Selasa, 01 Maret 2016

Lingkaran Pertemanan 3

Aku menatap nanar pandangan Genta, aku masih mengingat kehancuran keluargaku, dan bodohnya aku terjebak dalam lingkaran pertemanan dengan orang itu.

Matahari benar-benar hilang. Kini lampu-lampu terasa begitu hangat, seakan-akan cahaya kekuningan itu berusaha menenangkan diriku.



“Quin, maaf untuk semuanya, aku tidak mau menghancurkan pertemanan kita dengan kata saudara, tapi aku merasa menjadi orang terbodoh saat aku berusaha berteman. Bahkan nyaman dengan saudaraku sendiri.” Genta berucap sambil tertunduk.

“Aku lebih suka aku tidak tahu daripada harus tahu. Aku sangat berharap ini Cuma mimpi dan dirimu bukan saudaraku, dirimu hanya seorang laki-laki dari antah berantah yang tersesat disini. Di sebuah sekolah yang sama denganku.” Ujarku.

“Kamu tahu? Aku benar-benar menentang saat ayahku mengajak pindah, kepindahan kami terasa aneh. Anyahku tidak pernah menyebutkan alasannya. Sampai disini ayahku memaksaku masuk sekolah yang sama denganmu, bahkan memaksaku untuk asrama. Aku merasa bodoh Quin. Rumahku hanya berjarak 50 meter dari sekolah dan aku harus asrama. Aku mungkin bukan seseorang yang selalu bertanya tentang tujuan ayahku. aku yakin beliau punya tujuan. Dan dirimu adalah tujuannya.” Genta menjelaskan sambil mengajakku meninggalkan pantai yang kini sangat dingin dan sunyi.
****
Pagi itu aku bangun dengan pemikiran yang berantakan. Huft. Kuhapuskan semua kekhawatiranku. Aku memang takut, bahkan aku sangat takut. Aku takut saat bertemu dengan Genta. Aku takut aku membencinya, aku takut semua terasa berbeda nantinya.

Koridor sekolah mulai ramai. Aku memutuskan berjalan dengan cepat, bukan karena terlambat. Aku hanya berusaha harus datang lebih dahulu daripada Genta. Karena aku bingung. Aku tidak tahu harus berekspresi bagaimana jika saat aku datang Genta sudah duduk rapi dikursinya.

Ah, aku berhasil, aku sampai dengan tepat waktu. Tidak ada Genta dikelas, hanya ada Hana disana dan anak-anak lain yang sibuk dengan Pr hari ini. Aku melihat Hana, ingin rasanya aku tersenyum. Namun, aku merasa menjadi orang yang bodoh jika melakukan hal yang sama dengan hasil penolakan, namun tetap melakukan. Aku memutuskan melewati Hana tanpa menyapanya.

“Quin.” Sebuah tangan terasa memegang tanganku.

“Ya?” jawabku sambil menolehkan kepalaku ke Hana.

“Kamu saudaranya Genta?”

“Mungkin, aku tidak begitu tahu tentang itu.” Jawabku sambil meletakkan tas.

“Sayang ya, padahal kamu cocok sama Genta. Eh malah saudara.”

Aku menatap mata Hana selama Hana berbicara, ah aku merasakan tipuan disana. Seakan-akan kata-kata itu hana untuk menyogokku untuk menjodohkannya dengan Genta. Genta! Anak laki-laki ganteng dengan mata coklat yang begitu indah. mana mungkin anak perempuan tidak kagum dengannya.

Genta tampak di pintu kelas saat aku akan menjawab kata-kata Hana. Aku memutuskan untuk closing pembicaraanku dengan Hana. Dan saat itu untuk pertama kalinya setelah kami renggang Genta duduk disampingku.

Genta langsung mengambil buku Prku, dan mencari tugas hari ini, kemudian mencatatnya dengan tenang. Ini kebiasaannya dari awal aku mengenalnya. Setiap ada tugas Genta hanya meminjam bukuku, aku terkadang berpikir. Genta yang tidak percaya anak kelas lain, atau aku yang terlalu bodoh? Atau aku yang telah di manfaatkan? Ah masa bodoh, setidaknya saat ini dia kembali.

Aku memicingkan mataku ketugasnya. Ternyata Genta hanya melihat jawaban untuk soal nomor 3 saja. Mungkin dia berjuang tadi malam atau kemarin untuk mengerjakan tugas ini pikirku. Aku menatap wajah Genta yang kini sedang serius dengan tugasnya. Aku sadar dia manis, dia indah. sayangnya aku baru sadar saat ini, dan kita adalah SAUDARA.

“Saudariku terimakasih atas bukunya.” Genta berucap sambil tersenyum.

Emm, agak aneh mungkin. Tapi aku memutuskannya untuk memanggil dengan cara yang seperti itu juga. Mungkin kami bisa menjadi teman baik yang konyol atau saudara yang konyol nantinya.

“Saudariku, kenal Adinda?”

“Adinda anak kelas sebelah?”

“iya Quin.”

“Oh, kenal kenapa?”

“Enggak kok.”

Otakku langsung berputar, membuat teori-teori tentang pertanyaan Genta. Jangan-jangan Genta suka sama Adinda?. Ah Adinda, dia tidak pantas untuk saudaraku!

Pulang sekolah, aku memutuskan untuk langsung ke asrama, aku merasa aku butuh istirahat. Tubuhku terasa lelah. Sore hari setelah tubuhku terasa baikan, aku memutuskan untuk melakukan kebiasaanku. Melihat anak-anak dari lapangan basket dari jendela kamarku.

