Senin, 18 April 2016

Can We? (Chapter 3)

Ully menatap dalam-dalam langit-langit kamarnya. Apa kabar Viko? Apakah dia sudah mengerjakan tugas fisika yang akan di kumpulkan besok? Sekelebat pertanyaan timbul di pikiran Ully. Sesekali matanya dipejamkannya, seakan-akan dirinya begitu lelah hari ini. ully dengan susah payah mengajak tubuhnya berdiri, berdiri dan merapikan semua cat yang berserakan dilantai kamarnya. Besok ibunya akan kembali dari desa, pasti ibunya akan tidak suka akan noda-noda yang berserakan. Tapi dirinya begitu lelah, begitu lelah untuk merapikan semuanya.


Freya, gadis yang berwajah manis, dengan kacamata yang melekat di wajahnya. Dirinya memandangi foto-foto yang ada di dalam laptopnya. Itu foto kenangan, foto yang diambil satu tahun yang lalu. Sesekali tangannya menggeser kursor dengan wajah marah.

“Viko.” Terdengar suara Freya mengejutkan Viko.

“Eh, ngapain di depan kelas aku? Kelas kamu disana noh. Kamu salah ya?” Tanya Viko sedikit aneh.

“Aku enggak salah Viko. Kamu ingat ini tanggal berapa?”

“19.”

“Oh, okay. Bye Viko.”

Viko menatap punggung Freya, dikepalanya berputar fakta-fakta yang pernah terjadi, atau di buatnya di tanggal 19. Kakinya melangkah mengejar Freya.

“Frey.”

“Apa?”

“aku ingat.”

“Happy second anniversary Viko. Failed.” Freya berkata pelan.

“Hei, sesuatu yang berakhir bukan berarti mengakhiri hal lainnya. Bukankah kita berjanji? Tetap sahabat.” Viko memberikan jari kelingkingnya.

“Ya, sahabat.” Freya membalas jari kelingking Viko.

Dari kejauhan terlihat Ully, memandangi semua yang terjadi dari jauh.

Pagi itu, Viko hanya sekali melihat Ully. Ketika jam istirahat berakhir Ully tidak berada di kelas. Entahlah Ully kemana. Padahal ada hal yang ingin Viko katakan.
S
ore yang begitu tenang namun sedikit terik. Ully berada di tengah lapangan. Dirinya memandangi ring basket yang berada disisi kanan dan kirinya. Matanya memandang dengan tajam seakan-akan ada dendam di antara Ully dan kedua ring basket.

“Hei, berhenti jadi alay.”

Ully menatap tajam kearah sumber suara yang didengarnya. Di belakangnya berdiri seorang anak lelaki. Lengkap dengan pakaian basketnya.

“Hai, Ully. Maaf ya bolanya nginap dirumah.”

“Oh yaudah.”

“Tadi hasil TMnya gimana?” Jordi bertanya sambil melakukan pemananasan.

“Iya gitu, kita main lawan SMA sebelah. Lusa jam 4.”

“gaperlu waktunya. Aku gamau nonton.”

“Enggak nyuruh.”

Terlihat anak-anak lain memasuki lapangan. Kegiatan dimulai, eskul hari ini hanya dipusatkan pada tim perempuan, itu semua karena lomba yang akan mereka jalani besok.

“Ully.”

“Ha?”

“Pinjam ponselnya.”
“Loh .” Ully terlihat panic, tangannya meraba-raba setiap jengkal tasnya.

“Ini bukan?” Jordi mengeluarkan sebuah ponsel sambil tersenyum penuh kemenangan.

“Jordi! Kamu membuatku marah.”

“Tidak masalah, kamu terlihat cantik jika marah.”

Ully pulang kerumahnya ketika hari mulai gelap. Wajahnya sedikit kaget saat melihat ada Viko didepan rumahnya. Tidak biasanya Viko datang kerumahnya tanpa memberitahu. Ully mendekati Viko dengan cepat. Terlihat ibu Ully berjalan sambil membawa segelas the. Hah? Berjalan? Ibu bisa berjalan? Itu yang ada di pikiran Ully. Namun diurungkannya untuk bersorak.

“Eh, Ully udah pulang. Nih ada Viko. Ibu masuk dulu ya.”

Ully duduk disamping Viko, menatap kearah Viko. Namun Viko benar-benar tidak bereaksi, wajahnya sedingin es, matanya penuh beban. Cukup lama mereka diam, Ully hanya bisa menatap kendaraan yang lalu lalang didepan rumahnya. Tidak ada sedikitpun reaksi dari Viko. Lalu untuk apa dia kesini?.

“Viko, kamu kesini bukan Cuma buat numpang ngademkan?” Ully memulai pembicaraan.

“Oh, ya Ully. Aku punya kabar gembira buat kamu.”

“heem.”

“Ada yang suka sama kamu.”

“Siapa?”

“temukan sendiri.”

Ully menatap dalam-dalam wajah Viko. Wajah itu kini sedikit lebih berwarna daripada beberapa menit yang lalu.

“Clue?”

“Harus?”

“Ya.”

“Dia didekatmu, sering membuatmu marah, terkadang dia berbohong namun kebohongannya membuatmu senang.”

“Its you? Kenapa mukanya beda Vik? Hahaha promosi diri sendiri ya?”

“Mungkinkah sebuah pertemanan akan menjadi lebih dari sebuah pertemanan? Aku lebih baik mengenalmu sebagai teman, mungkin.”

“Oh, iya lusa aku main lawan SMA sebelah, jam 4 datang ya.”

“Enggak mau.”

Mereka bercerita cukup lama, begitu banyak cerita yang sudah mereka bagikan. Sesekali terdengar gelak tawa dari mereka berdua. Malam ini, menjadi momen pertama di minggu ini, malam ini untuk pertama kalinya mereka bisa tertawa, bisa mencurahkan isi hati, dan mala mini mereka menjadi kita.

Dengan sambil melakukan pemanasan Ully dan timnya memasuki lapangan, semuanya dimulai saat ini. Menang kalah memang biasa, namun setidaknya lebih baik atau bahkan sangat baik, jika hal yang kau anggap biasa itu membuatmu tersenyum.

Pertandingan berjalan dengan cepat, Ully benar-benar menunjukkan kemampuannya. Sesekali lompatannya membuat kepayahan tim lawan. Mata Ully sesekali menerawangi barisan penonton, mencari Viko disana, Ully benar-benar tidak menemukannya. Bahkan sampai diakhir pertandingan Viko tidak tampak disana.

“Hei, Ully selamat atas kemenangannya.” Terdengar suara Jordi.

“Eh, katanya enggak datang?”

“Yah, aku berbohong sediktit untuk membuatmu senang.” Jordi berbicara pelan sambil menyerahkan sebotol air mineral.

“Berbohong untuk membuatmu senang……” kata-kata itu mengiang-ngiang di telinga Ully. Itu kata yang diucapkan Viko tadi malam, jangan-jangan Jordi adalah orangnya. Beberapa pertanyaan muncul dikepala Ully. Ully berjalan keluar gerbang dengan sekelebat pertanyaan, sementara disampingnya berjalan Jonri dengan wajahnya yang begitu cool.

“Hei, Viko.”

“Freya, kamu ngapain disini?”

“Aku juga pengen liat pertandingan Ully kali.”

“Kamu kenapa nonton dari sini?” Freya bertanya sambil melihat kearah bawah, seakan-akan memastikan bahwa mereka ada di lantai dua.

“Bawa air botolan lagi, cie untuk Ully ya?”

“Ini sudah berakhir frey, ayo pulang.” Viko menarik tangan Freya sambil melempar air mineral yang ada di tangannya kedalam tempat sampah.

Viko menatap dalam-dalam layar laptopnya, tangannya tidak lagi bergerak cepat diatas keyboard, tangannya kini diam. Benar-benar diam, sementara matanya menatap ponselnya yang ada di mejanya, sudah berkali-kali ponselnya bergetar. Paling juga Freya, itu yang ada di pikiran Viko.

 Tubuhnya begitu lelah, sepertinya itulah yang terjadi. Atau mungkin malah hatinya yang lelah. Entahlah.

“Vikooooo, aku tadi malam kirim pesan kekamu, kamu kemana aja?” terdengar teriakan Ully saat Viko memasuki kelas.

“Eh, maaf aku sudah tidur.”

“Sini,sini aku mau cerita.” Ully menarik Viko kesebelahnya.

“Aku udah dapat orangnya.”

“Siapa?”

“Clue nya, dia selalu ada didekatku, sering membuatku marah, dan berbohong untuk membuatku tersenyum. Dia Jordi kan?” Ully bertanya sambil berbisik.

“Iya, Jordi selamat ya.”

Viko menatap wajah senang Ully, sesekali Viko tersenyum saat Ully bercerita tentang Jordi padanya. Namun diantara senyuman itu sesekali Viko melihat keluar, seakan-akan ada yang membuatnya risau.

Jembatan tampak ramai saat disore hari, banyak orang yang berlalulalang, sekedar lewat atau bahkan berdiam diri menikmati sore yang begitu tenang, dan diantara orang-orang yang sibuk itu, tampak seorang laki-laki, tangannya mendekap tubuhnya, dari kacamatanya terlihat matanya yang begitu risau.

Seorang wanita tampak berlari kearahnya, berhenti dihadapan laki-laki itu dengan terengah-engah.

“Hei, kamu masih belum berubah, sering sekali membuat janji dadakan.”

“Maaf Freya.”

“Ada apa?”

“Aku, aku,aku. Aku tidakapa-apa Freya.”

“Tentang Ully? Aku tahu aku melihatmu begitu memperhatikannya saat pertandingan kemarin sore.”

Freya membiarkan Viko dengan pemikirannya, jujur dirinya merasa begitu sakit saat melihat Viko seperti ini, dirinya merindukan Viko yang dulu, Viko yang bersamanya, Viko dan dirinya yang saat itu menjadi kita.

“Kamu tahu Viko, terkadang saat dirimu sedang mengejar seseorang saat kamu begitu ingin mendapatkannya, kamu tidak sadar ada orang lain diluar sana yang juga sama sepertimu dan berjuang untuk orang yang sama. Mungkin kelihatan konyol tapi itu lah yang terjadi.”

“Frey, kamu tidak ingin tahu kenapa kita berakhir?”

“Aku tahu, semuanya tentang jarak. Kita terlalu jauh saat itu.”

Mereka memandangi langit yang mulai menggelap, sibuk dengan pemikiran masing-masing. Sesekali kenangan itu terlintas. Kenangan yang terjadi ditempat yang sama. Satu hal yang pasti terjadi, dirimu bisa saja berada ditempat yang sama dan dengan orang yang sama untuk kedua kalinya, tapi tempat yang sama tidak akan mengulang kisah yang sama, itu berbeda. Sangat berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar