Hujan
Sebuah
senyuman melintas di mataku, bayangan yang sangat memilukan. Ingin
rasanya menyentuhnya, merasakan kehangatan darinya dihari yang dingin
ini. Gerimis telah berubah menjadi hujan, hujan yang lebat bahkan aku
tidak dapat mendengarkan apapun selain suara hujan.
Diluar
tampak anak-anak berlari-larian diantara tetesan hujan. Senyum tampak
merekah diwajah mereka. Senyum tanpa beban. Dulu aku pernah berada
disana, berada dalam senyuman yang sama. Senyuman karena hujan. Hujan
mengubah segalanya!
Namaku
Sania. Orang-orang memanggilku San, aku yang menyuruh mereka
memanggilku begitu, karena aku menyukai matahari. Matahari sumber energi
terbesar, aku berharap aku mempunyai kekuatan sebesar matahari,
melakukan kebaikan dengan kekuatanku, dan mengubah kenyataan ini menjadi
mimpi.
Kujalankan kursi rodaku keluar kamarku yang sangat nyaman ini. Dingin terasa menusuk tulang saat aku berada didepan rumahku.
“San, kenapa diluar dinginnya hujan enggak baik untuk kamu sayang.” Terdengar suara Ibuku dari dalam.
“Iya bu, Sania Cuma sebentar kok.”
Terdengar
langkah suara ibuku menuju kearahku. Senyum tampak diwajahnya. Dengan
beban seberat ini pun ibuku masih dapat tersenyum. Entah kenapa terasa
sulit untuk tersenyum begitu tulus seperti ibuku. Setelah kejadian 4
tahun yang lalu, aku mencoba untuk tersenyum. Tersenyum dan menerima
semuanya. Tersenyum dan mengatakan “Aku bisa!”. Semua sulit. Semua
terasa bodoh. Tidak alasan bagiku untuk tersenyum.
“Mau diantar jalan keluar rumah besok?” ujar ibuku
“kemana?,
aku lebih nyaman disini bu, tanpa gangguan dari apapun termasuk
mereka.” Ujarku menunjuk kearah hujan yang mulai mereda.
“San jangan membenci hujan, bukan hujan yang salah semua sudah takdir.”
“Hujan yang menyebabkan semuanya bu.”
“Cobalah tersenyum San, kamu bisa. Masa depanmu masih panjang nak.” Ujar ibuku sambil mendorong kursi rodaku kedalam.
“bu
rencananya Sania mau ikut reunian sama teman sekolah. Tapi Sania malu
dengan keadaan Sania seperti ini. Apalagi reunian diadakan di tempat
terbuka. Sania takut bu.” Ujarku pelan.
“Ibu nanti antar Sania ketempatnya. Jangan berpikir yang buruk San. Ibu yang jaga kamu.” Tangan ibuku terasa mengusap kepalaku.
Reunian
dilaksanakan besok, aku berharap aku mempunyai mental untuk datang.
Kusiapkan barang-barang yang akan kugunakan besok. Kucoba memejamkan
mataku untuk tidur, ah. Pertanyaan buruk selalu hadir dipikiranku.
Bisakah mereka memandangku tanpa rasa aneh? Bisakah aku mengatakan hai
kepada mereka? Bisakah aku tersenyum disana?. Pertanyaan bodoh ini
bahkan membawaku kealam mimpi.
Reunian
dimulai jam sembilan pagi jam delapan aku telah berangkat dari rumah
dengan ibuku yang sangat setia megantar dan menjemputku. Pikiranku
diselimuti kebimbangan, benarkah keputusanku untuk ikut reunian ini?
Atau aku harus kembali saja?.
Tiba
ditempat itu aku menuju tempat temanku berkumpul. Tampak mereka
tersenyum menyambutku. Ada yang melihatku dengan aneh. Seorang wanita
belari kearahku memelukku bahkan berteriak memanggil namaku. Dia
sahabatku, Rina. Teman yang kuanggap sebagai saudara. Hanya dia yang
mengetahui keadaanku. Dia yang mengetahui betapa sulitnya aku menjalani
hari-hariku dengan kursi roda yang payah ini. Anak lain mendekatiku
menanyakan bagaimana aku bisa begini, Rina yang menjawab semua
pertanyaan mereka. Bagiku Rina adalah juru bicara yang baik.
Hari
mulai sore dimana kami masih berada disini, berbagi cerita yang bahkan
tidak ada habis-habisnya. Tiba-tiba gerimis turun. Kami berteduh di
sebuah aula. Gerimis berubah menjadi hujan. Banyak teman-temanku yang
bermain hujan. Aku hanya terdiam memperhatikan mereka. Sebuah tangan
terasa menyentuh kepalaku. Kutolehkan kepalaku kearah belakang. Tangan
milik Billy, Billy merupakan pria yang paling manis dikelasku saat SMP
dulu.
“Tidak ikut main hujan?” tanyanya pelan.
“enggak, aku enggak suka hujan.” Jawabku.
“benarkah?
Dulu kita sering bermain hujan. Tidak mungkin kamu benci tetesan air
yang lembut ini.” Ujarnya sambil menadahkan tangannya kearah tetesan
hujan.
“Semua
berubah Bill. Diriku yang sekarang bukan diriku yang dulu. Kamu bisa
melihat dulu aku berjalan dengan kaki ini, berlari dengan kedua kakiku.
Sekarang aku berjalan dengan apa? Berlari dengan apa?” jawabku sambil
menundukkan kepala.
“Aku
siap menjadi kaki untukmu, berlari untukmu. Kita bisa seperti dulu
Sania. Bahkan aku tidak melihat senyum diwajahmu. Cobalah tersenyum aku
merindukan senyuman itu.” Ujarnya mengusap kepalaku.
“Pentingkah sebuah senyuman saat dimana semua terasa bodoh?” ujarku sambil meninggalkannya.
Terdengar suara kaki berjalan kearahku. Mungkin Rina pikirku.
“Tunggu aku dirumahmu, aku akan kerumahmu besok.” Sebuah suara membisik ditelingaku.
Kutolehkan
kepalaku. Wajah Billy tampak disana dengan senyum yang sangat manis.
Tatapannya menatap lembut mataku, tatapannya selalu membuatku merasa
nyaman.
Acara
berakhir aku meninggalkan tempat ini dengan sangat lega. Tidak ada
pertanyaan bodoh itu yang terjawab dengan buruk, semuanya baik-baik
saja. Mungkin mereka semua adalah teman terbaik.
***
Hari
ini aku sepanjang hari berada diteras rumah. Entah kenapa aku menunggu
kedatangan Billy. Aku menunggunya menepati janjinya. Sekitar jam duaan
terdengar suara mobil memasuki pekaranganku. Itu Billy aku
mengetahuinya. Aku selalu mengupdate tentang dirinya karena dia
mempunyai tempat berbeda dihatiku.
Tampak senyumnya merekah ketika menatapku.
“Menungguku?” tanyanya dengan senyuman masih diwajahnya.
“Enggak, kebetulan aja tadi lagi disini.” Jawabku berbohong.
Berjam-jam
kami habiskan untuk bercerita tentang kebersamaan kami. Mungkin kami
terlalu dekat saat itu hingga terlalu banyak cerita yang bisa kami
bagikan.
“Sania, boleh aku bertanya?”
“Ya”
“Apa yang terjadi dengan kakimu.” Tanyanya pelan sekali bahkan kata terakhir hampir tidak terdengar.
Akupun
menceritakan semuanya kepada Billy. Empat tahun yang lalu sebuah
kecelakaan menimpaku dan ayahku. saat kami dalam jalan pulang hujan
deras turun, air hujan bahkan membuat jalanan tidak terlihat, tiba-tiba
mobil yang kami kendarai terasa jatuh. Ternyata mobil yang kami kendarai
masuk kedalam jurangyang tidak terlalu dalam namun kejadian ini membuat
ayahku pergi untuk selamanya. Aku koma selama dua minggu. Dokter
mengatakan kakiku bisa berjalan kembali kemungkinannya hanya 40%. Semua
terjadi karena hujan.
“San,
aku bisa menemanimu berlatih berjalan. Mungkin memang kemungkinan untuk
bisa berjalan rendah. Tapi kita punya Tuhan. Keajaiban bisa saja
datang, tapi kita harus mendekati keajaiban untuk meraih keajaiban yang
ada .” Ujarnya memegang tanganku.
Sejak
hari itu hari-hariku kuhabiskan bersama Billy sepulang kuliah Billy
selalu datang kerumahku, mengajakku ketempat yang bisa dibuat untuk
latihan berjalansatu bulan berlalu aku mulai bisa berjalan walaupun
masih memegang dinding. Senyumannya yang membuatku bisa melakukan ini.
Kata-kata motivasinya yang membuatku menghargai diriku.
Aku mulai belajar tersenyum, belajar menerima keadaanku. Belajar memotivasi diriku sendiri.
Kutatap
diriku dikaca kamarku. Kutatap kakiku yang berletak kaku di atas kursi
roda. Ada rasa geram untuk menggunakan kaki ini kembali. Aku pasti bisa
pikirku. Kuturunkan kakiku satu persatu. Kucoba berdiri perlahan
melangkahkan kakiku perlahan. Astaga! Aku bisa melakukannya. Aku
berjalan. Benar-benar berjalan. Aku menatap kursi roda yang kini
berjarak hampir tiga meter dari tempatku beridir. Kucoba berjalan
kedapur dan menyapa ibuku.
“buu.” Panggilku.
“ iya San… astaga San kamu bisa berjalan nak. Sejak kapan?” seru ibuku berlari kearahku.
“sejak tadi.” Jawabku singkat
Ibuku
tampak begitu bahagia saat itu, mungkin senyumnya yang saat ini lah
yang disebut senyum kebahagiaan, mungkin senyumnya selama ini hanyalah
senyum palsu. Aku kembali masuk kekamarku. Melihat kekaca kamarku. Aku
mulai berpikir untuk belajar tersenyum. Aku mempersiapkan diriku untuk
menemui Billy dan membuat kejutan. Biasanya Billy selalu datang
kerumahku sepulang dari kuliahnya. Aku menunggunya di depan rumahku,
berjam-jam ku menunggunya hingga akhirnya aku sadar dia tidak akan
datang hari ini. Ada rasa kecewa di hatiku.
Aku
menunggunya setiap hari ditempat yang sama,satu bulan berlalu tanpa
kehadirannya dihadapanku, tidak ada kata-kata apapun darinya, tidak ada
telepon darinya. Semua terasa begitu misterius. Sebulan berlalu tanpanya
aku belajar banyak, belajar berjalan dengan baik, belajar berlari
walaupun belum sempurna. Tapi diantara semuanya aku belajar menerima
Billy tidak mungkin hadir lagi disini.
Akhirnya
aku diterima kuliah di salah satu universitas, rasanya begitu indah
hidupku ini. Bertahun-tahun aku menjalani home schooling. Satu tahun
tanpa pendidikan. Akhirnya aku berada disini. Sebuah universitas yang
akan menjadikan mimpi-mimpiku.
Setelah
duduk dibangku kuliah aku menjadi sangat sibuk. Diam dikamar telah
menjadi rutinitasku. Sore ini aku mengerjakan tugas-tugasku. Terdengar
suara hujan diluar sana Pelan namun cepat. Tiba-tiba sebuah mobil
memasuki pekarangan rumahku. Dengan gontai aku berjalan kearah pintu,
saat aku melihat mobil yang berada diluar. Ada rasa bahagia dihatiku.
Itu Billy.
Tapi
Billy tidak sendirian, ada seorang wanita disana. Wanita yang kukenal.
Sahabatku, Rina. Bagaimana mungkin mereka sedekat itu, dulu mereka
adalah musuh. Atau mereka mempunyai hubungan khusus? Jangan-jangan Billy
tidak menemuiku selama tiga bulan ini karena Rina. Pikiranku berputar
sangat cepat. Darahku terasa berhenti ketika melihat Billy memegang
tangan Rina dan berlari pelan kearahku.
“Hai Sania.” Sapa Rina
Aku hanya mengangguk mendengar sapaannya.
“Astaga San kamu bisa berjalan.” Sapa Billy seperti terkejut.
“Ini sudah terjadi beberapa bulan yang lalu. Bukan berita baru yang mengejutkan.”jawabku dingin.
“San,
aku dengan Billy pacaran loh, aku benar-benar gak nyangka ini terjadi.
Kita yang dulunya musuh sekarang jadi sedekat ini.” Cerita Rina panjang
lebar
“Selamat yaa.”
“kamu ada waktu enggak San? Kami mau ngajak kamu keluar .” Tanya Billy.
Waktu
bukan masalah bagiku. Aku bisa. Tapi pasti akan sulit pergi dengan
mereka. Melihat kemesraan mereka. Melihat seorang sahabat dengan seorang
yang istimewa dihati berjalan berdua sambil memegang tangan satu sama
lain. Ku arahkan pandanganku kearah hujan yang berubah menjadi gerimis.
“Aku tidak punya waktu untuk itu, mungkin lain kali aku bisa ikut.” Jawabku pelan.
Mereka
bergegas pergi setelah beberapa lama berbincang dirumahku. Kutatap
kepergian mereka. Kutatap gerimis yang jatuh dengan lembutnya ketanah.
Untuk kedua kalinya hujan menyakitiku. Air mataku terasa jatuh,
mengingat semua yang kulakukan bersama dengan Billy, saat dia
mengajariku berjalan, saat kata-katanya memotivasiku.
Ada
rasa kehilangan disini, mungkinkan Billy mendengar hatiku. Mungkinkah
Rina paham perasaanku. Aku tidak mempercayai siapapun mulai saat itu.
Aku benci hujan. Aku benci mereka yang memberikan kenangan kemudian
pergi tanpa sepatah kata, kemudian kembali untuk menghancurkan kenangan
yang telah dibuat sebelumnya.
Hari-hariku
berlalu. Tidak ada Billy disini. Terakhir yang kudengar mereka putus
karena Rina meninggalkan Billy, ada yang mengatakan Rina telah mempunyai
pacar selain Billy sebelum mereka pacaran, ada lagi yang mengatakan
Billy memutuskan Rina karena Rina masih menyayangi mantan pacarnya. Aku
berusaha tidak peduli dengan semua yang ada. Tapi tidak dengan hatiku,
hatiku berkecamuk, masih ada rasa yang tersisa disini. Melihat Billy
dengan Rina memang membuat hatiku hancur. Namun menghancurkan bukan
berarti memusnahkan, rasa itu hanya terpecah-pecah menjadi butiran.
Akhirnya
aku berhasil menyelesaikan skripsiku. Ingin rasanya aku segera pulang
dan memeluk ibuku. kupercepat laju mobilku, ketika memasuki halaman
rumahku ada sebuah mobil disana. Mobil yang asing. Mungkin tamu ibuku
pikirku. Ketika pintu kubuka terlihat Billy didepanku dengan senyum yang
sama bertahun-tahun yang lalu.
“hai, Sania.”
“Hai.” Jawabku.
“Aku Cuma mau ngembaliin ini “ujarnya sambil memberikan buku diaryku.
Buku yang selama ini kucari. Bagaimana mungkin berada ditangannya? Dia mencuri atau ….
“Bukunya tertinggal waktu kita pergi ke taman untuk latihan jalan.” Jawabnya seperti mengetahui isi pikiranku.
“Oh terimakasih.” Jawabku pelan.
Tidak
ada basa basi Billy langsung pergi dari rumahku. Padahal aku berharap
ada yang bisa kubicarakan dengannya. Ingin rasanya aku berteriak. Aku
masih disini Bil dengan rasa yang sama.
Mungkin
musim hujan telah dimulai, akhir-akhir ini sering sekali hujan. Tapi
aku masih tetap dengan rasa yang sama dengan hujan aku masih membenci
hujan. Hujan kembali hadir sore ini. Kutatap air yang jatuh ketanah,
tampak begitu indah. mungkin ibuku benar hujan tidak salah, bukan hujan
yang merenggut ayahku. tapi semua tentang takdir. Bukan hujan yang
membuat Billy menjadi pacar Rina, ini semua tentang sebuah kejujuran
tentang perasaan.
Sebuah
mobil melintas dihadapanku merusak indahnya hujan hari ini. Itu Billy.
Aku segera keluar, aku siap dengan konsekuensi yang ada, mungkin saja
dia membawa wanita lain saat ini. Atau dia membawa undangan
pernikahannya untukku. Aku siap.
Ternyata Billy hanya datang sendirian. Dengan senyumnya yang manis. Kucoba tersenyum padanya, meski semua terasa asing.
“Hai San.”
“Maaf
untuk semuanya, maaf aku pacaran dengan Rina beberapa tahun lalu. Maaf
sudah membuatmu kecewa. Maaf sudah membuat hatimu hancur.” Lanjut Billy
Aku hanya menatap matanya ketenangan tampak dimatanya.
“Aku
sudah tahu semuanya San, mungkin kita bisa memperbaiki hubungan kita,
aku mau kita seperti dulu, aku mau kita dekat. Aku mau kamu ada untuk
aku, akupun ada untuk kamu. Tapi sebelum itu semua , aku minta maaf.”
Ujarnya pelan sambil menunduk. Ketenangan matanya tampak hilang saat
itu.
“Aku udah maafin kamu kok.”jawabku pelan.
“kita akan seperti dulu lagi?” senyum tampak diwajahnya.
Aku mengangguk pelan.
Tiba-tiba
Billy menarikku kearah hujan, terasa dinginnya air hujan menembus
kulitku. Semua terasa sempurna saat Billy memegang tanganku. Ada rasa
nyaman di sini. Rasa nyaman tepat dihatiku. Hujan semakin deras, ini
sangat menyenangkan. untuk pertama kalinya setelah sekian lama akhirnya
aku menyukai hujan.
“San Kamu suka aku kan?” teriak Billy.
“Enggak.”
“Jangan bohong aku sudah membaca isi buku diarymu.” Jawabnya sambil berlari.
Ingin
rasanya aku mengejarnya tapi menikmati hujan jauh lebih nyaman daripada
berlari-lari. Aku tidak pernah tahu akan jadi apa kami. Yang kutau saat
ini Billy disini. Disampingku. Aku tidak berharap Billy menjadi
milikku. Jawaban dari semua yang terjadi adalah takdir jika takdir
berkata lain percuma sebuah harapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar