Sabtu, 16 April 2016

Can We? (Chapter 2)

Setelah meninggalkan Ully tampak wajah Viko sedikit berubah, Viko yang tadinya cerewet, berubah menjadi sangat dingin.

“Viko, Ice creamnya di makan kali masa dianggurin?”

“Iya, Freya.”

“Kamu sakit?”

“Siapa perempuan yang tadi kamu temui di jembatan?” Freya bertanya setelah melihat gelengan dari Viko.

“Teman.”


Freya hanya mengangguk, dirinya tahu bukan saatnya mungkin Viko untuk bercerita. Mereka menyusuri jalan yang diterangi lampu jalan. Berjalan berdua di bawah cahaya yang kuning, itu mungkin sedikit romantic, namun itu tidak akan terjadi jika berjalan bersama es batu. Itu yang ada di pikiran Freya. Sesekali Freya melihat kea rah Viko yang sibuk dengan ice creamnya, sebuah senyum tercipta di wajah Freya.

“Senyum?” Viko bertanya sambil melihat aneh Freya.

“Enggak, senang aja.”

“Kamu tahu Viko? Aku selalu merindukan saat-saat seperti ini. aku sangat berharap kita bisa mengulang cerita kita yang dulu. Mungkin waktu memang mengubah semuanya, mengubah tentang aku,kamu, dan kita. Tapi kenangan yang tercipta tidak akan berubah.” Freya berbicara sambil tersenyum.

“Do it Frey.”

Pagi hari yang tenang, cahaya matahari tampakmalu-malu menyembunyikan dirinya dibalik awan. Terdengar kehebohan dari kelas XI IPA 3. Padahal jam pelajaran telah dimulai, apa yang mereka ributkan? Itu secarik pertanyaan yang mungkin ada di pikiran siswa di kelas XI IPA 1, tempat dimana Ully dan Viko berada.

“Huahh, itu kelas rempong ya? Enggak tahu apa kita lagi ngerjai PR.” Terdengar gerutuan dari Lili, siswa paling bongsor di kelas.

“Sssstt.” Viko mendiamkan gerutuan teman sekelasnya.

Viko sepertinya tidak terpengaruh dengan keributan yang tercipta di luar sana, dirinya sibuk dengan laptopnya, sibuk dengan deretan kata yang tertera di depan laptopnya. Ully? Perempuan itu tampak sibuk dengan buku Novel remaja yang ada di tangannya, sesekali mimic wajahnya berubah, seakan-akan dirinya benar-benar terbenam dalam cerita yang di bacanya.

Tiba-tiba kelas hening, seorang guru masuk kekelas. Ditangannya terlihat penggaris panjang. Ini merupakan kebiasaan pak Wardi, kemana pun beliau pergi pasti ada penggaris panjang ditangannya.

“Maaf bapak terlambat, tadi bapak mengantarkan siswa baru kekelas sebelah.”

Seisi kelas termangu-mangu, seakan-akan pertanyaan mereka telah terjawab, seakan-akan penjelasan pak Wardi benar-benar mereka butuhkan.

“Viko!”

“Siap, pak.”

“Sebagai wali kelas, bapak kecewa dengan kinerja kamu.”

“Maaf pak, Viko udah mutusin mundur dari jabatan Viko.”

“Oke,kamu Hans jadi ketua kelas mulai saat ini.”

Seorang anak yang bernama Hans terlihat sedikit terkejut, dirinya seperti linglung beberapa saat sampai akhirnya suara tepuk tangan menyadarkannya.

“Viko, lewat kelas sebelah yok.” Hans menarik tangan Viko.

“Enggak ah malas.”

“Kamu enggak mau tahu wajah anak baru itu?”

“Enggak.” Viko meninggalkan Hans yang terlihat kesal.

Ully terlihat sibuk dengan buku bacaannya, bahkan dirinya tidak menyadari Viko telah duduk disebelahnya.

“Ully.”

“Hm?”

Viko terlihat segan mengganggu Ully yang sedang sibuk, Viko memutuskan untuk meninggalkan Ully. Bahkan Ully tidak menanyakan mengapa dia pergi, hmm Ully entahlah dia begitu tenggelam dalam ceritanya.

Ully menutup buku yang ada ditangannya, senyum puas terlihat di wajahnya setelah membaca halaman terakhir bukunya, matanya melihat kearah jam dinding di kelasnya. waktu istirahat yang tersisa tinggal 10 menit lagi, terlihat Ully berjalan keluar dengan cepat kearah kelas IPA 4.

Langkah kakinya dengan cepat melewati koridor, sesekali wajahnya tersenyum, tersenyum membalas sapaan anak kelas lain yang mengenalnya.

“Ratna, ada Jordi?”

Jordi terlihat keluar setelah Ully menunggu beberapa menit.

“Bola mana?”

“Oh, iya maaf ya. Besok  aku antar kesekolah, kamu eskul kan?”

“Oke. Awas enggak.” Ully berkata ketus sambil meninggalkan Jordi.

Ully berjalan kembali melewati koridor, langkahnya tidak secepat tadi. Matanya mengitari kiri dan kanan koridor kelas. Matanya tiba-tiba tertancap pada Viko yang sedang duduk di kursi depan kelas IPA 3. Viko disana bersama perempuan yang sama, perempuan yang memanggilnya saat di jembatan. Ully berjalan sambil melihat dalam-dalam dua orang yang sedang asik dengan obrolan mereka. Ully benar-benar yakin akan perempuan itu, itu perempuan yang sama dengan yang di jembatan. Lalu mengapa dia disini? Apakah dia sianak baru itu? Pikiran Ully menerawang jauh.

Sore hari yang begitu tenang, terlihat Viko sedang duduk didepan rumahnya, duduk sambil sibuk mengetik di laptopnya. Sesekali matanya menatap kejauhan, seakan-akan ada sesuatu yang perlu di rangkainya.

“Viko.” Terdengar suara dari seorang perempuan yang datang dengan sepeda pink.

Viko menoleh dan sedikit tersenyum, ada perasaan terganggu dalam pikirannya. Huft.

“Viko, ayo jalan-jalan. Aku mau ke jalan kompleks tempat kita main dulu. Temani ya? Ayolah.”

“Aku ada tugas Frey.”

“Tugas apaan? Sejak kapan kamu jadi sedingin ini?”

Dengan malas Viko mengambil sepedanya dan mengikuti arah sepeda Freya, Freya benar harusnya dirinya kembali ketempat ini, banyak cerita di tempat ini, cerita yang tidak akan pernah terulang kembali.

“Frey, ini rumah temanku.” Viko berbicara saat melewati sebuah rumah dengan cat biru.

“Oh, ya? Siapa namanya?” Freya bertanya sambil berhenti tepat didepan rumah Ully.

“Ully. Ayo, kenapa berhenti?”

“Ully…. Ully.” Freya berteriak nyaring.

Terlihat seorang perempuan keluar dari dalam, itu Ully. Rambutnya terlihat berantakan, wajahnya sedikit linglung. Bagaimana tidak, dirinya belum siap dengan kehadiran siapapun dirumahnya, dirinya sedang melakukan sebuah proyek dirumahnya.

Ully berjalan kearah pagar, membuka pintu pagar. Dirinya melihat Viko dan Freya disana. Terlihat senyum yang di paksakan dari wajahnya.

“Hai. Kamu pasti Ully.” Freya berbicara pelan.

“Oh, iya.” Wajah Ully memandang Viko penuh pertanyaan.

“Kenalin, aku Freya.”

“Maaf Ully, kita tadi kebetulan lewat sini.” Viko berbicara pelan.

“Oh, iya mau masuk dulu?”

“Enggak usah Ully, kita harus pulang, lagian ini sudah sore.”

Ully menatap dengan aneh kearah Freya, angin apa yang membuat anak baru itu begitu ingin mengenalnya? Atau dia takut Ully mengambil Viko tersayangnya itu? Itulah yang ada di pikiran Ully.

“Frey, kamu apa-apaan sih?”

“Kenapa aku salah? Harusnya aku yang nanya dia itu siapa kamu? Dia orang pertama yang kamu kenalin ke aku bahkan langsung nunjukin rumahnya, kamu berubah setelah ketemu dia di jembatan. Apa lagi?”

“Frey.”

“Viko, apa dia yang sudah mengubahmu? Apa dia lebih berharga dari pada aku?”

“Frey, dia Cuma teman oke. Jangan menyudutkanku.” Viko berbicara sambil masuk kerumahnya, meninggalkan Freya yang masih kesal diluar.

Viko masih sibuk dengan laptopnya, padahal tugas matematika tampak dimejanya. Viko begitu malas dengan angka, dirinya lebih nyaman bermain dengan imajinasi.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Viko meraih dengan cepat ponsel yang ada di tempat di tempat tidurnya. Matanya membaca dengan cepat nama yang ada di layar ponselnya, kemudian mengambil kacamata yang ada di meja belajarnya dan mengulang kembali membaca nama yang ada di ponselnya, seakan-akan ada rasa kaget di pikirannya.

“Iya, Ully.” Viko menjawab telepon setelah menyakinkan bahwa itu Ully.

“Kamu harus lihat lukisan aku, aku udah nyelesaiin sehari ini. kasih penilaian ya.”

“Bisa kamu?”

“Bisa.”

“Ully, bisa aku bicara sama kamu besok?”

“Iya, ngomong apaan?”

“Ada.”

“Oh, oke.”

Viko menutup ponselnya, dirinya benar-benar perlu berbicara dengan Ully. Entahlah, begitu banyak teka-teki tentang dirinya, tentang perasaannya dan tentang semuanya yang tidak terlihat.

Matanya menatap kearah foto yang terbingkai di mejanya, disana tampak dua orang manusia seorang laki-laki dengan kacamata yang terlihat begitu lucu, sudah jelas itu Viko, disebelahnya terlihat seorang perempuan tersenyum, senyumnya begitu manis. Rambutnya yang panjang terurai dengan lembut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar