Selasa, 05 Juli 2016

[Cerpen]- Kehangatan Hujan

Mobil-mobil merayap dengan pelan, merayapi jalanan yang licin. Tetesan air dari langit masih berjatuhan, bahkan kini semakin deras. Ya, semakin kuat, semakin kuat menghujam apapun yang menghalanginya mencapai dasar bumi. Lampu-lampu mobil menerobos gelapnya malam. Hanya beberapa motor saja yang terlihat, bukan tanpa alasan, hujan yang melanda bukan lawan yang tepat bagi pengguna sepeda motor.

Diantara mobil-mobil yang bergerak dengan hati-hati itu aku duduk. Duduk di kursi penumpang bagian depan. Tentunya ini bukan mobil milikku. Ini hanya tumpangan, bukan tanpa alasan, aku punya alasan yang kuat untuk berada di kursi penumpang saat ini.

Mataku mengawasi jalanan. Sesekali wiper mobil mengganggu pandanganku.


“Joana?”

Aku terhenyak dari lamunanku, melirik gadis berambut sebahu yang sedang mengemudi si “Pangeran Besi” begitu Anna menyebutnya.

“Kau yakin menemuinya ditengah badai seperti ini?”

“Ya, aku sudah berjanji.” Jawabku pelan. Bahkan mungkin tidak terdengar karena Anna mengerem mendadak.

“Tidak ingin memastikannya? Telefon atau sejenisnya?” Anna bertanya setelah menggerutu dengan sedikit memaki mobil yang ada didepan kami.

“Tidak, aku yakin dia akan datang.”

Suasana kembali sunyi, hanya deburan air hujan yang menimpa atap mobil yang terdengar keras. Aku masuk kedalam perangkap sang waktu, masuk kedalam ingatan-ingatan yang menjadi alasan aku berada disini.

“Jo!” Anna sedikit berteriak sambil menyerahkan paying biru muda kepadaku.

Aku menggapai cepat payung yang diberikan Anna, memberikan senyum manis tanda terimakasih, dan menyakinkan Anna bahwa aku akan baik-baik saja disini. Yah, Anna seorang gadis yang berpenampilan modis dan wangi, dibalik semua yang terlihat diluar dia adalah perempuan yang mempunyai rasa simpati dan khawatir yang dalam.

Terkadang dirinya mengorbankan dirinya sendiri untuk orang lain, tindakan Anna memang terkadang pantas diberi title “Bodoh”. Seorang perempuan dengan pangkat tinggi dan merupakan lulusan  akuntan dari universitas terkenal, seharusnya dirinya bisa sedikit sombong.

Aku kini berada di ruangan yang hangat, ruangan yang lumayan ramai. Mataku terpaku pada sebotol air mineral dan secangkir teh hangat yang baru saja sampai dimejaku. Mataku mengawasi keluar cafe, dirinya memang belum hadir, bukan salahnya, dia bukan terlambat hanya saja aku yang terlalu cepat.

Seminggu yang lalu aku bertemu dengannya, di ruang rawat sebuah rumah sakit. Dia orang pertama yang kulihat ketika aku sadar. Ditelingaku mengiang kata “Hai” yang diucapkannya, memang terdengar sedikit canggung namun begitulah keadaannya.

Tersenyum?

Diriku seakan-akan menyadarkanku bahwa aku telah tersenyum tanpa alasan saat ini, cepat-cepat aku menghapus senyum yang tercipta.

Dia masih sama, rambut yang dipotong dengan gaya caesar, kulit yang putih dan senyum yang hangat, hanya saja aku tidak tahu apakah pelukannya masih sehangat dulu atau tidak.

Mataku mengawasi jalanan, dari jendela besar yang terbuat dari kaca.

Jangan kecewakan aku lagi.

Sebuah mobil fortuner putih baru saja parkir, sebuah payung hitam menyembul dari balik pintu. Seorang pria yang berwajah mapan keluar dari sana, kemeja birunya kini terkena cipratan air yang tertiup angin. Wajahnya terlihat tidak khawatir dengan angin kencang yang membuat air hujan kini membasahi dirinya.

“Hai, masih tetap lebih suka menunggu?” Pria itu kini berdiri dihadapanku, tersenyum sangat manis.

Jangan tersenyum, jangan.

“Kau basah?” Aku menatap dingin tanpa memperdulikan pertanyaannya.

“Sedikit.” Tangannya mengusap bercak air yang berbekas dibajunya.