Sudah jadi kebiasaan saat sore hari para siswa berkumpul di lapangan basket. Ada saja kegiatan yang dilakukan para siswa disana. Aku mencari Radit disana, sudah lama aku tidak melihatnya. Kemana dia? Batinku bertanya pada diriku sendiri.

Mataku tertancap pada sesosok anak laki-laki yang mirip dengan Genta. Aku mengamatinya, aku percaya itu Genta, dan Genta bersama Adinda saat itu. Sejak kapan mereka dekat? Ada rasa muak saat aku melihat Adinda. Dia memang cantik, namun hinaannya tentang diriku saat kelas X masih membekas di hatiku. Iya dulu, saat diriku masih berperang melawan leukemia. Saat kemana-mana aku harus memakai jaket, dan pingsan dimana-mana. Aku tidak menyukai ini, dan tiba-tiba ada rasa tidak rela saat melihat Genta dengan Adinda.

 Aku tidak menemukan Radit di lapangan, aku memutuskan untuk menelepon kekamar Radit, tidak ada jawaban disana. Kemana Radit? Aku memutuskan untuk keluar dari kamarku. Berjalan keliling sekolah, akhirnya aku memutuskan untuk berhenti di taman sekolah.

Aku melihat Radit disana, dengan buku bacaan astronomi di tangannya. Terkadang aku merasa aneh dengan Radit, dari dulu Radit selalu mengatakan dokter adalah cita-citanya, nyatanya semua buku bacaannya tentang astronomi.

Aku menghampiri Radit, aku tahu Radit menyadari kedatanganku, matanya sempat melihatku saat aku berjalan kearahnya. Namun Radit seakan-akan tidak peduli denganku.

“Radit, Radit.” Aku memanggil Radit.

Radit tidak menoleh sedikitpun kepadaku, dia begitu sibuk dengan buku bacaannya. Aku menatap tajam dirinya beberapa menit, Radit bahkan tidak peduli. Aku memegang dagunya dan mengarahkan matanya kearahku.

“Radit, are you okay?” tanyaku dengan tangan yang masih berada di dagu Radit.

“Fine.”jawabnya pendek.

Aku merasa seperti tidak di hargai disini, mana Radit yang dulu? Dimana Radit yang selalu memotivasi?. Aku menunggu di samping Radit. Aku menunggu hampir 15 menit dan Radit tidak mengajakku bicara sedikitpun.

“Radit, kamu kenapa? Kamu kemana aja dua hari ini?” tanyaku mencoba mencairkan suasana kaku ini.
“Loh. Kamu masih butuh aku? Bukannya kamu Cuma butuh Genta? Cuma Genta yang kamu harapin, yaudah pergi aja sana sama Genta.”

“Radit.. kamu salah.”

“Salah apanya? Aku lihat kok Quin kamu kepantai sama Genta, bahkan kamu di sana sampai malam Quin, kurang bukti apa Quin?”

“Radit, Genta itu enggak kaya yang kamu pikirin, kamu udah buat persepsi yang salah.”

“Quin, setiap orang pasti punya persepsi.” Jawab Genta sambil menutup buku bacaannya.

“Iya, semua orang punya hak untuk itu, tapi sadar Radit, kita harus mandang fakta. Kamu bodoh. Kamu udah bilang aku Cuma butuh Genta, aku Cuma butuh kepeduliaan dari Genta. Kamu salah. Aku. Genta. Itu saudara Radit.”

“Saudara dari mana Quin? Kalian kenalan disini, jadi saudaranya dari mana? Jangan buat cerita yang seakan-akan Genta saudaramu, padahal kamu sangat berharap lebih.”

“Aku sama Genta itu satu ayah, ayahku Mahendra adalah Mahendra yang sama dengan ayah Genta. Kita memang beda ibu, dan yang sebenarnya Genta adalah anak ayahku dari istri simpanan ayahku.”

“Quin? Lalu kamu menerima semuanya? Melupakan kehancuran keluargamu? Aku bahkan melihat dirimu begitu dekat dengannya tadi.”

“Radit, aku sudah memutuskan aku memaafkan semuanya, ini bukan tentang kesalahan. Sebuah kesalahan mungkin meninggalkan luka, tapi akan lebih bodoh jika dirimu tetap berdiri dalam luka yang sama atau bahkan menggali lebih dalam luka itu.” Aku menjawab Radit dengan suara pelan.
“Atau kamu hanya memaafkan Genta karena dia ganteng? Atau karena Genta banyak disukai anak-anak sekolah kita?”

“Stop Radit, aku bukan orang yang mencari ketenaran. Radit berhenti membuat persepsi tentang dirimu untuk orang lain. Mungkin kelihatannya aku begitu dekat dengan Genta, mungkin sangat rapat dan sedikit kemungkinan untuk dirimu masuk kedalam kedekatan kami. Tapi percayalah tidak ada yang tidak mungkin. Sebuah perasaan akan mengubah semuanya. Semua kenyamanan akan mengubah semuanya. “

Aku menatap Radit, yang kini seakan –akan sedang berpikir. Intinya aku ingin Radit tahu, aku sangat menghargai dirinya. Mungkin seakan-akan semua hal tentang diriku selalu ada Genta. Faktanya semua hal tentang diriku adalah tentang Radit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar