Jumat, 25 Maret 2016

Time Error: Start

Terdengar suara jam memecah kesunyian, suara hewan malam bahkan sudah tidak terdengar lagi. Seorang perempuan tampak duduk di tempat tidurnya dengan laptop ditangannya. Matanya sesekali melihat kearah jam dinding. Ada senyum diwajahnya ketika melihat jarum panjang jam semakin mendekati angka 12. Sementara, tangannya sibuk dengan keyboard laptopnya.


Tangannya tiba-tiba berhenti, matanya menatap tajam kearah jam dindingnya. Matanya mengamati bahkan mengikuti gerak jarum. Dan sebuah senyum merekah diwajahnya saat melihat ketiga jarum jam berada sejajar di angka 12. Helaan nafasnya memecahkan kesunyian.

Tangannya bergerak menutup setiap halaman yang terbuka dilaptopnya. Kemudian mematikan benda canggih itu. Tarikan selimut menjadi tanda bahwa perempuan itu akan beristirahat. Matanya menatap nanar kearah langit-langit seperti ada ketakutan dimatanya.

Pagi hari yang mendung, perempuan itu tampak berdiri didepan pintu rumahnya. Sebuah nama tertera dibajunya. Rainy Adilla. Wajahnya tampak menyiratkan kemendungan sama seperti langit yang sedang dipandangnya.

Dalam hatinya terdengar sebuah gerutuan.

“Harusnya, aku tidak membiarkan malam mengubah langit yang cerah kemarin menjadi mendung pagi ini.” Gumamnya.

Kakinya mulai berjalan menuju sebuah jalan setapak, jalan yang terlihat begitu sepi.  terkadang batu-batu besar menjadi halangan bagi langkah kakinya.

Rainy berhenti di sebuah bangunan, bangunan tua yang tampak menyeramkan. Matanya memandang dalam-dalam bangunan itu. Kemudian kakinya kembali menyusuri jalanan setapak. Sampai akhirnya dia benar-benar berhenti. Berhenti disebuah sekolah.

Anak-anak lain dengan pakaian putih abu-abu tampak terburu-buru masuk kedalam lingkungan sekolah. Rainy berjalan memasuki lingkungan sekolah, sampai akhirnya dia memasuki ruang kelasnya. matanya menyapu seisi kelas. Tangannya meletakkan tasnya perlahan di meja bagian depan. Kemudian mengeluarkan buku, dan sibuk dengan bukunya.

Diluar kelas terdengar riuh suara anak-anak lain. Acara horror disebuah stasiun tv menjadi bahan pembicaraan mereka. Veno, anak laki-laki dengan badan yang besar dan tinggi  menjadi pemimpin cerita mereka pagi ini. Beberapa anak perempuan yang baru datang ikut bergabung menambah riuhnya suasana luar.

Rainy tampak menggeleng-gelengkan kepalanya tiap kali gelak tawa dari luar memecahkan suasana. Gestur tubuhnya menyatakan ketidaknyamanan.

“Rainy, boleh aku duduk disampingmu?” seorang anak perempuan tampak menyapa Rainy.

Rainy hanya membalas dengan senyuman dan anggukan.
Dia Dilla, dulu mereka begitu dekat, Entah mengapa Rainy begitu merasa sing akhir-akhir ini dengan Dilla. Mata Rainy mengikuti langkah kaki Dilla yang ikut bergabung dengan anak kelas yang berada diluar.
Pelajaran dimulai, tidak ada yang istimewa hari ini, kecuali suasana yang berbeda karena suara petir dan cahaya kilat yang memecahkan seisi kelas.

Rainy berjalan kearah gerbang. Matanya menatap tajam kearah Veno yang baru keluar dari ruangan kesiswaan. Matanya tampak menyiratkan kemarahan.

“Ven.” Sapa Rainy dengan tatapan dingin.

“Eh, Rain.” Wajah Veno terlihat tersenyum.

Rain menggerakkan kakinya meninggalkan sekolah. Kemudian berhenti disebuah toko. Keluar dengan plastic besar. Entahlah apa isinya. Kaki Rain kemudian berhenti di depan bangunan tua yang tampak seram. Tangannya memukulkan batu pada pagar besi dihadapannya.

Seorang anak keluar, keluar dengan tatapan senang dan senyuman.

“Kak Rain.” Teriak anak itu.

Rain hanya tersenyum melihat mereka. Tangannya kemudian menyerahkan plastic besar yang ada ditangannya.

“Sisi apa kabar?” Tanya Rain sambil mengusap lembut tangan anak kecil itu.

“Baik kak, kita berharap kakak ada disini, temani kita kak. Semenjak kepergian ibu panti, kami hanya sendirian disini. Berusaha sendiri. Kami rindu ibu panti.” Sisi tampak menangis.

Hati Rain begitu terenyuh melihat wajah anak kecil yang berada dihadapannya kini. Jika saja dirinya punya pendapatan pasti dengan senang hati dia akan menerima anak-anak itu dirumahnya.

****

Kamarnya kini penuh dengan tumpukan buku-buku. Sebentar lagi ujian dimulai dan ini menjadi awal untuk kesuksesannya. Matanya dengan cekatan menjalani huruf demi huruf.

“Tuhan, jadikan Rain berhasil diujian ini.” Gumamnya sambil memejamkan matanya.

Matanya terasa begitu berat, namun hatinya merasa berat untuk tidur. Hatinya ingin merasakan suasana pergantian hari. Saat dimana time error dimulai. Jam digital menunjukkan 00.00 itulah yang ditunggunya.

Matanya menerawang, menerawang kejadian bertahun-tahun yang lalu. Tangannya tampak menggenggam erat pena ditangannya seakan-akan ada yang membuatnya marah saat itu.
Rainy berjalan kearah luar. Suasana dingin begitu menusuk, namun angin segar mampu menggantikan kedinginannnya menjadi ketenangan. Matanya menyapu setiap benda yang berada dihadapannya. Tubuhnya bersandar ke kursi yang didudukinya. Dibiarkannya dirinya dengan pikiran-pikiran yang memenuhi kepalanya.
 “Rain.” Suara seorang wanita terdengar dari dalam, memecahkan pikiran Rain.

“Iya ma.”

Wanita setengah baya yang tak lain adalah ibu Rain tampak berjalan dan duduk disamping putrinya.

“udah nentuin mau kuliah dimana?”

“Udah ma, Rain milih keluar dari kota ini, yaa nyari suasana baru lah.” Jawab Rain dengan senyum.

“Apa Rain enggak takut? Mama khawatir Rain enggak bisa beradaptasi disana. Rain berubah, akhir-akhir ini Rain jadi pendiam.”

“Bisa kok ma, mungkin ini jalan Rain bisa berubah jadi lebih baik.”

Obrolan dengan mamanya menjadi semakin luas sampai akhirnya Rain melewatkan momen yang ditunggunya, saat kakinya melangkah memasuki kamar ternyata jam sudah menunjukkan pukul 00.05. dihempaskannya tubuhnya di tempat tidur miliknya. Matanya terpejam, berharap mimpi indah menyapanya malam ini.

****
Sinar pagi mengantarkan Rain ke kelasnya. sebuah tangan mencegatnya saat akan memasuki kelas.

“Ven?” Tanya Rain bingung.

“Ya, aku mau bicara.” Veno berbicara dengan nada yang begitu menjengkelkan.

“Apa?” Tanya Rain sambil melepaskan tangannya dari tangan Veno.

“Aku mau kamu jadi guru buat aku, sampai ujian selesai.”

Rain menatap dalam-dalam mata Veno, mungkinkah? Seorang berandal seperti Veno mau belajar?

“Rain tolong, aku janji bakalan belajar.” Wajah Veno tampak memelas.

“Oke, mulai nanti. Jadwal aku yang atur. Kendali ada di tangan aku.” Jawab Rain sambil berlalu.

Veno tampak tersenyum senang. Kakinya bahkan melompat karena  senangnya.

“Kamu kenapa Ven?” Ardi bertanya dengan tatapan aneh.

“Aku berhasil buat Rain jadi kelompok belajarku.”

“Yaelah, kok senang banget sih? Suka ya?” Tanya Ardi sambil nyengir.

“Ardi, aku gabakal suka sama orang yang pendiam kaya dia, emangnya enggak ada cewek lain apa? Aku bisa dapatin siapa aja.” Jawab Vino sambil menggerak gerakkan tangannya.

“Dan aku juga enggak akan suka sama orang sebrandal kamu.” Rain bersuara saat melewati Veno

Veno tampak terkejut dan reflex menutup mulutnya. Matanya begitu tegang. Terlihat dihadapnnya Ardi sedang tertawa cekikikan.

“Ven, kamu yakin mau dekat dengan dia? Rain itu sering main ke rumah tua di tikungan jalan. Pernah mikir gak sih jangan-jangan dia itu psikopat yang sedang mencari mangsa. Dan kamu akan dikoyak-koyaknya suatu saat nanti.

“Ardi, aku benci kata-kata tentang psikopat.” Jawab Veno cepat.

Tiba-tiba Rain menyentuh tangan Veno dengan tatapan yang sangat dingin.

“Nanti jam 2.”

“Rain, nanti aku mau main futsal jangan hari ini ya aku mohon.” Veno berbicara dengan wajah memelas. 

“Terserah.” Rain menjawab sambil berlalu.

“Kamu yakin mau belajar sama Rain? Ihh seram tau.” Ardi berbisik ke telinga Veno.

****

Sore itu, tepat jam tiga. Terdengar ketukan pintu dirumah Rain, dengan malas Rain berjalan kearah pintu. Tangannya membukakan pintu dengan cepat, Rain melihat Veno dihadapanny. Nafasnya menghela panjang.

“Hai Rain.” Sapa Veno menaikkan satu tangannya.

“Hai, ayo masuk.”

Mereka berdua duduk di ruangan belajar Rain, Rain memang mempunyai ruangan khusus untuk belajar. Hanya saja Rain tetap merasa lebih nyaman jika belajar di kamar.

“apa  tujuan kamu mau belajar?” Rain memecahkan kesunyian diruangan kecil itu.

“Yah, aku takut. Aku takut enggak bisa lulus.” Veno menjawab sambil sibuk dengan handphonenya.

“Dan kamu berpikir belajar itu cukup dilakukan saat semuanya terlihat tanpa harapan? Kemana aja kamu selama 3 tahun ini.” Ujar Rain dengan jengkel.

“Rain, jangan marah dong. Kamu dulu baik banget loh. Entah lah kamu berubah akhur-akhir ini.”

“Yah, aku punya alasan.” Rain menjawab sambil menatap tajam.

“Alasan apa?” Tanya Veno memicingkan matanya.

“Yaa, ada.” Jawab Rain sambil menggaruk kepala.

Tepat dugaan Rain, belajar dengan Veno akan terasa sulit, bahkan sangat sulit. Veno selalu bercerita tiap kali dijelaskan tentang tugas atau materi yang katanya dia tidak paham. Hampir 3 jam Veno dirumah Rain, sampai akhirnya Veno minta diri pulang kerumahnya.


Malam itu Rain merasa sangat aneh, tidak biasanya dirinya mengantuk sebelum jam 12, entahlah dirinya bergitu kekeh dengan pendiriannya untuk menunggu jarum jam dalam keadaan sejajar.

Rain tersenyum sesaat, tangannya kemudian menulis dikertas. Tulisan rapinya tampak begitu indah.

“Malam ini aku merasa begitu sulit untuk menunggu hari berganti, begitu sulit untuk menahan kantuk. Mungkin sama seperti diriku akan mengubahmu Ven, semua sulit tapi aku berjanji akan membuatmu lebih baik.”

Diletakkannya pena disamping kertas putih yang kini dihiasi tinta biru, senyumnya tampak merekah. Tangannya menggapai selimut. Malam ini Rain memutuskan untuk tidak menunggu time error. Namun senyum tampak diwajahnya saat matanya terpejam.
Matanya kemudian tiba-tiba terbuka, Rain tiba-tiba duduk di samping tempat tidurnya. Kemudian mengambil pena dan mencoret-coret tulisan yang dibuatnya tadi. Kemudian sebuah senyum tampak diwajahnya.
“Terkadang sesuatu perlu dilakukan saat terlihat tanpa harapan, karena sebuah keajaiban akan muncul.” Bibirnya menggumam pelan.

2 komentar:

  1. Kirain cerita horror, keren Win. Asli buatan kau kah? Dapet ide dimana?

    BalasHapus
  2. liat aja lanjutannya yaa, horror atau malah bukan. asli buatan sendiri. Tapi thank you loh udah mampir

    BalasHapus