“Masih suka air mineral?” tanyanya sambil menatap botol air mineral yang kini tinggal seperempat.

“Aku masih sama seperti yang dulu Daniel.”

Aku menatap lekat-lekat wajah putih Daniel yang kini sedang berbicara dengan pramusaji. Aku harap
dia paham, aku masih Joana yang dulu yang lebih menyukai air putih di banding makan.

“Eh, satu lagi dua botol air mineral.” Daniel menatapku saat berbicara kepada pramusaji.

Tatapan itu. Begitu hangat ditengah badai dingin seperti ini.

“Joana? Maaf merepotkanmu untuk datang malam ini.”

“Ah, tidak masalah. “ Jawabku pelan.

“Jo, sebelumnya aku mau minta maaf, mungkin kelihatan sudah basi atau mungkin berjamur. Tapi ini salah ku. Maafkan aku Jo.” Cahaya matanya tampak meredup.

“Tidak mudah melupakan hal itu Dan.” Aku menanap nanar parkiran yang kini semakin ramai.

Kesalahan masalalu. Aku masih mengingat jelas, bahkan mungkin terjebak didalamnya. Saat dimana kepercayaan hancur dan semuanya berakhir. Masih teringat jelas saat aku melihat Daniel bersama wanita lain. Wanita yang selama ini kukenal sebagai mahasiswa baru.

Masih teringat semuanya, masih terekam dengan jelas saat Wanita itu memberi suapan romantis kepada Daniel, yang bahkan aku tidak pernah melakukannya. Aku tahu aku bukan kekasih yang sempurna saat itu.

“Ya, aku menemukan kebahagiaan lain, Jo. Aku butuh kekasih yang bisa menemaniku, bukan sibuk dengan buku-buku pelajaran dan lebih suka sendirian kemana-mana. Joana, aku minta maaf.”

Kata-kata itu kini kembali terngiang jelas, bahkan sangat jelas.

Aku merasakan panas dikedua bola mataku. Merasakan air mata yang seakan-akan ingin tumpah keluar.

“Jo, maaf untuk itu.”

Daniel bangkit dari kursinya dan menaruh jarinya di wajahku, menghapus air mata yang sempat terjatuh.

Laki-laki ini, dia masih sama, masih tetap hangat, masih tetap tidak tegaan, padahal pekerjaannya sebagai dokter tidaklah harus selalu bersikap begitu.

“Aku tidak lama dengan Risma Jo, kamu tau kan?”

Tentu aku tahu, kisah asmara yang kandas karena sikap realistis. Ketika Daniel harus menghabiskan 5 juta bahkan sampai 20 juta untuk biaya shopping Risma. Bukankah itu hal gila?

“Kamu berbeda Jo.” Daniel mengaduk Moccacino yang yang ada dihadapannya.

Aku menatap dingin.

“Kamu masih tetap yang terbaik. Aku menunggumu Jo, aku selalu berdoa agar dirimu dan Juan bisa putus. Yah.. walaupun Tuhan tidak menjawab doaku saat itu, aku masih tetap disini untukmu Jo, hanya untuk mu.”

“Itu kata-katamu empat tahun yang lalu.” Ucapku pelan.

“Empat tahun yang lalu atau saat ini tidak ada yang berbeda Joana.” Daniel tersenyum tipis.

Daniel, dia dokter yang menangani Joana saat Joana terkena gas beracun yang membuatnya hampir meninggal. Dirumah sakit itulah pertamakalinya setelah empat tahun. Ada pertanyaan bodoh yang terlontar dari Daniel saat itu, seharusnya tugas Daniel telah selesai, hanya saja dokter pengganti belum datang. Daniel melihat Joana, namun hati kecilnya perlu memastikan apakah Joana masih single atau sudah menikah.


Daniel yang begitu bahagia saat tahu Joana masih sendiri langsung memberikan yang terbaik. Bukan tanpa alasan, Daniel sangat mencintai wanita berambut sebahu dengan sedikit gelombang yang tetap berwarna seperti beberapa tahun yang lalu.

“Apa pedulimu jika aku sudah menikah?” Aku bertanya cepat saat memori seminggu yang lalu terputar di otaknya.

“Aku tidak akan menolongmu.” Senyum licik Daniel terlihat.

“Daniel?”

“Ya, Joana?”

“Aku masih terluka, aku masih butuh waktu, aku bukan wanita yang kau cari, aku hanya pecandu buku bukan wanita romantis seperti yang kau harapkan.”

“Aku disini untuk menutup lukamu Jo, dan aku disini untuk mencari wanita pecandu buku.” Daniel menjawab pelan.

“Kau ingin pulang?” Daniel bertanya, ketika jam telah menunjukkan pukul 22.00 yang artinya sudah hampir 3 jam mereka berada di cafe hangat ini.

“Yah, aku akan menelepon taxi.” Aku mengeluarkan ponselku dari tas hitam milikku.

“Apa aku tidak berguna?” Daniel menatapku tajam.

Aku tahu tatapan itu, tatapan yang merasa diremehkan.
“Aku tidak ingin merepotkanmu Dan.”

“Hilangkan rasa ingin sendirimu Jo.”

Daniel berdiri dan menarik tanganku, aku kembali ke deretan nostalgiaku. Dulu Daniel pernah melakukan ini, iya dulu.

Kini aku berada dimobil yang sama dengan Daniel, interiornya begitu elegan dan simple, yah, dia masih tetap seperti dulu.

Seperti dulu

Seperti dulu



And if I could


Forget about the way you love me

Forget about the world, we’re set in stone

I’m dreaming with my eyes wide open now


Hit the ground Justin memecahkan kebisuan diantara kami berdua. Tidak ada alasan untuk berbicara saat ini. Ya, tidak ada alasan saat ini.

“Jo.”

“Dan?”

“Bisakah kau kembali kepadaku? Beri aku kesempatan kedua Joana.”

Aku terdiam, memandang jalanan seakan-akan tidak ada pertanyaan yang perlu kujawab.

Pengkhianatan

Perasaan

Hati

Kembali


Aku harusnya memuji ingatan Daniel, dirinya masih hapal jalan menuju kostanku.

“Mobilmu kemana?”

“Dikostan.”

“Sengaja?”

“nggak Dan.” Jawabku tersenyum tipis.

Hujan sudah mereda, yang tersisa hanya rintik-rintik. Saat aku tiba ditujuanku.

“Jo, tunggu.” Suara Daniel membuatku mengurungkan niatku membuka pintu.

Daniel membukakan pintu perlahan. Aku sedikit kecut melihat tindakannya.

“Kau perlu belajar untuk menjadi sedikit romantis Jo.” Daniel tersenyum.

Didepan pagar berwarna hijau tua ini, aku melambaikan tangan kepada Daniel. Namun Daniel bukan masuk kemobil malah mendatangiku. Tatapannya begitu tenang, hangat dan sedikit menyesal. Mungkin.

Tangannya mendarat di kedua pundakku.


“Joana, aku menunggumu. Aku berharap tidak ada dendam untuk membalas apa yang kulakukan itu, aku salah Jo, memang ada alasan untuk pergi saat itu, tapi alasan untuk bertahan dan kembali jauh lebih kuat. Aku mencintaimu.” Daniel mendekat dan mengecup keningku.

Aku tidak kuat, aku bodoh. Aku membohongi perasaanku. Hatiku memberontak, sementara keegoisanku semakin melemah. Yah, aku wanita, wanita yang penuh dengan rasa gengsi dan selalu ingin terlihat tinggi.

Aku memeluk erat Daniel, aku tidak akan melepaskannya lagi.

“Joana.” Aku merasakan getaran didadanya yang bidang.

“Dan.”

“Ya?”

“Terimakasih sudah bertahan, aku mencintaimu.”

Pelukannya masih sama, sama hangatnya dan sama menenangkannya.

Rintik-rintik hujan membasahi wajahku, sedikit dingin, namun, itu tidak penting aku mendapatkan pelukan hangat saat ini, ini jauh lebih kuat dari dinginnya hujan. Hujan! Apa yang bisa kau pelajari dari tetesan air itu? Sebuah alasan. Pernahkah kau beralasan mandi dengan air hangat karena hujan? Pernahkah kau berlama-lama ditempat yang hangat karena hujan? Pernahkah seseorang memberi jaketnya kepadamu karena hujan yang membasahi tubuhmu?

Hujan, tetesan air dingin yang menjadi alasan untuk sebuah kehangatan.

Setiap manusia pasti pernah berada dititik kesalahan, ada alasan untuk pergi bukan berarti tidak ada alasan untuk kembali. Karena mencintai bukan tentang selama apa sebuah hubungan, tapi tentang apa alasan bertahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar