Selasa, 15 Maret 2016

Lingkaran Pertemanan 7 (End)

Hari-hari terakhirku hanya ditemani oleh Genta. Kami pergi kemana saja yang menarik. Genta mengatakan jangan pernah terfokus dengan hal yang akan menghancurkan dirimu, tapi berfokuslah untuk menjadi kuat sehingga tidak ada satupun yang dapat menghancurkanmu. Entah mengapa Genta terasa begitu berbeda. Satu hal yang kurasakan  entah mengapa aku begitu nyaman disampingnya. Seharusnya tidak ada rasa yang timbul jika memang kami saudara, harusnya pertemanan kami murni sebuah pertemanan.


Satu minggu terakhir penyakitku semakin parah, mencari pendonor ginjal memang sulit. Aku harus berada di rumah sakit. tanganku terasa sakit karena suntikan obat. Tubuhku semakin pucat, aku semakin tidak berdaya. Aku tidak memberitahukan keadaanku kepada Yudha, aku tidak ingin Yudha merasa khawatir tentangku.

Dihari-hari akhirku, akhirnya ada seorang pendonor. Tuhan memang menciptakan semuanya begitu tertata. Akhirnya aku bisa pulih dengan operasi yang sangat lama, andai aja aku bisa bertemu pendonornya ingin rasanya aku memeluknya dan mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya. Sayangnya pihak rumah sakit merahasiakannya.

Saat pertama kali aku sadar, aku melihat Ibuku, Tanteku dan saudara-saudara yang lain serta ibu tiriku. Ibu tiriku berdiri disampingku dengan wajah sembab. Aku merasakan tatapannya begitu penuh cinta kepadaku, mungkin selama ini aku salah. Aku salah menilai semuanya. Aku melihat Genta masuk keruanganku. Aku benar-benar bahagia bisa kembali.

“Genta. Hai, kita bisa main lagi yaa, aku udah kembali.” Sapaku.

Aku melihat air mata jatuh dari pelupuk mata ibuku, dan ibu tiriku. Ada yang salah? Aku merasa aneh dengan semuanya. Mungkin mereka merasa sedih? Atau mungkin itu tangis bahagia.

Akhirnya aku diterima di Universitas Negeri dan Genta dia diterima disekolah pilot. Aku merasa aneh. Genta bukan orang yang terobsesi dengan pilot.  Saudaraku ini memang penuh kejutan. Wanita yang mendapatkan hatinya nantinya tentulah wanita yang paling beruntung.

Sore ini, hari terakhir Genta disini, besok Genta sudah berangkat kekota lain. Melanjutkan sekolahnya. Aku mengajaknya ke pantai, pantai yang sama saat Genta mengatakan sebuah rahasia besar.

“Gen, bukannya dulu kamu maunya masuk Kedokteran? Kok sekarang malah pilot?” tanyaku sambil memainkan pasir.

“Ah, waktu itu aku bohong Quin, ini tujuan hidupku yang sebenarnya.” Jawabnya cepat.

“Kamu, tahu? Dulu kamu menciptakan sebuah fakta disini. Aku merindukan seseorang yang berada dalam fakta itu Gen, ayah…” ujarku lirih.

“Kamu tahu Quin? Setiap orang pasti pergi, terkadang sebuah kepergian tidak akan dirasakan oleh oranglain, jika ada pengganti yang tepat.” Genta berbicara sambil menunduk.

Seakan-akan ada beban dipikirannya.

“Aku tadi dari pemakaman, aku berharap dua orang yang kusayangi telah tenang disana.” Genta melanjutkan.

“Dua orang? Tentunya sangat sakit ditinggal orang yang telah mengisi hari-hari kita.” Jawabku

Genta tidak berbicara sedikitpun, hanya saja matanya seakan-akan berbicara.
****
Aku menghabiskan hari-hariku sebagai wanita normal, wanita yang sedang mengejar mimpinya. Aku berusaha kuliah dengan sungguh-sungguh. Dan berusaha menjalani hubungan LDR ku dengan Yudha. Memang tidak mudah, semua berubah. Yudha tidak sehangat dulu dan tidak seintens dulu menghubungiku.

Hari ini aku memutuskan untuk menemui Yudha, aku ingin membuat kejutan untuknya, aku tidak akan memberitahukan kehadiranku.

“Aku lagi di Café Rado.” Terdengar suara Yudha di telefon.

Aku menggerakkan kakiku kearah tempat yang dimaksud oleh Yudha. Aku duduk sekitar 3 meja darinya. Dari sini aku bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan oleh Yudha. Saat aku sedang mengamati, aku melihat seorang wanita duduk dihadapan Yudha dan tersenyum begitu manis. Itu Hana. Aku tahu itu. Aku memanjangkan telingaku untuk mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan.

“Yudha. Gimana sama Quin?”

“Baik-baik aja, toh dia enggak tahu kalau aku disini punya kamu. Kamu gimana sama Radit?”

“Aku udah putus sama dia, hmm. Cape ah ngomongi dia.” Jawab Hana.

Hah? Aku berjalan cepat kearah meja mereka dan duduk gabung dengan mereka. Ada sebuah keterkejutan diwajah mereka, entahlah aku merasa muak dengan semua ini.

“Hai, Yudha.” Sapaku sambil tersenyum sinis.

“Quin, kamu ngapain disini?”

“Ngeliatin pacar yang lagi selingkuh.” Jawabku lugas.
“Hai, Hana. Mari selesaikan masalah kita. Ada apa sih diantara kita? Mengapa kamu yang dulu begitu baik berubah menjadi begitu menjijikkan?” tanyaku menatap Hana.

“Aku dekat sama kamu karena aku butuh orang yang ngebuat aku dekat dengan orang yang kusuka. Semua palsu, pertemanan kita palsu. Aku tidak pernah menganggapmu teman.”  Jawab Hana.

Aku benci dengan masalah ini, dan aku membenci mereka berdua. Aku meninggalkan café dengan sebelumnya mengucapkan kata-kata yang menandakan berakhirnya hubungan kami. Disini aku sadar, lingkaran pertemanan tidak selalu tentang kebenaran, terkadang orang menciptakan pertemanan palsu, sebuah pertemanan yang hanya memanfaatkan.

Aku sudah melepaskan semuanya, aku akan focus dengan kuliahku.
****

Usahaku selama bertahun-tahun terbayar dengan selesainya skripsiku tepat waktu. Huft aku bahagia sungguh.

Minggu pagi Genta mengajakku bermain dibukit. Aku mengikuti keinginannya. Yah aku juga bosan dirumah terus-menerus, menunggu wisuda yang masih beberapa minggu lagi. Sesampai dipuncak bukit, Genta mengajakku duduk dan memberikan sebuah kotak kepadaku.

Aku membuka kotak darinya, ada sebuah surat didalamnya. Aku membuka surat yang sudah berwarna kekuningan kertasnya ini.

Hai Quin.
Kamu pasti udah sembuhkan? Semangat ya saudaraku. Mungkin aku udah enggak bisa lagi ada buat kamu, ketawa bareng kamu atau kejar-kejaran bareng kamu. Aku pamit ya Quin, jaga diri kamu baik-baik. Aku udah minta Edwin buat gantiin aku. Aku enggak mau kamu sedih.
Satu hal, aku sayang kamu. Bukan sebagai saudara tapi sebagai orang asing, yah mungkin sebagai teman. Maaf untuk tulisan yang begitu jelek. Aku sudah tidak mampu Quin.                                                                                                                                                                                                                                                          Genta

Aku menatap asing mata Genta.

“Kamu siapa?” tanyaku tegas.

“Aku, Edwin saudara kembar dari Genta.” Jawabnya perlahan.

“Genta kemana?”

“Aku bakalan cerita semuanya Quin.”

Siang itu sebelum kepemakaman Genta pingsan. Genta dilarikan kerumah sakit hari itu, dan dokter memvonis Genta terkena kanker darah. Kanker darah yang begitu ganas, waktu hidupnya paling lama sebulan.

Genta. Anak laki-laki itu begitu menyanyangi Quin, ada rasa sayang dihatinya. Saat dimana Genta masih dapat bergerak , Genta menitipkan Quin kepada Edwin.

Genta pergi, ya dia pergi dan menyusul ayah. Genta pergi dan membuat Quin hidup.

“Kenapa enggak ada yang bilang?” air mataku mengalir deras.

“Quin. Genta maunya kamu bahagia.Sebenarnya waktu kamu minjam buku, Genta ada dikamarnya. Itu kenapa aku enggak boleh kamu masuk.”

“Kamu pikir aku bahagia? Aku kehilangan saudaraku dan aku bahagia? Kamu bodoh.” Jawabku tegas.

“Saudara? Kita enggak ada hubungan saudara Quin. Kamu tahu? Ayah menikahi ibuku bukan karena perselingkuhan. Ayah menikahi ibu untuk menutupi aib ibuku, aib bodoh yang diciptakannya. Aku dan Genta bukan anak ayah. Kami berdua hanya dua orang yang terselamatkan karena ayah.” Edwin bercerita sambil memegang tanganku.

“Kenapa enggak ada yang bilang tentang kejadian yang sebenarnya? Kenapa? Atau kalian berpikir aku begitu bodoh sampai tak mampu menerimanya?” tanyaku lirih.


“Genta sebenarnya tahu ini semua, karena akhirnya ayah dan ibu jujur tentang apa yang terjadi. Kamu tahu, Genta sangat sedih ketika kamu menerima Yudha, tapi Genta takut. Genta takut jika dia menyatakannya semua akan berakhir sebelum waktunya. Ingat sebuah hubungan tanpa ikatan yang sah pasti berakhir. “

“Kenapa kamu gantiin Genta? Kenapa kamu mau?” tanyaku sambil menghapus air mataku.

“Quin, aku menjalankan amanat Genta. Kamu sadar Quin. Genta enggak mau kamu tahu.”

“Lalu, apa yang kamu rasakan setelah menggantikan Genta? Apa kamu bosan dengan semuanya? Karena itu kamu menyerah dan mengatakan yang sebenarnya?” tanyaku dengan mata sinis.

“Quin, jujur selama beberapa tahun terakhir aku mengenalmu, aku dekat denganmu. Walaupun hanya sebagai Genta. Ada rasa yang berbeda, mungkin ini Cuma perasaan bodoh yang tercipta dari sebuah kedekatan. Tapi aku tahu Genta pernah merasakan ini.”

Aku memandang dalam-dalam Edwin, pantas saja senyumnya begitu asing. Matanya begitu berbeda. Dia memang bukan Genta. Aku menatap langit yang mendung. Tuhan… jaga Genta disana. Mengapa semua terjadi dan aku tidak menyadari semuanya?

“Genta sebenarnya tahu kalau kita bukan saudara, kamu tahu dia pergi dengan perasaan sayang yang mendalam untukmu.” Lanjut Edwin.

“ Genta tidak pernah menyatakan, karena satu hal. Dia takut semua berakhir, karena dia ingin sebuah cinta yang sejati. Dia ingin hidup denganmu. Dan saat ini aku merasakan apa yang dirasakannya.”

“Quin will you marry me?”
Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan Edwin. Namun jujur aku merasakan perasaan yang sama, perasaan yang mendalam. Ikatan saudara membuatku percaya rasa sayang yang kurasakan semua karena semata-mata saudara.

“Edwin, aku butuh waktu untuk ini.” Jawabku.

Berhari-hari aku memikirkan semuanya, dan aku meminta pendapat ibuku tentang ini. Ibuku mengatakan ya, maka aku akan mengatakan ya terhadap Edwin.

Aku menemui Edwin hari ini, pertemuan singkat disebuah banadara karena Edwin harus pergi lagi kekota lain.

“Ed” panggilku

“Ah, Quin. Kenapa?”

“Aku udah mikirin semuanya dan jawabannya I will.” Jawabku  sambil tersenyum.

“Quin…”

“Aku Cuma mau bilang itu, dah Edwin. Kerja yang baik ya.” Jawabku sambil meninggalkan Edwin.

Aku mendengar suara langkah mengejarku. Aku menolehkan kepalaku.

“Quin.” Edwin memanggilku.

“Hati-hati ya.” Ujarnya sambil mencium tanganku.
Ah Edwin, aku merasakan pegangan yang sama dengan Genta. Aku tersenyum dan meninggalkan Edwin disana.

Terkadang kamu perlu membiarkan mereka bersama lain, untuk membiarkan waktu bekerja dan memastikan dia berada bersamamu selamanya. Banyak hal yang disembunyikan dalam setiap pribadi manusia, mungkin saja tentang dirimu ada dalam hal yang disembunyikannya.sebuah pertemanan tercipta dengan dua kemungkinan, pertemanan yang asli atau hanya sekedar memanfaatkan. Mungkin saja seseorang pergi dan dirimu tidak menyadarinya, bukan karena dirimu bodoh, hanya saja ada orang lain yang menggantikan perannya .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar