Kamis, 03 Maret 2016

Hujan

Hujan                     


Gerimis tampak jatuh dengan lembutnya jatuh ketanah. Aku benci berada di situasi ini. Kutatap tetesan yang terjatuh dari daun-daun hijau didepan rumahku. Semuanya mengembalikan memori bertahun-tahun lalu. Memori yang buruk! Aku berharap sampai saat ini semua yang terjadi adalah sebuah mimpi. Mimpi bodoh yang menjadi sebuah petualangan.


Sebuah senyuman melintas di mataku, bayangan yang sangat memilukan. Ingin rasanya menyentuhnya, merasakan kehangatan darinya dihari yang dingin ini. Gerimis telah berubah menjadi hujan, hujan yang lebat bahkan aku tidak dapat  mendengarkan apapun selain suara hujan.

Diluar tampak anak-anak berlari-larian diantara tetesan hujan. Senyum tampak merekah diwajah mereka. Senyum tanpa beban. Dulu aku pernah berada disana, berada dalam senyuman yang sama. Senyuman karena hujan. Hujan mengubah segalanya!

Namaku Sania. Orang-orang memanggilku San, aku yang menyuruh mereka memanggilku begitu, karena aku menyukai matahari. Matahari sumber energi terbesar, aku berharap aku mempunyai kekuatan sebesar matahari, melakukan kebaikan dengan kekuatanku, dan mengubah kenyataan ini menjadi mimpi.
Kujalankan kursi rodaku keluar kamarku yang sangat nyaman ini. Dingin terasa menusuk tulang saat aku berada didepan rumahku.

“San, kenapa diluar dinginnya hujan enggak baik untuk kamu sayang.” Terdengar suara Ibuku dari dalam.

“Iya bu, Sania Cuma sebentar kok.”

Terdengar langkah suara ibuku menuju kearahku. Senyum tampak diwajahnya. Dengan beban seberat ini pun ibuku masih dapat tersenyum. Entah kenapa terasa sulit untuk tersenyum begitu tulus seperti ibuku. Setelah kejadian 4 tahun yang lalu, aku mencoba untuk tersenyum. Tersenyum dan menerima semuanya. Tersenyum dan mengatakan “Aku bisa!”. Semua sulit. Semua terasa bodoh. Tidak alasan bagiku untuk tersenyum.

“Mau diantar jalan keluar rumah besok?” ujar ibuku

“kemana?, aku lebih nyaman disini bu, tanpa gangguan dari apapun termasuk mereka.” Ujarku menunjuk kearah hujan yang mulai mereda.

“San jangan membenci hujan, bukan hujan yang salah semua sudah takdir.”

“Hujan yang menyebabkan semuanya bu.”

“Cobalah tersenyum San, kamu bisa. Masa depanmu masih panjang nak.” Ujar ibuku sambil mendorong kursi rodaku kedalam.

“bu rencananya Sania mau ikut reunian sama teman sekolah. Tapi Sania malu dengan keadaan Sania seperti ini. Apalagi reunian diadakan di tempat terbuka. Sania takut bu.” Ujarku pelan.

“Ibu nanti antar Sania ketempatnya. Jangan berpikir yang buruk San. Ibu yang jaga kamu.” Tangan ibuku terasa mengusap kepalaku.

Reunian dilaksanakan besok, aku berharap aku mempunyai mental untuk datang. Kusiapkan barang-barang yang akan kugunakan besok. Kucoba memejamkan mataku untuk tidur, ah. Pertanyaan buruk selalu hadir dipikiranku. Bisakah mereka memandangku tanpa rasa aneh? Bisakah aku mengatakan hai kepada mereka? Bisakah aku tersenyum disana?. Pertanyaan bodoh ini bahkan membawaku kealam mimpi.

Reunian dimulai jam sembilan pagi jam delapan aku telah berangkat dari rumah dengan ibuku yang sangat setia megantar dan menjemputku. Pikiranku diselimuti kebimbangan, benarkah keputusanku untuk ikut reunian ini? Atau aku harus kembali saja?.

Tiba ditempat itu aku menuju tempat temanku berkumpul. Tampak mereka tersenyum menyambutku. Ada yang melihatku dengan aneh. Seorang wanita belari kearahku memelukku bahkan berteriak memanggil namaku. Dia sahabatku, Rina. Teman yang kuanggap sebagai saudara. Hanya dia yang mengetahui keadaanku. Dia yang mengetahui betapa sulitnya aku menjalani hari-hariku dengan kursi roda yang payah ini. Anak lain mendekatiku menanyakan bagaimana aku bisa begini, Rina yang menjawab semua pertanyaan mereka. Bagiku Rina adalah juru bicara yang baik.

Hari mulai sore dimana kami masih berada disini, berbagi cerita yang bahkan tidak ada habis-habisnya. Tiba-tiba gerimis turun. Kami berteduh di sebuah aula. Gerimis berubah menjadi hujan. Banyak teman-temanku yang bermain hujan. Aku hanya terdiam memperhatikan mereka. Sebuah tangan terasa menyentuh kepalaku. Kutolehkan kepalaku kearah belakang. Tangan milik Billy, Billy merupakan pria yang paling manis dikelasku saat SMP dulu.

“Tidak ikut main hujan?” tanyanya pelan.

“enggak, aku enggak suka hujan.” Jawabku.

“benarkah? Dulu kita sering bermain hujan. Tidak mungkin kamu benci tetesan air yang lembut ini.” Ujarnya sambil menadahkan tangannya kearah tetesan hujan.

“Semua berubah Bill. Diriku yang sekarang bukan diriku yang dulu. Kamu bisa melihat dulu aku berjalan dengan kaki ini, berlari dengan kedua kakiku. Sekarang aku berjalan dengan apa? Berlari dengan apa?” jawabku sambil menundukkan kepala.

“Aku siap menjadi kaki untukmu, berlari untukmu. Kita bisa seperti dulu Sania. Bahkan aku tidak melihat senyum diwajahmu. Cobalah tersenyum aku merindukan senyuman itu.” Ujarnya mengusap kepalaku.

“Pentingkah  sebuah senyuman saat dimana semua terasa bodoh?” ujarku sambil meninggalkannya.

Terdengar suara kaki berjalan kearahku. Mungkin Rina pikirku.

“Tunggu aku dirumahmu, aku akan kerumahmu besok.” Sebuah suara membisik ditelingaku.

Kutolehkan kepalaku. Wajah Billy tampak disana dengan senyum yang sangat manis. Tatapannya menatap lembut mataku, tatapannya selalu membuatku merasa nyaman.

Acara berakhir aku meninggalkan tempat ini dengan sangat lega. Tidak ada pertanyaan bodoh itu yang terjawab dengan buruk, semuanya baik-baik saja. Mungkin mereka semua adalah teman terbaik.
***
Hari ini aku sepanjang hari berada diteras rumah. Entah kenapa aku menunggu kedatangan Billy. Aku menunggunya menepati janjinya. Sekitar jam duaan terdengar suara mobil memasuki pekaranganku. Itu Billy aku mengetahuinya. Aku selalu mengupdate tentang dirinya karena dia mempunyai tempat berbeda dihatiku.
Tampak senyumnya merekah ketika menatapku.

“Menungguku?” tanyanya dengan senyuman masih diwajahnya.

“Enggak, kebetulan aja tadi lagi disini.” Jawabku berbohong.

Berjam-jam kami habiskan untuk bercerita tentang kebersamaan kami. Mungkin kami terlalu dekat saat itu hingga terlalu banyak cerita yang bisa kami bagikan.

“Sania, boleh aku bertanya?”

“Ya”

“Apa yang terjadi dengan kakimu.” Tanyanya pelan sekali bahkan kata terakhir hampir tidak terdengar.

Akupun menceritakan semuanya kepada Billy. Empat tahun yang lalu sebuah kecelakaan menimpaku dan ayahku. saat kami dalam jalan pulang hujan deras turun, air hujan bahkan membuat jalanan tidak terlihat, tiba-tiba mobil yang kami kendarai terasa jatuh. Ternyata mobil yang kami kendarai masuk kedalam jurangyang tidak terlalu dalam namun kejadian ini membuat ayahku pergi untuk selamanya. Aku koma selama dua minggu. Dokter mengatakan kakiku bisa berjalan kembali kemungkinannya hanya 40%. Semua terjadi karena hujan.

“San, aku bisa menemanimu berlatih berjalan. Mungkin memang kemungkinan untuk bisa berjalan rendah. Tapi kita punya Tuhan. Keajaiban bisa saja datang, tapi kita harus mendekati keajaiban untuk meraih keajaiban yang ada .” Ujarnya memegang tanganku.

Sejak hari itu hari-hariku kuhabiskan bersama Billy sepulang kuliah Billy selalu datang kerumahku, mengajakku ketempat yang bisa dibuat untuk latihan berjalansatu bulan  berlalu aku mulai bisa berjalan walaupun masih memegang dinding. Senyumannya yang membuatku bisa melakukan ini. Kata-kata motivasinya yang membuatku menghargai diriku.

Aku mulai belajar tersenyum, belajar menerima keadaanku. Belajar memotivasi diriku sendiri.
Kutatap diriku dikaca kamarku. Kutatap kakiku yang berletak kaku di atas kursi roda. Ada rasa geram untuk menggunakan kaki ini kembali. Aku pasti bisa pikirku. Kuturunkan kakiku satu persatu. Kucoba berdiri perlahan melangkahkan kakiku perlahan. Astaga! Aku bisa melakukannya. Aku berjalan. Benar-benar berjalan. Aku menatap kursi roda yang kini berjarak hampir tiga meter dari tempatku beridir. Kucoba berjalan kedapur dan menyapa ibuku.

“buu.” Panggilku.

“ iya San… astaga San kamu bisa berjalan nak. Sejak kapan?” seru ibuku berlari kearahku.

“sejak tadi.” Jawabku singkat

Ibuku tampak begitu bahagia saat itu, mungkin senyumnya yang saat ini lah yang disebut senyum kebahagiaan, mungkin senyumnya selama ini hanyalah senyum palsu. Aku kembali masuk kekamarku. Melihat kekaca kamarku. Aku mulai berpikir untuk belajar tersenyum. Aku mempersiapkan diriku untuk menemui Billy dan membuat kejutan. Biasanya Billy selalu datang kerumahku sepulang dari kuliahnya. Aku menunggunya di depan rumahku, berjam-jam ku menunggunya hingga akhirnya aku sadar dia tidak akan datang hari ini. Ada rasa kecewa di hatiku.

Aku menunggunya setiap hari ditempat yang sama,satu bulan berlalu tanpa kehadirannya dihadapanku, tidak ada kata-kata apapun darinya, tidak ada telepon darinya. Semua terasa begitu misterius. Sebulan berlalu tanpanya aku belajar banyak, belajar berjalan dengan baik, belajar berlari walaupun belum sempurna. Tapi diantara semuanya aku belajar menerima Billy tidak mungkin hadir lagi disini.

Akhirnya aku diterima kuliah di salah satu universitas, rasanya begitu indah hidupku ini. Bertahun-tahun aku menjalani home schooling. Satu tahun tanpa pendidikan. Akhirnya aku berada disini. Sebuah universitas yang akan menjadikan mimpi-mimpiku.

Setelah duduk dibangku kuliah aku menjadi sangat sibuk. Diam dikamar telah menjadi rutinitasku. Sore ini aku mengerjakan tugas-tugasku. Terdengar suara hujan diluar sana  Pelan namun cepat. Tiba-tiba sebuah mobil memasuki pekarangan rumahku. Dengan gontai aku berjalan kearah pintu, saat aku melihat mobil yang berada diluar. Ada rasa bahagia dihatiku. Itu Billy. 

Tapi Billy tidak sendirian, ada seorang wanita disana. Wanita yang kukenal. Sahabatku, Rina. Bagaimana mungkin mereka sedekat itu, dulu mereka adalah musuh. Atau mereka mempunyai hubungan khusus? Jangan-jangan Billy tidak menemuiku selama tiga bulan ini karena Rina. Pikiranku berputar sangat cepat. Darahku terasa berhenti ketika melihat Billy memegang tangan Rina dan berlari pelan kearahku. 

“Hai Sania.” Sapa Rina

Aku hanya mengangguk mendengar sapaannya.

“Astaga San kamu bisa berjalan.” Sapa Billy seperti terkejut. 

“Ini sudah terjadi beberapa bulan yang lalu. Bukan berita baru yang mengejutkan.”jawabku dingin.

“San, aku dengan Billy pacaran loh, aku benar-benar gak nyangka ini terjadi. Kita yang dulunya musuh sekarang jadi sedekat ini.” Cerita Rina panjang lebar

“Selamat yaa.” 

“kamu ada waktu enggak San? Kami mau ngajak kamu keluar .” Tanya Billy.

Waktu bukan masalah bagiku. Aku bisa. Tapi pasti akan sulit pergi dengan mereka. Melihat kemesraan mereka. Melihat seorang sahabat dengan seorang yang istimewa dihati berjalan berdua sambil memegang tangan satu sama lain. Ku arahkan pandanganku kearah hujan yang berubah menjadi gerimis. 

“Aku tidak punya waktu untuk itu, mungkin lain kali aku bisa ikut.” Jawabku pelan.

Mereka bergegas pergi setelah beberapa lama berbincang dirumahku. Kutatap kepergian mereka. Kutatap gerimis yang jatuh dengan lembutnya ketanah. Untuk kedua kalinya hujan menyakitiku. Air mataku terasa jatuh, mengingat semua yang kulakukan bersama dengan Billy, saat dia mengajariku berjalan, saat kata-katanya memotivasiku. 

Ada rasa kehilangan disini, mungkinkan Billy mendengar hatiku. Mungkinkah Rina paham perasaanku. Aku tidak mempercayai siapapun mulai saat itu. Aku benci hujan. Aku benci mereka yang memberikan kenangan kemudian pergi tanpa sepatah kata, kemudian kembali untuk menghancurkan kenangan yang telah dibuat sebelumnya. 

Hari-hariku berlalu. Tidak ada Billy disini. Terakhir yang kudengar mereka putus karena Rina meninggalkan Billy, ada yang mengatakan Rina telah mempunyai pacar selain Billy sebelum mereka pacaran, ada lagi yang mengatakan Billy memutuskan Rina karena Rina masih menyayangi mantan pacarnya. Aku berusaha tidak peduli dengan semua yang ada. Tapi tidak dengan hatiku, hatiku berkecamuk, masih ada rasa yang tersisa disini. Melihat Billy dengan Rina memang membuat hatiku hancur. Namun menghancurkan bukan berarti memusnahkan, rasa itu hanya terpecah-pecah menjadi butiran.

Akhirnya aku berhasil menyelesaikan skripsiku. Ingin rasanya aku segera pulang dan memeluk ibuku. kupercepat laju mobilku, ketika memasuki halaman rumahku ada sebuah mobil disana. Mobil yang asing. Mungkin tamu ibuku pikirku. Ketika pintu kubuka terlihat Billy didepanku dengan senyum yang sama bertahun-tahun yang lalu. 

“hai, Sania.”

“Hai.” Jawabku.

“Aku Cuma mau ngembaliin ini “ujarnya sambil memberikan buku diaryku. 

Buku yang selama ini kucari. Bagaimana mungkin berada ditangannya? Dia mencuri atau ….

“Bukunya tertinggal waktu kita pergi ke taman untuk latihan jalan.” Jawabnya seperti mengetahui isi pikiranku.

“Oh terimakasih.” Jawabku pelan.

Tidak ada basa basi Billy langsung pergi dari rumahku. Padahal aku berharap ada yang bisa kubicarakan dengannya. Ingin rasanya aku berteriak. Aku masih disini Bil dengan rasa yang sama.

Mungkin musim hujan telah dimulai, akhir-akhir ini sering sekali hujan. Tapi aku masih tetap dengan rasa yang sama dengan hujan aku masih membenci hujan. Hujan kembali hadir sore ini. Kutatap air yang jatuh ketanah, tampak begitu indah. mungkin ibuku benar hujan tidak salah, bukan hujan yang merenggut ayahku. tapi semua tentang takdir. Bukan hujan yang membuat Billy menjadi pacar Rina, ini semua tentang sebuah kejujuran tentang perasaan. 

Sebuah mobil melintas dihadapanku merusak indahnya hujan hari ini. Itu Billy. Aku segera keluar, aku siap dengan konsekuensi yang ada, mungkin saja dia membawa wanita lain saat ini. Atau dia membawa undangan pernikahannya untukku. Aku siap. 

Ternyata Billy hanya datang sendirian. Dengan senyumnya yang manis. Kucoba tersenyum padanya, meski semua terasa asing. 

“Hai San.”

“Maaf untuk semuanya, maaf aku pacaran dengan Rina beberapa tahun lalu. Maaf sudah membuatmu kecewa. Maaf sudah membuat hatimu hancur.” Lanjut Billy

Aku hanya menatap matanya ketenangan tampak dimatanya. 


“Aku sudah tahu semuanya San, mungkin kita bisa memperbaiki hubungan kita, aku mau kita seperti dulu, aku mau kita dekat. Aku mau kamu ada untuk aku, akupun ada untuk kamu. Tapi sebelum itu semua , aku minta maaf.” Ujarnya pelan sambil menunduk. Ketenangan matanya tampak hilang saat itu.
“Aku udah maafin kamu kok.”jawabku pelan.

“kita akan seperti dulu lagi?” senyum tampak diwajahnya.

Aku mengangguk pelan.

Tiba-tiba Billy menarikku kearah hujan, terasa dinginnya air hujan menembus kulitku. Semua terasa sempurna saat Billy memegang tanganku. Ada rasa nyaman di sini. Rasa nyaman tepat dihatiku. Hujan semakin deras, ini sangat menyenangkan. untuk pertama kalinya  setelah sekian lama akhirnya aku menyukai hujan. 

“San Kamu suka aku kan?” teriak Billy.

“Enggak.”

“Jangan bohong aku sudah membaca isi buku diarymu.” Jawabnya sambil berlari.

Ingin rasanya aku mengejarnya tapi menikmati hujan jauh lebih nyaman daripada berlari-lari. Aku tidak pernah tahu akan jadi apa kami. Yang kutau saat ini Billy disini. Disampingku. Aku tidak berharap Billy menjadi milikku. Jawaban dari semua yang terjadi adalah takdir jika takdir berkata lain percuma sebuah harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar