satu akan pindah kepercayaan. Kakak bukan gak suka sama mereka yang beda dengan kita, tapi ini tentang hati Fika, kamu udah terlanjur sayang sama Dino kan? Sekarang terserah kamu Fika, Cuma ada dua pilihan. Hilangkan perasaanmu atau ganti Tuhanmu.” Kakakku menjelaskan panjang lebar.

Aku memutuskan untuk segera  kekamarku, ada rasa sesak didalam hatiku. Aku nyaman dengan Dino. Bagaimana mungkin kami harus putus? Air mataku terjatuh. Aku benci berada diposisi ini, entah kenapa Tuhan menciptakan perasaan jika ada batasan didalamnya.

Pagi harinya aku berusaha melupakan masalahku. Aku pergi kesekolah lebih cepat dari biasanya. Langit tampak mendung sepertinya akan ada hujan deras nantinya. Kupercepat langkahku kesekolah. Sekolah masih sangat sepi saat aku tiba disana.

Setengah jam hujan turun dengan derasnya, kuedarkan pandanganku sekeliling kelas. Tidak ada Dino disini. Pasti dia kehujanan. Ada rasa khawatir dihatiku. Lima belas menit kemudian hujan berubah menjadi gerimis, aku beranjak dari tempat dudukku menatap halaman sekolah dari arah jendela.

“Hai.”

“Dino? Kapan sampai?” tanyaku saat melihat kehadirannya disampingku.
Aku menatap dalam-dalam Dino, bajunya tampak basah. Pasti dia kehujanan pikirku. Aku berpikir untuk membuat satu keputusan saat ini. Keputusan yang akan membuatku merindukannya.

“Dino.”

“Iya.”

“Mungkin hubungan kita seperti hujan pagi ini, memang lama. Tapi kita terjebak disini. Terjebak diantara perasaan yang semakin dalam. Toh pada ujungnya kita tidak bisa bersama.” Gumamku perlahan.
Dino menatap kearahku seakan-akan membiarkanku menyelesaikan perkataanku.

“ Aku rasa kita cukup sampai disini, mulai saat ini kita ambil jalan masing-masing aja. Kita beda Dino. Pilihan kita Cuma dua, menghapus perasaan atau mengganti kepercayaan kita.” Lanjutku

Ada perasaan tidak rela disini. Mataku terasa panas. Ini sulit.

“Fik, terimaksih untuk tiga bulannya ya. Aku beruntung sempat punya kamu, kita memang beda, maaf mungkin selama ini aku ada salah sama kamu.” jawabnya sambil meletakkan pandangannya kearah luar.

Sejak hari itu kami semakin jauh,apalagi sejak kelas XII kami berada dikelas yang berbeda.  bahkan yang kudengar dia sudah punya pacar baru. Secepat itukah dia melupakan semuanya? Aku hanya berharap ini keputusan terbaik. Aku sadar aku tidak bisa menyalahkan siapapun disini. Seperti daun yang tidak bisa menyalahkan angin yang membuatnya terjatuh. Perasaan itu tidak selalu tentang perasaan nyaman, tidak juga tentang menyatukan perbedaan, karena ada satu perbedaan yang tidak akan pernah bisa disatukan. Perasaan itu tentang bagaimana memilih yang terbaik, memastikan yang terbaik itu akan dimiliki tanpa harus mengganti apapun dalam diri kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar