Minggu, 13 Maret 2016

Lingkaran Pertemanan 6

Aku menatap dalam-dalam mata Yudha. Jujur aku tidak memiliki rasa untuknya sedikitpun. Aku harus bagaimana? Haruskah aku menerima orang yang tidak ada tersimpan sedikitpun dihatiku? Atau aku menolak saja? Aku takut. Aku takut jika aku menolak, akan melukai Yudha.

Aku menatap Yudha cukup lama, sampai akhirnya aku melihat Genta berjalan kearah kami. Ada sebuah senyuman di bibir Genta, aku melihat anggukan di kepala Genta. Aku bingung sungguh.


“Yud, kita enggak pernah dekat loh sebelumnya.” Ujarku memecahkan kesunyian.

“Perasaan sayang itu sederhana Quin, kamu tidak perlu membuatnya berharap. Kamu hanya perlu menyatakannya.” Jawab Yudha lugas.

Aku menundukkan kepalaku. Aku merasakan Yudha duduk disampingku. Tangannya menyodorkan bunga mawar yang sedari tadi di pegangnya.

“Yud, aku udah mikir, dan aku udah mutusin. Jawabannya ya.”

“Quin, thanks. Aku janji bakal buat kamu senyum, ngebuat kamu ngerasain apa itu cinta, dan apa itu sayang.” Jawab Yudha.

Setelah hari itu, aku dan Yudha menjadi sangat dekat. Yudha, dia orang yang sangat peduli, romantic dan dia menciptakan dirinya seperti yang aku mau. Lalu dimana Radit? Aku tidak pernah berbicara dengannya. Setiap kali bertemu pasti Radit membuang mukanya. Aku merasa aneh, tentunya. siapa yang salah diantara kami? Aku merasa dia yang salah. Dia yang sudah membuatku menghargai kehadirannya namun dia yang meninggalkan.

“Quin, aku mau ngajak kamu ke satu tempat.” Genta berbicara perlahan saat main kerumah  tanteku.
Ya, kami sudah tidak diasrama sekolah lagi, tentunya karena kami sudah menyelesaikan ujian-ujian kami.

“Sekarang?”

“Iya, siap-siap gih.”

Aku masuk kerumahku, mengambil jaketku dan berjalan kearah luar.

“Ayo.”

“Tapi janji enggak marah-marah nanti ya.”

“Kenapa?” tanyaku.

Genta menarik tanganku ke mobilnya, aku hanya memandangi Genta. Perjalanan terasa begitu jauh dan berkelok-kelok. Sampai akhirnya Genta berhenti disebuah rumah sakit. aku menatap aneh wajah Genta, aku bingung apa fungsinya dia membawaku kesini?

“Gen? ini enggak salah tempatkan? Kamu enggak lagi pengen uji nyalikan?” tanyaku sambil memandangi bangunan yang berada di hadapanku.

“Ayo Quin.”

Kami berjalan diantara koridor rumah sakit, sampai akhirnya kami berhenti disebuah ruangan. Ruangan yang bertuliskan nama ayahku.

“Ayah?” ujarku.

Aku melangkahkan kakiku kedalam, aku melihat seorang pria tua disana. Seorang pria tanpa rambutnya dan selang oksigen dihidungnya. Aku hanya bisa diam, aku bingung harus berbicara apa dengan orang yang sudah sangat lama tidak kujumpai.

“Quin.” Lelaki itu berujar lirih.

“Ya.”

“Ini, ayah. Ayah tahu kamu pasti datang. Ayah sudah mencarimu kemana-mana.”

“Seharusnya tidak perlu mencari sesuatu yang sudah ditinggalkan.” Jawabku lirih.

“Quin, umur ayah udah enggak lama lagi, ayah mencari kamu. Bukan untuk kamu mengakui ayahmu adalah orang yang saat ini berada di hadapanmu saat ini . Tapi untuk meminta maaf atas kesalahan ayah.”

“Aku sudah melupakannya ayah.”

Aku mendengar derit pintu, dan seorang wanita berjalan masuk kedalam. Wanita yang asing bagiku, aku tidak mengenal wanita itu. Wanita itu menatap kearahku dan berjalan mendekatiku. Tangannya kemudian memelukku.

“Quin, maafin tante ya.” Aku mendengar suara ini dibalik pelukannya.

Aku bingung, aku bukan seorang anak SMA yang berpikir cepat, aku perlu pertimbangan.

Hari itu, aku memutuskan untuk memaafkan semuanya. Aku merasakan kecupan kecil dikeningku saat aku meninggalkan rumah sakit. aku tahu kecupan itu, kecupan yang masih sama seperti beberapa tahun yang lalu.

Aku menghabiskan hari-hariku dirumah, hari-hariku hanya di penuhi dengan buku cerita tidak lagi buku pelajaran seperti beberapa bulan yang lalu.

Pagi itu aku menghabiskan hariku dengan memandang matahari diteras rumahku. Ah aku begitu menyukai cahaya pagi matahari. Entahlah aku begitu menyukai cahaya ini. Ada rasa syukur tiap kali dapat merasakan sentuhan cahaya hangat ini.

Aku mendengar suara mobil memasuki pekarangan rumahku, ada rasa aneh. Tidak biasanya ada orang yang bertamu sepagi ini. Aku menunggu orang yang berada dalam mobil keluar. Entah kenapa, orang itu membuatku cukup lama menunggu.

Aku melihatnya saat ini, seorang lelaki dengan pakaian serba hitam dan… dia Genta. Aku berjalan kearahnya. Aku melihat wajahnya, wajahnya sembab. Matanya begitu nanar, ada air mata yang membasahi pelupuk matanya.

“Genta, kamu kenapa?” Tanyaku.

Genta tidak berbicara sedikitpun, tangannya memegang erat tanganku, air matanya jatuh, dan Genta memelukku. Aku bingung. Aku tidak tahu apa yang terjadi, aku butuh penjelasan.

Genta melepaskan pelukannya dariku, matanya menatap mataku.

“Quin, ayah.”

“Iya, ayah kenapa Genta?” tanyaku bingung.

“Ayah udah pergi Quin. Ayah udah enggak ada.” Genta berbicara dan jatuh berlutut di rerumputan.

“Genta…” ujarku lirih sambil memegang tangannya.

Aku syok saat itu, baru beberapa minggu yang lalu aku merasakan kecupan ayahku, dan saat ini beliau pergi? Pergi dan tidak akan kembali lagi. Aku merasa aku bodoh, harusnya aku tahu umur ayahku tidak akan lama lagi. Dan harusnya aku disana, menemani ayahku. saat ayahku memegang tanganku, aku merasa melihat bintang diantara kegelapan dan saat ini bintang itu pergi. Aku gelap, aku hampa.

Aku berlari kedalam rumah dan memberitahukan tanteku. Tanteku begitu syok bahkan tidak bersuara beberapa menit.

Sore itu, aku berada di antara tanah merah pemakaman. Diantara orang-orang berbaju hitam. Aku lelah dengan air mataku yang keluar dengan mudahnya, aku bersyukur ada Yudha disini,disampingku. Namun aku tidak melihat Genta sejauh ini, aku hanya melihat seorang ibu ya itu istri ayahku, beliau berkali-kali pingsan. Aku melihat kejelasan cinta dimata ibu tiriku ini.

Aku berjalan keluar pemakaman saat semua telah selesai. Aku melihat Genta keluar dari mobil, namun mobilnya berbeda entahlah. Mungkin saja mobil ayah kami.

“Genta.”aku memanggil pelan.

“Genta….” Teriakku

Genta menoleh kearahku, entah mengapa kulit Genta sedikit berbeda hari ini. Kulitnya putih tidak seperti Genta yang biasanya, Genta yang berkulit kuning langsat.

“Kamu kemana aja?” tanyaku lugas.

“Eh, enggak kemana-mana aku disini aja kok.” Jawabnya sedikit tergagap.

Genta memainkan tangannya dikepalaku sambil tersenyum, aku tahu itu senyum palsu. Senyum yang tercipta untuk menghibur dirinya. Sebuah tangan menarikku saat aku hendak meninggalkan pemakaman. Aku menolehkan mataku kearah yang empunya tangan. Ternyata itu ibu tiriku, ibunya Genta.

“Quin, tante boleh bicara?”

“Oh, iya boleh tante.”

“Besok datang kerumah ya, ada yang mau tante bicarain.”

Aku hanya menganggukkan kepalaku pelan.

Aku meninggalkan pemakaman. Huft aku merasa hampa saat ini. Aku berjanji untuk menguatkan diriku dan menguatkan Genta. Aku tahu saudaraku itu pasti merasa sangat terpukul.

Pagi itu aku sudah tiba dirumah Genta. Aku memenuhi janjiku. Agak ragu awalnya, aku melangkahkan kakiku tepat berhenti didepan pintu rumah Genta. Aku mengetuk perlahan, seorang wanita keluar dari dalam.

“Oh, Quin ayo masuk, tepat sekali pengacaranya juga udah datang.”

Aku merasa bingung, pengacara? Apa ayahku meninggal karena diracuni? Perkataan ibunya Genta memberi banyak pertanyaan dikepalaku.

Aku duduk disamping seorang pria paruh baya dan ibu Genta tepat dihadapanku.

“Sebelumnya perkenalkan saya Darmo, Pengacara pribadi keluarga Mahendra.” Lelaki itu memperkenalkan dirinya.

“Nona Quin, saya memanggil anda kesini berhubungan dengan surat wasiat ayahanda.” Lanjutnya.

“Ya.” Jawabku pelan.

“Sebelumnya saya sudah menghubungi Qina, namun Qina sedang diluar kota saat ini bukan?”

“Ya, kak Qina lagi diluar kota.” Jawabku

“Menurut surat wasiat pak Mahendra, harta miliknya diwariskan 30% kepada anda dan 30% lagi kepada Qina. Sisanya 40 % diberikan kepada ibu Ranita dan kedua anaknya.” Ujar pak Darmo.

Aku merasa bingung disini, mengapa kami mendapatkan bagian? Bahkan lebih besar dari saudara tiri kami? Aku berpikir untuk positif. Aku melihat kearah ibunya Genta, sebuah senyuman tersungging diwajahnya. Artinya tidak ada keberatan sedikitpun atas keputusan itu. Bagaimana mungkin? Bukankan seharusnya dia keberatan?

Aku meminta diri ke kebelakang setelah semua pembicaraan selesai. Aku melewati dapur dan aku melihat Genta disana, aku merasa aneh, entah mengapa saudaraku ini begitu berbeda, tidak ada lagi kelucuan diwajahnya.

“Hai Gen.” Sapaku.

“Oh… hai” jawabnya tergagap seakan-akan tidak siap dengan sapaanku.

“Eh, tadi aku dengar anak ayah dari ibumu ada dua ya? Diatasmu atau dibawahmu?” tanyaku sambil melihat-lihat sekeliling dapur.

“Adik Quin.”

“Oh ya? Dimana dia sekarang? Aku enggak liat sama sekali waktu dipemakaman.” Jawabku lugas.

“Dia drop Quin, dia enggak siap dengan semuanya.” Jawab Genta dengan raut wajah sedih.

“Oh ya. Kemarin kamu bilang janji mau minjamin novel.”

“Novel? Oh iya. Bentar aku ambil.”

Genta berjalan kearah sebuah kamar, aku mengikutinya dari belakang. Genta masuk dan menutup rapat pintunya. Ah genta beginikah dia saat dirumah? Setahuku dia bukan orang yang suka menutup pintu kamar. Sekitar 15 menit aku menunggu didepan pintu kamar Genta. Huft aku bosan. Aku mengetuk pintu kamar Genta.

“Quin, bentar ya. Aku lagi nyari bukunya. Jangan masuk, kamarnya berantakan.” Terdengar suara Genta disana.

Setelah menunggu lama, akhirnya Genta keluar dengan sebuah buku ditangannya. Aku tersenyum kearah Genta sambil menerima buku dari tangannya.

“Tiga hari lagi, farewell party Gen, jemput ya.” Ujarku.

“Oh, rumah kamu dimana ya?”

“Genta.. kamu kenapa sih? Kamu udah berkali-kali kerumah tapi enggak ingat. Kena pikun dini ya?” jawabku sewot.


Genta hanya terkekeh pelan. Aku pamit setelah mengambil buku dari Genta dan beberapa dokumen penting.
******


Hari ini acara perpisahan sekolah. Aku sudah siap dengan semuanya. Aku memutuskan untuk merubah diriku, aku ingin terlihat sempurna hari ini. Untuk Yudha tentunya. Pagi itu Genta menjemputku, ah dia begitu tampan hari ini. Sebuah senyum manis tersungging diwajahnya namun entah mengapa senyumnya begitu asing.

Aku bertemu Yudha hari ini, Hampir sebulan kami tidak bertemu, itu karena Yudha sudah mulai beradaptasi dengan daerah kuliahnya yang berada di luar kota.

Yudha memegang tanganku saat ini, tangan yang begitu kuat mengenggam namun seperti tidak ada kehangatan didalamnya. Aku menghabiskan hariku bersama Yudha, aku mungkin belum bisa menerimanya sepenuhnya. Jujur aku masih terjebak dengan masa laluku.

Aku juga melihat Radit disini, Radit dan teman-teman yang lain. Bukankah seharusnya Radit bersama wanita yang populer itu? Aku melihat Hana berjalan mendekati Radit, dan mereka berpegangan tangan. Oh Tuhan, mereka pacaran?

Tiba-tiba punggung dan pinggangku terasa sakit begitu hebat. Aku meminta Genta mengantarku kerumah sakit saat itu. Aku benar-benar tidak kuat dengan sakit yang kuderita. Beberapa jam kemudian dokter memberitahukanku, bahwa aku mengalami gagal ginjal, satu-satunya jalan adalah mencari pendonor ginjal. Buruknya saat ini tidak ada stok untuk itu.

Hidupku hanya tinggal 3 minggu lagi, jika aku tidak mendapatkan maka aku akan pergi, pergi jauh dan bertemu ayahku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar