Apa itu perasaan menyayangi? Mungkinkah itu hanya cerita bodoh? Mungkinkah itu ada? Samakah dengan perasaan suka? Bodohkah jika itu seperti terlihat sama?
Sinar matahari menyinari dengan begitu terik, barisan anak kelas XI IPA 1 tampak berderet rapi. Mereka disana bukan tanpa alasan, tapi mereka disana juga tidak punya tujuan. Mereka berdiri disana karena sebuah kesalahan, kesalahan yang di lakukan secara kompak.
Tampak dibarisan, seorang laki-laki dengan kacamata yang melekat di kepalanya, alisnya begitu rapi dan tebal , matanya seperti ingin berteriak, berteriak dengan kuat, mengeluarkan semua yang ada di pikirannya. Disampingnya berdiri seorang perempuan, rambutnya diikat satu, memperlihatkan sisi kecantikannya. Wajahnya tampak memerah, sesekali tangannya mengusap wajahnya.
“Kamu tidak apa apa Ully?”
“Ini terlalu panas Viko.”
Terdengar bisikan pelan dari keduanya.
Seorang guru tampak berjalan kearah barisan, tangannya tampak memegang sebuah penggaris panjang, matanya menyalakan kemarahan. Semua anak yang berada dalam barisan terdiam dan menunduk.
“Bagaimana rasanya?”
Tidak ada jawaban dari barisan.
“Apa yang ingi kalian sampaikan?” sang guru membentak dengan cepat.
“Viko, apa alasanmu? Kamu ketua kelas bukan? Mulai besok kamu turun jabatan kamu tidak pantas.” Bentakan terdengar menggema, sang guru berjalan mendekati Viko.
“Pak, Viko benar-benar minta maaf. Ini sebuah salah Viko pak. Viko siap jika memang harus diturunkan.”
Tiba-tiba Ully, anak perempuan yang berada di samping VIko terjatuh ke tanah. Dia pingsan! Semua barisan bubar dan sibuk menolong Ully. Sang guru yang tadinya marah kini tampak khawatir. Dengan cepat sang guru memerintahkan unuk membawa Ully ke UKS dan membubarkan siswa dari barisan.
“Untung Ully pingsan.” Terdengar gumaman di antara barisan yang sedang bergerak membubarkan diri.
Kelas begitu sangat kacau dan berantakan, seakan-akan tidak ada yang menganggap mereka sedang ada di jam sekolah sekarang.
“Sob, itu Pak Wardi masuk ga?” terdengar suara laki-laki berbisik ke telingan Viko.
“Enggak tahu,tapi aku udah mutusin buat out jadi ketua kelas.”
“Haha, udahlah namanya juga pak Wardi kadang-kadang suka ngomong ceplas ceplos. Kamu masih pantas kok sob.”
Ully berjalan mendekati Viko. Ully menyerahkan sebuah buku, buku yang merupakan tugas yang deadline besok. Apa yang terjadi? Entahlah Ully begitu ingin membantu Viko, membantu Viko belajar untuk mendapatkan apa yang selama ini Viko ceritakan kepadanya.
Sore hari yang tenang itu, Ully berjalan kearah lapangan basket. Hari ini merupakan jadwal eskul basket yang sangat di tekuninya itu. Sesekali tangannya memainkan bola basket yang ada di tangannya. Lapangan yang kosong membuatnya leluasa bermain, tentu saja lapangan masih kosong, butuh satu jam lagi untuk memulai eskul basket.
“Ully.”
“Jordi?”
“Hai.”
Ully menatap aneh kepada Jordi, angin apa yang membuat anak itu hadir di lapangan basket sore ini.
“Kamu ngerasa aneh?”
“Ya.”
Jordi mengambil bola yang ada di tangan Ully, kemudian melakukan beberapa gerakan yang berakhir dengan masuknya bola ke dalam ring. Ully berlari mengambil bola yang jatuh, dan memamerkan kemampuannya. Senyumnya tampak menantang Jordi, sementara Jordi hanya tersenyum kecut.
Langit yang tadinya cerah kini mendung, langit tampak berat seakan-akan ada beban dia atas sana, mungkin hujan akan turun. Benar saja, rintik-rintik hujan tampak mulai berjatuhan.
Jordi merebut bola dari tangan Ully, kemudian pergi. Pergi dari lapangan dan benar-benar pergi. Ully menatap jijik kearah jalan yang dilalui Jordi. Ingin rasanya Ully berteriak, berteriak meminta penjelasan. Angin yang begitu kencang membuatnya membatalkan niatnya. Hujan mulai turun dengan deras.
Ully, gadis itu begitu menyukai tetesan hujan yang terjatuh kesetiap bagian tubuhnya, bukan karena karena ada cerita istimewa dibalik hujan, tapi ada sebuah janji yang pernah terucap dibawah tetesan air.
Kakinya melangkah keluar sekolah, sepertinya sore ini eskul tidak dilakukan, ya semua karena hujan. Hujan yang membatalkan semuanya, wajahnya tampak kecewa.
Celana pendek yang dikenakannya kini basah kuyup, sesekali Ully mengusap wajahnya. Kakinya berhenti melangkah didepan sebuah rumah, tangannya dengan cekatan membuka pagar.
“Bu, Ully pulang.” Ully memanggil Ibunya sambil membuka pintu.
Ully masuk kedalam rumahnya, seisi rumah terasa gelap Ully menghidupkan lampu dengan cepat. Kakinya melangkah pelan mencari ibunya. Wajah lega terpancar di wajahnya saat mengetahui bahwa ibunya sedang tidur.
Kakinya meninggalkan jejak air dilantai, Ully segera membersihkan semuanya. Hatinya benar-benar khawatir, jika jejak air tertinggal itu akan berbahaya bagi ibunya nanti.
Malam hari yang begitu dingin, Ully benar-benar merasakan kesal. Bagaimana tidak Jordi sama sekali tidak menghubunginya, padahal Jordi membawa pulang bola basket Ully. Tangannya mencoret-coret kertas yang ada dihadapannya. Sesekali matanya menatap pintu kamarnya.
“Ully, Ully.” Terdengar suara ibunya memanggil.
Ully berjalan kedapur yang merupakan tempat sumber suara. Matanya menatap sayu kearah seorang wanita yang duduk di kursi roda, dia ibu Ully. Seorang wanita hebat yang berada di belakang keberhasilan Ully dan ayahnya.
“Ully, besok ayah sama ibu mau pergi ke tempat nenek, Ully mau ikut?”
“Enggak bu, Ully disini aja.”
“Yaudah. Ini dimakan makan malamnya.”
Wanita dengan kursi roda ini sesekali membuat Ully menangis, bukan karena kebencian, tapi ada rasa kagum di hati Ully tentang ibunya. Ibunya yang berusaha menjadi seorang ibu yang normal meskipun dia bukan wanita yang normal, ibu yang selalu berkata dengan lembut dan paham siapa Ully. Terkadang Ully membenci apa yang sudah Tuhan lakukan, mengapa harus ibunya yang lumpuh? Mengapa? Mengapa tidak yang lain?
Pagi yang cerah, Ully berjalan kearah sekolahnya. Hari ini ayah dan ibunya akan berangkat kedesa neneknya. Ully sudah biasa ditinggal begitu, ayah dan ibunya memang sering kedesa, semua semenjak ibunya lumpuh. Ada yang mengatakan ada yang bisa menyembuhkan ibunya disana.
“Hei, ayo masuk. Ngapain di gerbang?” Suara Viko mengejutkan lamunan Ully, sekaligus menyadarkannya bahwa dirinya sedang berdiam di gerbang sekolah saat ini.
“Oh iya.”
“Ully.”
“Ya, Vik??”
“Oh, iya enggak jadi.”
Ully menghabiskan harinya dengan berdiam diri dirumah, sesekali tangannya memainkan pensil yang ada di tangannya. Pelajaran melukis sangat membuat pusing kepalanya. Ully bukan perempuan yang penuh dengan seni, otaknya lebih tenang jika di ajak bermain dengan angka.
Tangannya meraih jaket dan sepatu miliknya, dengan cekatan Ully memakai benda yang merupakan favoritnya itu. Dengan cepat kakinya melangkah keluar, berjalan di antara kegelapan malam. Sesekali tampak Ully menghirup nafas panjang. Tubuhnya benar-benar rileks karena angin malam.
Langkahnya berhenti di atas sebuahjembatan. Jembatan yang selalu ramai setiap malam. Tapi malam ini, tidak ada keramaian disini, hanya ada beberapa pasang kekasih yang menghabiskan malam sambil memakan jagung bakar. Ully membiarkan angin menyentuh wajahnya, membiarkan setiap helai rambutnya mengikuti arah angin.
“Ully.”
Ully menatap cepat kearah belakangnya, bagaimana mungkin ada yang mengenalnya disini? Setahunya anak kelasnya tidak mengetahui tempat ini. wajah Ully berubah menjadi kecut saat tahu bahwa itu adalah Viko.
“Ngapain disini?” Ully berbicara ketus.
“Yaa, mau aja kesini, memang Cuma kamu aja yang boleh kesini?”
“Ya, just me.”
Ully membiarkan Viko dengan ocehan-ocehannya, sesekali matanya menatap Viko. Ully sadar dan Ully tahu, ada seseorang yang sangat di kagumi berdiri di hadapannya saat ini, tapi Ully juga menyadari dia bukan perempuan yang dikagumi oleh Viko. Matanya menatap awan yang gelap.
“Ully, kita udah kenal selama 2 tahun bukan?”
“He’em.”
“Mungkin sudah saatnya kamu cerita siapa orang yang ada dalam ceritamu beberapa bulan yang lalu.”
Ully terhenyak mendengar permintaan Viko, bagaimana mungkin Viko mengingat ceritanya? Apa Viko sepeduli itu? Matanya menatap nanar kepada Viko. Dasar bodoh, ingin rasanya Ully meneriakkan kata-kata itu saat ini. tapi Ully, dia begitu takut. Takut Viko akan mengejeknya nanti.
“Hei, Ully?”
“Ya.”
“Belum boleh ya? Yaudah. Aku boleh nanya?”
“Boleh Viko.”
“Bagaimana jika ternyata ada yang suka sama kamu?”
“Hahaha…. Viko apa ini pertanyaan jebakan?” Ully tertawa sambil menatap aneh kearah Viko.
“Ah, Ully? Bisakah kita serius?”
“Viko!” terdengar teriakan dibelakang mereka, Ully dan Viko segera melihat kearah belakang. Tampak disana seorang perempuan seumuran dengan Ully, tangannya memegang 2 buah ice cream.
“Aku duluan Ully, cepat pulang ya. Nanti kamu sakit.”
Ully menatap punggung Viko yang berjalan kearah perempuan itu, perempuan itu tampak begitu dekat dengan Viko.
Ully tersenyum kecut melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Mungkin itu perempuan yang Vino katakana berhasil mengubah dirinya. Mungkin. Mungkin saja.
Entahlah… tidak ada yang tahu rahasia hati seseorang, sebuah rahasia akan tersimpan di hati yang paling dalam, terkadang butuh menyelam kedalam hati si empunya untuk tahu semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar