
Aku menatap jalanan yang tampak licin oleh genangan air hujan. Hujan sudah berakhir namun sisanya masih saja terlihat. Tampak tanteku mengemudi dengan sangat hati-hati. Aku ingin segera pulang ke asrama namun tanteku menyuruhku harus pulang kerumah terlebih dahulu. Rumah tanteku lah yang kini menjadi rumahku.
Aku tiba dirumah yang sudah kutinggali sejak kelas 3 SMP. Aku menghempaskan tubuhku di kasur empuk milikku. Kamar yang kini mulai berdebu. Wajar saja debu menempel disana sini, aku hanya tinggal di kamar ini beberapa hari saja. Bahkan terkadang selama satu semester aku tidak pulang kesini.
Aku menatap tangan kananku. Huft masih ada bekas infus terlihat. Ah aku terlalu bodoh mengabaikan kewajibanku untuk minum obat yang berakibat jarum masuk ke tubuhku. Ah sudahlah. Aku berdiri berjalan menuju jendela kamarku.
Matahari tampak menyembunyikan dirinya dibalik awan, membuat suasana mendung menghiasi sore ini. Ah betapa tenangnya berada dalam keadaan seperti ini pikirku sambil membuka jendela kamarku.
Mataku terpaku pada sebuah kotak yang berada di meja belajarku. Ada kotak biru disana, kotak yang tampak begitu girly. Kotak yang tampaknya special. Aku memegang perlahan kotak biru itu, mataku terpejam mengingat-ingat tentang kotak ini. Setahuku aku tidak pernah memiliki kotak seperti ini.
Aku membuka perlahan kotak berukuran sedang yang kini aku pegang erat. Aku memicingkan mataku saat meihat isinya. Ada sepucuk surat disana dan sebuah foto. Foto anak kecil yang tampaknya seorang perempuan, dengan wajah yang manis tersenyum. Aku seperti pernah melihat foto ini.
Aku memandangi dalam-dalam foto yang berada di tanganku. Ah aku mengingatnya. Ini diriku. Aku pernah melihat foto yang sama di album foto keluargaku beberapa tahun yang lalu. Siapakah orang yang mengirimkan ini? Bagaimana mungkin dia mendapatkan foto yang bersifat pribadi. Mungkin ibuku pikirku.
Aku membuka surat yang ditulis di kertas berwarna hijau yang sangat lembut.
Dear my daughter.
Apa kabarmu? Masihkan dirimu mengingat aku? Ayahmu yang tidak pantas di sebut ayah ini? Maaf untuk kejadian belasan tahun yang lalu. Ayah merindukanmu. Ayah mencarimu.
Mahendra
Ayahku ? mataku membaca berulang-ulang surat yang sangat pendek yang kini berada di tanganku. Aku memutuskan untuk mencari tanteku. Mencari tahu tentang surat dan kotak ini.
“Tan?” panggilku saat aku melihat tanteku sedang sibuk didapur.
“Ya?”
“Ayahku kesini?”
“Oh Tuhan Quin ya ayahmu kesini, beberapa minggu yang lalu. Kau sudah membaca suratnya. Dia tampak begitu menyesal tentang apa yang sudah di lakukannya.” Tanteku bertutur dengan sangat lembut. seperti ada kehati-hatian di setiap kalimat yang di keluarkannya.
Aku membenci fakta yang baru kudapat. Mungkin tidak seharusnya aku membenci ayahku. aku mungkin tidak membencinya tapi aku membenci kelakuannya. Aku benci caranya, aku benci pilihannya.
“Oh yaudah, besok pagi antar Quin kesekolah ya tante.”
“Udah kuat?”
“Yaudah besok tante antar.” Lanjut tanteku saat melihat aku mengangguk.
Aku melangkahkan kakiku kembali kekamarku. Sebuah memori kembali terputar di otakku. Kejadian saat aku duduk di kelas 3 SD . Kejadian saat dimana semua hancur. Saat itu ibuku mengetahui bahwa ayahku mempunyai selingkuhan di luar sana. aku mungkin terlalu kecil saat itu, tapi aku tahu apa yang kurasakan.
Rasa pedih saat melihat ibuku menangis, rasa pedih saat melihat kakakku menangis, rasa pedih saat aku melihat ayahku untuk yang terakhir kali. Malam yang penuh bintang saat itulah semua terjadi. Saat ayahku menggendongku di depan pintu.
“Quin, ayah pergi dulu ya, jaga kakak sama ibu ya. Jaga dirimu juga sayang.. Mungkin selama ini ayah menjagamu, tapi saat ini atau bahkan kedepannya mungkin ayah hanya langit malam yang gelap bahkan menyeramkan, tapi ingat tanpa langit malam tidak ada cahaya bintang yang terlihat. “
Ah kata-kat terakhir ayahku terngiang di telingaku. Saat itu aku tidak mengerti apapun hingga akhirnya, aku tahu. Aku tahu ayahku memiliki wanita lain selain ibuku, dan informasi terakhir yang kudapat usia anak ayahku dari wanita itu sama dengan usiaku. Ayahku memang jahat. Terlalu banyak tahun yang di lewati ibuku dengan kebohongannya.
*****
Pagi itu aku kembali ke sekolah. Hari ini aku tidak belajar, aku merasa aku butuh istirahat. Aku membuka pintu kamarku. Banyak kertas yang berserak di dalam. Mungkin kertas itu di masukkan lewat celah bawah pintu. Aku memungut kertas yang berada di hadapanku. Aku membaca satu persatu isinya. Semua dari Genta.
Aku berharap isinya Genta meminta maaf, atau sekedar menanyakan kabarku. Tapi kenyataannya isi semua kertas yang kudapat hanya daftar tugas yang harus kukerjakan untuk mengejar ketertinggalan materi. Aku menghela nafasku pelan.
“Apa kau sebodoh itu Genta?? Atau dirimu tidak punya perasaan?.” Ucapku lirih.
Aku memutuskan mengerjakan semua tugas yang tertera di kertas yang kudapat. Asrama terasa begitu sunyi, tentu saja. Setiap anak kan saat ini sedang belajar di kelas. Aku menunggu waktu pulang sekolah. Bukan untuk menanyakan tugas. Tapi untuk menatap keramaian dari jendela kamarku.
Tiba-tiba sebuah kertas tampak melewati celah pintuku. Aku berjalan kepintu mengambil kertas berwarna putih polos. Isinya sama dengan kertas lain yang kutemukan sebelumnya. Hanya daftar tugas, dengan nama Genta di bawahnya.
Aku menatap dari jendela, tampak Genta sedang melewati lapangan basket menuju asrama laki-laki. Ah aku merindukan candaannya, aku merindukan kejahilannya. Tapi aku harus menahan diriku. Menahan diri untuk berbuat baik padanya. Menahan diri untuk berharap padanya.
Suara telepon mengagetkanku. Ah aku bahkan sangat belum terbiasa dengan suara telefon yang begitu memecahkan kesunyian.
“Ya?”
“Quin, kamu udah pulang?”
Aku mengenal suara ini. Ini pasti Radit.
“Udah Dit.” Jawabku pelan.
“Maaf ya aku Cuma bisa nemenin beberapa jam aja. Aku nelfon kamu tiap hari. Aku mau jadi orang pertama yang tahu kamu udah pulang. Kamu udah baikan? Lain kali obatnya di minum.” Ah ocehannya terasa begitu menenangkan.
“Iya,iya. Apa kabar Hana?”
“Aku enggak terlalu tahu tentang dia, aku juga jarang liat dia.”
Aku dan Radit bercerita sangat banyak. Mulai saat ini, aku belajar. Belajar untuk menghargai mereka yang menjagaku dari jauh, belajar melihat bahwa mereka yang menghargai lebih berharga daripada yang mereka yang kuhargai.
*****
Pagi ini, aku berjalan di koridor sekola. Berjalan menuju kelasku. Semua seperti terasa asing. Aku merasa ada sebuah tangan yang menepuk pundakku. Aku menolehkan kepalaku kebelakang. Aku melihat Radit di hadapanku dengan senyum yang seakan-akan mengucapkan selamat pagi. Aku membalikkan kembali tubuhku melanjutkan jalanku. Ah aku tidak berani menatap matanya, ada yang berbeda.
Aku masuk kedalam kelasku. Aku melihat kearah kursiku. Mataku tertumpu pada dua sosok yang sedang tampak tertawa bahagia. Aku mengamati dari kejauhan tampak tas Hana di tempat yang seharusnya menjadi milikku. Ini yang membuat ketenanganku hancur seketika. Apa maksudnya? Atau mereka jadian? Atau mereka memanas-manasiku?
Aku berjalan dan duduk di kursi yang seharusnya di tempati Hana. Tepatnya berada di depan Genta.
“Quin? Kapan pulang? Quin kenapa duduk disitu?” Genta menyapaku dengan wajah yang begitu manis.
Aku memutuskan tidak menggubris apapun yang di katakannya. Aku berusaha menahan amarahku, aku berusaha menahan kecemburuanku.
Bel tanda istirahat telah berbunyi, aku memutuskan untuk keperpustakaan. Aku menghabiskan hampir ¾ waktu istirahat didalam perpustakaan. Akhirnya aku mendapat buku yang kucari, sebuah buku tentang koloid yang menjadi pelajaranku saat ini. Aku keluar perpustakaan dengan sebuah kepuasan.
Ada yang aneh, aku melihat Genta keluar dari ruang kesiswaan. Ruang yang bersebelahan dengan perpustakaan. Apa yang di carinya disana? Apa yang membuatnya berada didalam sana?. Wajahnya tampak penuh beban saat keluar dari ruangan tersebut.
Mungkin memang aku mempunyai rasa sayang untuknya. Aku bahkan tidak bisa marah dengan kesalahannya, aku begitu peduli tentang dirinya. Jika Tuhan mengizinkanku mempunyai orang yang istimewa mungkin aku mencari sifat seperti Genta, mencari ketenangan seperti yang di miliki Genta, walaupun mungkin sudah pasti bukan Genta. Setidaknya aku memiliki orang dengan sifat seperti Genta.
Aku pulang kekelas dengan terus memikirkan tentang ruang kesiswaan dan Genta. Aku memasuki kelas, aku melihat Genta disana dengan wajah yang terbeban. Aku mungkin peduli, tapi aku lebih suka kepedulianku tidak terlihat oleh Hana. Aku ingin Hana mendapatkan apa yang dia mau tanpa campur tangan diriku. Aku merasa terlalu hina saat aku menghancurkan impian temanku. Aku merasa aku begitu menjijikkan saat aku menjadi penghalang untuk mimpinya.
Aku tidak berteguran dengan Genta, sampai saat jam pulang Genta menyelipkan sebuah surat kecil ketanganku. Mungkin aku salah tidak memperdulikannya tadi hingga Genta mungkin merasa tidak perlu berbicara denganku lagi.
Aku membaca isi kertas kecil yang sudah sangat kusut.
“Pantai jam 5.”
*****
Seperti yang tertulis dalam surat Genta, aku menuju kearah pantai dengan kendaraan umum. Ya kami tidak di perbolehkan membawa kendaraan pribadi di asrama. Sekitar 40 menit perjalanan aku sampai disana. Aku menatap jam tanganku. Ah aku terlambat 10 menit. Aku memasuki daerah pantai mencari sosok Genta disana. Aku menemukannya, tampak Genta disana dengan tubuh yang menghadap kearah matahari yang mulai menurun.
“Gent?” ujarku lirih.
“Ah, Quin.”
Genta mengajakku duduk di pasir yang terasa sangat lembut.
“Quin. Maaf ya?”
Aku menatap dalam matanya yang kini sendu.
“Maaf enggak bisa jadi teman yang baik, maaf untuk terlihat seperti tidak peduli denganmu.”
“lalu?” ujarku lirih.
“Kamu tahu sekarang apa yang terjadi disini?”
“sebuah proses matahari akan terbenam, di mana semuanya akan diganti dengan langit gelap yang terkadang menyeramkan.” Jawabku lugas.
“Ya, terkadang seseorang pergi dari dirimu, meninggalkanmu dalam kegelapan. Tapi tanpa kegelapan itu, kau tidak akan melihat cahaya bintang.”
Aku terhenyak mendengar ucapan Genta. Seperti ucapan ayahku, saat terakhir kalinya beliau memegang tanganku dan Memelukku. Ah aku kini paham maksud perkataan ayahku. Bukan aku yang menjadi bintang dalam kegelapan itu, tapi aku akan melihat bintang dalam kegelapan itu. Aku menatap dalam-dalam Genta. Mataku seakan-akan bertanya tentang semuanya.
“Quin, Mahendra ayahmu adalah orang yang sama dengan Mahendra ayahku.” Genta menatap mataku dalam-dalam.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku takut, aku benci, aku down. Bagaimana mungkin aku bisa tersenyum dengan orang yang telah menghancurkan keluargaku ada di hadapanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar