Sabtu, 18 Juni 2016

[Cerpen]- Kunci Berdarah


Angin tampak berhembus tenang, menggoyangkan pepohonan yang di selimuti gelapnya malam. Tidak ada cahaya satupun dari ruangan 24 ruangan kelas yang berdiri, suasana gelap disetiap lorong membuat keadaan semakin mencekam. Terdengar bunyi jangkrik yang memecahkan kesunyian malam.

Sebuah anak kunci tampak memasuki sebuah pintu kelas, memutar sebanyak duakali, dan gagang pintu bergerak secara perlahan. Suasana dingin memasuki ruangan saat pintu dibuka, hembusan angin menggerakkan gordent yang tertata dengan rapi. Tampak sebuah tangan meraba-raba sakelar lampu dan menekan salah satu tombol.

Suasana kelas kini berbeda
, tidak lagi gelap, tidak lagi menyeramkan, namun tetap saja diluar terasa mencekam. Sepasang mata sayu menatap kursi dan meja yang tertata rapi, matanya mengitari ruangan secara perlahan.

Tubuhnya bergerak kearah pintu kelas, mengunci dirinya sendiri didalam. Dengan cekatan tangannya memasang simpul-simpul tali dan memastikan bahwa tali benar-benar kuat. Matanya kembali mengitari ruangan. Tangannya kini menyibak lembut rambut panjangnya, sambil menarik sebuah kursi. Matanya menatap nanar kesegala penjuru ruangan, matanya terpejam, mulutnya mengeram keras seakan-akan ada yang membuatnya marah. Suara jatuh kursi mengakhiri kesunyian malam itu, kini tidak ada satu suarapun yang terdengar.

***

“Fuhhhhhh.”

Terdengar suara hembusa nafas yang cukup kuat, jam dinding berdetak pelan seakan-akan berkata ini masih terlalu pagi untuk memulai segala aktivitas. Seorang perempuan tampak berdiri didepan pintu dan menghadap langsung dengan ruangan yang dipenuhi meja dan kursi. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan rapi, bahunya menenteng sebuah tas berwarna abu-abu. Tangannya segera memasukkan kunci kedalam kantung bajunya.

“Selamat pagi Lani.” Sebuah suara dari luar terdengar cukup keras.

“Pagi kembali Rania.” Lani membalas dengan cepat.

“Yeee, urutan kedua tercepat.” Rania bergerak dengan cepat mengambil kursi didepan Lani.

Rania adalah salah satu dari 37 siswa kelas XI IPA 3, seorang anak perempuan yang periang dan sangat hyperaktif, sangat berbeda dengan Lani sipendiam yang tegas. Karena hal itu Lani terpilih menjadi ketua kelas, dirinya memang wanita namun ketegasannya mampu membuat anak kelas bergidik.

Tidak lama kemudian para siswa mulai berdatangan, bahkan kini kelas telah dipenuhi dengan siswa. Ada Dina sigendut yang selalu sibuk dengan makanannya, ada Riko yang selalu sibuk dengan game yang ada di ponselnya, ada Viko yang sicowok cool yang selalu jadi andalan kelas dalam segala event, dan siswa-siswa lain yang kini sibuk dengan PR dari Pak Kardi. Pak Kardi adalah seorang guru biologi yang sangat ditakuti jadi jangan heran jika setiap anak kelas berusaha menyelesaikan tugas pak Kardi daripada tugas lainnya.

“Hei… Hei perhatiannya sebentar.” Terdengar suara tegas Lani dari depan kelas.

Seketika seisi kelas menghentikan aktivitasnya kecuali Riko yang masih sibuk dengan gamenya, anak kelas menaruh perhatian kepada sang ketua kelas yang sepertinya akan menyampaikan kabar penting.

“Nah, kemarinkan kita udah dengan tuh pengumuman kalau setiap kelas, diizinkan mengelola kelasnya sendiri, jadi kunci kelas diserahin ke setiap kelas. Jadi kita dikasih tiga kunci, satu aku pegang nah satu lagi di Randy, yang terakhir kita gantung di depan kelas buat cadangan.”

Seisi kelas tampak mengangguk-angguk, paham dengan apa yang disampaikan Lani.

“Riko!”

“Riko!”

“Terkadang kamu perlu menghargai orang lain.” Terdengar suara Lani membentak wajah lugu Riko.

“Weyy… Brotha sista, ada pengumuman lagi.” Viko maju kedepan kelas dengan cepat.

“Apaan coy.” Rasya tampak penasaran sambil merapikan rambut cepaknya.

“Nanti kita main bro, lawan kelas sebelah. Datang ya kesekolah. Terutama buat tim volley.”

“Okeeeeeehhhh Broo.” Rasya menjawab dengan gaya alay miliknya.

***

Jam tiga lewat lima belas menit, Viko berdiri dilapangan volley sekolah, matanya menatap sekeliling sekolah. Benar-benar sangat sepi, benar-benar tidak ada kehidupan, hanya ada suara angin yang menderu pelan.

Viko mengusap tengkuknya, entah mengapa dirinya merasa sedikit seram, bulu kuduknya berdiri dengan cepat ketika angin berhembus, mungkin efek sepi aja itu yang ada di pikiran Viko.

“Sob.” Terdengar teriakan Rasya yang berjalan bersama teman-teman yang lain.

“Kamu kenapa? Ketakutan? Ah elah rada banci gitu kamu sekarang Vik.” Rasya berujar ketika sampai ditempat Viko.

“Kita lengkap?” Viko mengabaikan perkataan Rasya.

“Rasya.”

“Hadir bro.”

“Randy.”

“Hadir!”

“Dani.”

“Hadir!”

“Eno.”

“Hadir.”

“Sikembar Pandi, Pendi.”

“Disini Brotha.”

“Riko.”

“Riko!”

“Woy RIKO!”

“Hah? Hadir sob.” Riko sedikit tergagap saat semua yang berada disana meneriakinya.

“Terakhir Ernest.”

“Hadir.”

“Ayo pemanasan dulu, tuh lawan kita udah datang.”

Mereka bersembilan berlari mengelilingi lapangan, sesekali melompat seakan-akan sedang menyemash bola.

“Okeh, yang main Randy, Eno, Pandi, Pendi, Rasya, dan saya sendiri. Ayo ambil posisi.”

Permainan berlangsung sengit, keduanya memang merupakan tim kuat, berkali-kali kedua tim ini bertemu di final class meeting, wajar jika waktu permainan sangat lama.

“Ahhhhhhh…. Brengsek.” Terdengar makian dari Rasya yang terjatuh dilapangan.

Rasya berusaha berdiri dari posisinya, namun luka dilututnya membuatnya tidak mampu berdiri lagi. Darah segar tampak keluar dari lutuh Rasya, lapangan volley yang mereka gunakan telah di semen, wajar saja lutut Rasya mendapat luka yang cukup serius.

“Viko, aku masuk ya?” terdengar suara Ernest mengajukan dirinya.

“Gak, kamu gak bisa main, Riko masuk.”

“Woy Riko.” Terdengar teriakan Viko yang membuat Riko terhenyak dari ponselnya.

Ernest tampak memperhatikan temannya yang sedang bertanding.

“Bro.” Rasya menepuk pundak Ernest.

“Sabar yaa, suatu hari nanti kamu pasti main.” Rasya melanjutkan percakapannya.

Ernest menatap nanar kejauhan, mungkin memang percuma dirinya hadir, sudah berkali-kali dirinya hadir namun mungkin hanya tiga kali dirinya diikutkan, itupun hanya dimenit-menit akhir.

***

Rahasia sekolah?
Mungkinkah sekolah yang luas dan nyaman ini menyimpan rahasia?
Mungkinkah sekolah ini menutupi dirinya dari setiap masalah yang pernah ada?
Ada sebuah cerita mengenai kematian seorang siswa empat tahun yang lalu, dia bernama Tania, seorang perempuan pintar yang selalu menjadi andalan sekolah. Namun disuatu malam yang begitu mengenaskan siswa cerdas itu bunuh diri dengan seutas tali tambang.
Mungkinkah ini benar?

Sebuah tulisan di mading kelas menjadi viral pagi itu, saat dimana setiap siswa ingin membaca tulisan itu, dan mengulangi berkali-kali. Padahal tulisan ini hanya sebuah tulisan pendek yang bahkan sangat sedikit kemungkinan kebenarannya. Entah siapa yang menempel tulisan yang kini menghebohkan kelas tersebut.

“Frenda?”

“Ya Nest?”

“Kamu udah baca mading?”

“Oh, itu udah.”

“Kamu tahu tentang itu?”

“Enggak sih, Cuma memang pas kakakku sekolah disini memang benar ada kejadian itu, setahuku itu bukan berita hoax, dan ada yang bilang bahwa arwah dari Tania masih gentayangan disekolah ini. hmm… itu kenapa sekolah kita udah sepi aja kalau sore padahal dulu sekolah ini gak pernah sepi.”

Ernest mengangguk pelan saat mendengar pembicaraan Frenda.

“Katanya sih, kelas kita ini tempat kak Tania bunuh diri.” Frenda berbicara setengah berbisik.

“Fuhh…. Ngeri juga ya? Gimana kalau tiba-tiba dia balik terus ngebunuh kita satu persatu.”

“Jangan sampai Nest.”

Berita mengenai kakak kelas yang bunuh diri itu kini menjadi viral, tidak hanya didalam kelas. Kini satu sekolah sibuk membicarakan itu. Padahal baru seminggu yang lalu tulisan dimading itu tertancap, kini satu sekolah telah sibuk membicarakannya.

Para guru pun sudah mendengar desas desus yang beredar, namun tidak ada kepastian apakah hal itu benar atau salah, para guru terlihat cuek dan sekan-akan ogah dengan pertanyaan beberapa siswa yang begitu penasaran dengan berita yang ada.

Sinar matahari mulai menyengat dengan tajam, seakan-akan tidak memberi ampun kepada mereka yang berada dibawahnya. Kelas XI IPA 3 yang sedang berolahraga pun terkena imbasnya,

“Pak udah lah, balik kekelas yaaa, lama-lama mati kita disini pak.” Anak perempuan tampak merengek tidak kuat dengan panasnya sinar matahari.

“Yaudah, kekelas sekarang.”

“Yeeeee!!!!” teriakan terdengar keluar dari bibir setiap anak kelas.

“Lani, mana Lani ayo didepan buka pintu atuh.” Rania menggandeng tangan Lani.

“Sabar, sabar.” Lani berteriak saat terjadi dorong-dorongan ketika dirinya sedang membuka pintu kelas.

Seluruh siswa berebutan masuk saat pintu terbuka.

“Tuhan.”

“Pandi.”

“Pandi.”

“Oh Tuhan.”

Anak kelas mengerubungi tubuh tinggi yang tergeletak didepan kelas, tubuh tinggi itu kini tampak pucat. Matanya terbelalak seakan-akan ada hal menakutkan yang dilihatnya. Anak kelas histeris melihat hal itu.

Anak lelaki berlari kearah kantor melaporkan apa yang terjadi dikelas mereka.

Lani bergerak maju mendekati tubuh Pandi, meletakkan jarinya di leher dan hidung Pandi.

“Pandi meninggal.”

“Pandi.” Terdengar suara lirih Rania yang memang adalah kekasih dari Pandi.

Suara tangis memecah seisi kelas, kelas lain pun kini ikut gempar dibuat. Sengatan matahari tajam,
rasa haus yang mendalam tidak lagi terasa kini, yang ada hanya ketakutan dan kengerian.

Pak Kardi tampak menyusup diantara kerumunan siswa, Pak Kardi memerika tubuh Pandi.

“Pandi meninggal pak.” Rania tersedu-sedu berucap lirih dipelukan Lani.

Pak Kardi mengusapkan tangannya kewajah Pandi, kini mata tajam Pandi tidak lagi terlihat. Pandi kini menutup matanya, tubuhnya memutih menandakan bahwa aliran darahnya berhenti. Lebam tampak di lehernya, lebam seperti bekas jeratan tali. Kedua nadi tangannya terputus, mengeluarkan darah yang begitu banyak disekeliling tubuhnya.

“Semuanya bubar… bubar.” Pak Kardi berteriak menghardik kerumunan.

Satu persatu kerumunan meninggalkan tempat kejadian perkara sambil mengeluarkan pertanyaan.

“siapa pembunuhnya?”

Polisi yang datang segera mengamankan tempat kejadian dan membawa mayat Pandi kerumah sakit.

“Lani, Randy ikut bapak kekantor.” Pak Kardi berkata pelan hampir tak terdengar.

Lani melepaskan pelukan Rania pelan, memberikan ucapan menenangkan kepada Rania, kemudian mengikuti langkah Randy yang terlebih dahulu berjalan kekantor.

Seorang polisi tampak memasuki ruangan tempat Lani dan Randy berada, Randy tampak begitu syok bahkan bibirnya kini tampak pucat. Polisi muda itu kini duduk dihadapan Lani dan Randy.

“Baik, bapak akan mengajukan beberapa pertanyaan kepada kalian, mengenai kematian teman kalian.”

Randy dan Lani tampak mengangguk pelan.

“Kapan pertama kali kalian menemukan Pandi dalam kondisi mengenaskan?”

“Setelah olaharaga pak.” Lani menjawab pelan.

“Apakah Pandi ikut berolahraga?”

“Iya, Pandi ikut, Cuma Pandi gak kuat panas jadi dia izin buat neduh di bawah pohon.”

“Posisi pohon?”

“Dipinggir lapangan pak.” Randy menjawab pelan.

“Jadi kalian tidak bisa melihat kelas kalian dari lapangan begitu?”

“Iya pak.”

“Apakah ada siswa yang mencurigakan?”

“Tidak pak semua normal.”

“Bukankah kelas dikunci?”

“Iya pak.”

“Bagaimana bisa Pandi ada didalam?” Lani berucap pelan.

“Ya, benar dek Lani.”

“Kunci itu ada ditangan saya dan Randy pak.”

“Kunci saya ada pada saya pak, dan saya berada dilapangan selama jam olahraga, dan Lani pun begitu pak.” Randy berucap lirih.

“yasudah terimakasih atas informasi dari kalian.”

Lani meninggalkan ruangan diikuti Randy.

“Tania itu sudah meninggal pak, tidak mungkin bisa melakukan pembunuhan.” Terdengar sayup-sayup suara dari ruang TU.

“Rand, apa jangan-jangan pembunuhnya orang yang sama dengan yang menempelkan tulisan di mading?” Lani bertanya pelan sambil berjalan.

“Aku gak tahu Lan, Pendi dimana Lan?”

“Astaga aku tidak melihat Pendi dari tadi Rand.”

“Oh, Tuhan jangan-jangan dia juga dibunuh?”

“Atau malah Pendi pembunuhnya? Setiap orang bisa jadi tersangka.”

Lani berlari mengikuti Randy yang begitu khawatir dengan Pendi, bagaimana tidak Pendi dan Pandi adalah sahabat dekat Randy. Randy tidak pernah membayangkan bahwa dia akan kehilangan sahabat dengan cara tragis ini.

“Randy. Stop!” Lani berdiri dihadapan Randy.

“Kamu tahu? Semua bisa jadi pembunuhnya. Bisa saja Pendi adalah pembunuhnya karena itu dia tidak muncul dari tadi, dia satu-satunya anak kelas yang menghilang Rand.”

“Karena itu aku cari Pendi.”

“Randy, ada polisi dimana-mana dan kita gak punya kuasa kesana.”

“Lalu bagaimana kalau Pendi juga dibunuh? Bagaimana Lan?”

"Kamu tidaktahu apa-apa tentang persahabatan Lan! bukankah kamu tidak mempunyai sahabat? harusnya kamu bisa paham apa yang aku rasa!


Keduanya bertengkar dibawah sengatan sinar matahari, lapangan yang gersang tidak lagi mereka rasakan, keduanya beradu argument. Sampai akhirnya Lani membiarkan Randy berjalan meninggalkannya.

Lani menatap tajam sekelilingnya.

Apa benar ini adalah pekerjaan Tania?

Apa yang salah?

Siapa Tania?

Siapa penyebar berita tentang Tania?

Pertanyaan demi pertanyaan berjalan di kepala Lani, tidak ada satu pertanyaan pun yang bisa terjawab oleh dirinya.

Terdengar pengumuman dari pengeras suara bahwa para siswa dipulangkan lebih awal. Lani bergerak kearah bawah menuju kelasnya, kelasnya memang berada dibawah dan tertutupi oleh ruangan kelas yang lain, wajar saja tidak ada yang tahu menahu mengenai bagaimana kejadian sebenarnya dari akhir hayat Pandi.

Tiba-tiba suara ambulan terdengar memasuki sekolah. Lani kembali kelapangan. Bukankah mayat Pandi telah diangkut? Apa yang terjadi? Apakah ada yang lain? Lani segera berlari kearah kelasnya, meninggalkan pertanyaan yang belum terjawab di kepalanya.

Kelasnya kini dipasangi garis polisi, beberapa siswa tampak duduk di teras kelas, menenangkan Rania yang sempat pingsan.

“Lan dari mana aja? Kamu tahu? Pendi juga meninggal dia ditemui di toilet .” Nesya berteriak kearah Lani.

Lutut Lani terasa lemas, bahkan tubuhnya kini gemetar.

“Jangan kemana-mana tunggu aku disini ya.” Lani berteriak sambil berlari menuju kamar mandi.

“Rand?” Lani menyapa Randy yang kini semakin pucat matanya berkaca-kaca.

“Rand?”

“Lan?” Randy berjalan pelan menuju kelas.

Lani mengikuti dari belakang, memastikan Randy tidak apa-apa sampai tujuan. Anak perempuan yang
sedang menenangkan Rania memberi ruang duduk untuk Randy. Randy menundukkan kepalanya, mengacak-acak rambutnya.

“Ahhhhhhhh……… Tuhan.” Randy berteriak sambil mengacak-acak rambutnya.

“Rand.”

“Lan, Pendi meninggal dengan cara yang sama, di tarik dengan tali dan nadinya di putus.”

“Rand, kuasai diri kamu. Aku tidak percaya siapapun saat ini.”

“Kenapa?” Nesya menanggapi pernyataan Lani.

“Karena siapapun bisa jadi pembunuhnya. Mungkin saja kamu, atau Rania atau mungkin juga Randy.”

“Jadi maksudmu aku membunuh sahabatku sendiri?” Randy berdiri mendekat kearah Lani, ada rasa marah dalam tatapannya.

“Atau mungkin kamu pembunuhnya?” Randy menatap tajam Lani.

“Rand, aku gak punya niat sedikitpun untuk membunuh.”

“Sama Lan.”

“Aku ambil tas dulu.” Lani meninggalkan Randy yang kini telah kembali duduk.

Suasana kelas terasa mencekam, tercium bau anyir darah kering, darah yang telah mongering masih tertempel di keramik, membuat suasana terasa begitu menakutkan. Lani merasa bulu kuduknya berdiri, segera dengan cepat dirinya mengambil tasnya dan tas Randy dan meninggalkan kelas. Namun matanya tertancap kearah tempat tergantungnya kunci cadangan, paku itu kini kosong, benar-benar kosong.

“Hei, Lan.” Nesya memanggil Lani

Lani tergagap dari tatapannya kepada paku yang kini kosong, dimana kuncinya? Dimana?

Lani segera meninggalkan ruangan kelas dan menyerahkan tas Randy. Lani benar-benar merasa mendapat jawaban dari semuanya, kunci yang tidak ada pada tempatnya, Pandi yang ditemukan didalam kelas, bukankah itu hal yang berhubungan?

Malam hari yang begitu dingin, rasa dingin bahkan terasa sampai kedalam kamar Lani. Lani masih berada dimeja belajarnya, padahal besok sekolahnya meliburkan seluruh siswanya. Lani berada dimeja belajar bukan karena terlalu rajin, namun dirinya sedang berpikir. Tangannya kini memegang foto seluruh siswa kelas yang dipimpinnya.

Tangannya memberi lingkaran dengan spidol merah di foto Pandi dan Pendi. Kemudian member tanda silang pada foto Rania, karena tidak mungkin Rania membunuh Pandi yang tidak lain adalah kekasihnya, dan jikapun mereka ada masalah, Rania pasti hanya membunuh Pandi tidak Pendi. Tangan Lani kemudian menyilangkan dirinya sendiri, karena dirinya yakin bukan dia pembunuhnya.

Lani kembali menyilangkan satu persatu foto sampai akhirnya dirinya sadar semua foto telah tersilangi, lalu siapa pembunuhnya? Siapa? Apa mungkin memang benar bahwa pembunuhnya adalah roh Tania yang masih penasaran?

Lani menaruh kertas yang kini bercoret tinta merah kedalam laci mejanya. Angin dingin tiba-tiba berhembus dengan kencang, Lani merasa merinding, matanya menatap seisi kamarnya. Tidak ada siapa-siapa hanya dirinya yang ada disini, Lani memutuskan untuk segera tidur dan melupakan semua yang terjadi.

Namun tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah percakapan dari grup kelasnya.

Randy : Besok pemakaman Pandi dan Pendi kalau mau datang silahkan.

Nesya : pembunuhnya benar-benar keji

Rania : Aku ada dirumahnya sekarang Rand

Randy : Dasar pembunuh, sampaikan salah sama ortunya ya Ran, sampaiin rasa bela sungkawa aku.

Frenda : Apa jangan-jangan pembunuhnya adalah arwah Tania?

Randy : Apa yang kamu tahu tentang Tania?

Frenda : Kakakku seangkatan dengan Tania jadi dia tahu.

Randy : siapa Tania?

Frenda : Dari cerita kakakku, Tania itu anak perempuan pintar yang merasa tersingkirkan karena tidak terpilih ikut LCC, Tania udah latihan terus tapi Pak Kardi malah milih siswa lain, padahal Tania itu pintar.

Ernest : Jadi Tania itu merasa tidak dihargai di timnya?

Randy : Kenapa dengan Pandi dan Pendi? Apa mereka melakukan kesalahan yang sama?

Ernest : Mungkin Rand, kalau memang Tania pembunuhnya.

Randy : Bagaimana kalau bukan?

Randy : Bagaimana jika pembunuhnya adalah manusia biasa.

Frenda : Sebenarnya aku yang buat tulisan di Mading.

Lani : Tujuan?

Frenda : Buat ngasih tahu aja, gak tahunya malah kejadian kaya gini.

Randy : Jangan-jangan kamu pembunuhnya?

Frenda : Bukan sumpah, bukan aku.

Lani : Siapapun bisa jadi tersangka!

Seminggu setelah kejadian memilukan yang mengambil nyawa Pandi dan Pendi. Para siswa kini mulai belajar dengan tenang, garis polisi mulai dilepas, tidak ada yang jadi tersangka. Yang semua siswa tahu Tania adalah pembunuhnya.

“Nah, pagi ini bapak lagi bahagia jadi kalian bebas mau bertanya apapun kepada bapak.” Pak Kardi menatap sekeliling kelas sambil tersenyum.

Para siswa berpandangan seakan-akan merasa aneh dengan pak Kardi yang kini ada di hadapan mereka. Randy tampak menunduk, dirinya masih begitu enggan menduduki kelas ini, masih terbayang diwajahnya bagaimana temannya terbujur kaku dengan darah yang menggenanginya.

“Pak.”

“Iya Ernest?” seketika seisi kelas menatap kearah Ernest.

“Saya mau bertanya tentang Tania, tolong bapak ceritakan kejadian yang sebenarnya.”

Pak Kardi seperti sangat terkejut dengan pertanyaan yang didapatnya, matanya yang berbinar-binar tiba-tiba menjadi sayu, seakan-akan beban beratus-ratus pon menimpa dirinya. Cukup lama pak Kardi terdiam, membiarkan seisi kelas bertanya dalam kesunyian.

“Tidak ada yang perlu diceritakan, kisah Tania benar adanya, dan kelas ini merupakan tempat dimana Tania mengakhiri hidupnya. “

“Hiiiii…” seisi kelas bergidik ketakutan sambil melihat kearah langit-langit seakan-akan membayangkan mayat Tania tergantung dihadapan mereka.

“Lalu apa mungkin Pendi dan Pandi dibunuh oleh Tania?” Randy yang sedari tadi diam bertanya tanpa menunjuk tangan terlebih dahulu.

“Tidak ada yang tahu.”

Lani mencerna ucapan pak Kardi, matanya menatap nanar kearah depan kelas, tepatnya kearah gantungan kunci cadangan. Dimana kunci itu berada? Siapa yang memegang?

Lani tenggelam pada pemikirannya, otaknya benar-benar berjuang keras mencari tahu siapa pembunuhnya.

Pagi hari yang tenang, pelajaran dimulai dengan pelajaran sejarah, namun sang guru berhalangan hadir pagi ini. membuat seisi kelas menjadi ramai bahkan seperti pasar.

“Rand, Lan. Aku izin ke toilet ya?”

“Ngapain boker?”

“Yoa.” Viko menjawab sambil mengelus-elus perutnya.

“Hati-hati Vik, butuh kawan gak?”

“Gak. Takutnya orang yang nemanin jangan-jangan pembunuh yang sebenarnya terus aku meninggal tragis.”

“Hussss…” Nesya berteriak kearah Viko.

“bye, udah gak kuat.” Viko berjalan cepat meninggalkan kelas yang telah ramai.

Viko berjalan kearah toilet yang hanya berjarak dua kelas dari kelasnya, toilet memang masih sepi dijam-jam seperti ini, lagian masih pagi. Mungkin hanya dirinya yang menggunakan toilet sepagi ini.

Viko memasuki toilet laki-laki dihadapannya kini ada tiga buah westafel dan satu bak besar yang berisi air, entah apa fungsinya padahal di setiap bilik ada kran dan bak yang selalu terisi. Viko memasuki bilik terujung dan menghabiskan waktu cukup lama disana.

Viko keluar dan berjalan kearah bak besar, menghidupkan kran dan bermain dengan kran air disana, itulah Viko anak laki-laki yang mencintai air.

Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh tengkuknya, Viko merasa terkejut , dirinya diam sebentar dan membiarkan tangan itu tetap disana, Viko melihat kaca di westafel. Fuhh dasar teman brengsek suka aja ngejutin.

Tiba-tiba tangan itu mendorong kepalanya kedalam air, benar-benar mendorong kepalanya, bahkan kini dirinya merasa begitu sulit bernapas, rontaan Viko semakin kuat. Kini Viko yakin bahwa ini adalah pembunuhan bukan permainan. Viko berusaha melepaskan diri dengan sisa-sisa oksigen yang dimilikinya.

Rontaan Viko kini semakin lemah, melemah dan akhirnya dirinya benar-benar terkulai tidak bernyawa. Tangan yang sedari tadi memegang kepada Viko kini mengambil pisau dari sakunya, dan memotong nadi tangan Viko. Darah mengalir dengan cepat membasahi lantai.

“Hai Viko.” Suara menggema di dalam toilet, kemudian terdengar langkah kaki yang semakin jauh dan menghilang.

“Viko kok lama ya Rand?”

“Palingan juga main air Lan, tuh anak gak bisa jauh dari air.”

Bel tanda bergantinya jam pelajaran kini berbunyi, sekarang saatnya pak Kardi yang mengajar. Anak kelas sibuk mempersiapkan buku-bukunya.

“Tolong….! Tolong ada mayat.” Sebuah suara teriakan laki-laki terdengar sayup-sayup.

Anak kelas kembali bergidik ketakutan seakan-akan mayat Pandi kembali hadir dihadapan mereka.

“Viko udah pulang belum?” Randy berteriak keras.

“Loh, Viko mana?”

“Viko gak ada.”

“Oh Tuhan.” Randy segera berlari keluar kelas.

Randy berlari mengikuti anak-anak kelas sebelah yang juga berhambur keluar, Randy menyusup diantara kerumunan.

“Viko!” Randy berteriak saat melihat mayat Viko tergeletak dengan keadaan yang begitu mengenaskan.

Lani mendengar teriakan Randy sayup-sayup, dirinya terjebak diantara kerumunan yang tidak bisa disusupinya, namun suara sayup-sayup itu telah mampu membuat Lani tidak mampu berdiri, dirinya terjatuh, terduduk dengan wajah yang begitu pucat.

“Lan, Lan.” Rania memegang tangan Lani, mencoba membantu Lani berjalan kekelas.

“Ran, Viko udah gak ada.”

Rania mendudukkan Lani dikursi, seketika anak kelas memasuki kelas dan berkerumun mengelilingi Lani.

“Viko udah gak ada.” Lani berbicara pelan hampir tak terdengar.

Seketika kelas menjadi histeris, beberapa bahkan menangis dengan kuat. Lani bingung, Lani ketakutan, Lani benci, benci dengan semua yang terjadi. Apa yang salah dengan kelasnya? apa kesalahan mereka? Sampai-sampai tiga temannya meregang nyawa dalam waktu yang berdekatan?

Sore itu juga diadakan pemakaman Viko, disebuah pemakaman umum. Seluruh siswa hadir disana, kejadian haru dan menyedihkan sangat terasa bahkan mencekam. Setiap bibir mengutuk pembunuh yang telah berbuat keji dan tega. Setiap bibir menyumpahi sipembunuh.

“Pak Kardi?” Lani menyapa pak Kardi yang berdoa dinisan yang bukan milik Viko.

“Eh, Lan?”

“Bapak disini ngapain?”

Pak Kardi menunjuk nama yang tertulis dinisan Tania Retnoputri. Lani berjongkok disamping pak Kardi. Dirinya kini paham bahwa cerita mengenai Tania adalah benar adanya.

Pak Kardi menatap lama nisan yang ada dihadapannya. Menatap begitu dalam bahkan sangat dalam.

Siang itu, latihan terakhir untuk LCC ada empat orang siswa diruangan pak Kardi. Salah satu diantara keempatnya adalah Tania. Tania yang berambut panjang itu sibuk bermain dengan soal matematika yang ada dihadapannya.

“ Besok yang tanding, Dina, Ratih, sma Jordi.”

“Loh? Tania pak?”

“Ada perubahan ternyata yang ikut Cuma tiga orang.” Pak Kardi berucap sambil menatap kejauhan.

Sebuah senyum tipis dari Tania mengakhiri pertemuan hari itu, dan untuk selamanya.

Pak Kardi mengusap pelan nisan yang ada di hadapannya.

“Maafin bapak Tania.” Terdengar bisikan dari bibir Pak Kardi.

“Pak, pembunuhnya bukan Tania.”

“siapa?”

“Apa mungkin mereka yang meninggal bisa mengambil kunci cadangan kelas pak?”

Lani mengucapkan pertanyaan yang mengacu pada bukti yang selama ini telah di pikirkannya, batinnya terlebih dahulu berkecamuk, bilang atau tidak? Siapa saja bisa jadi tersangka bukan? Bagaimana jika pembunuhnya adalah pak Kardi? Namun, batin Lani mengatakan, bukan pak Kardi.

“Jadi dia anak kelasmu?”

“Ya.”

“Kamu yakin?”

“Ya pak.”

“Siapapun bisa jadi tersangka Lani.”

Malam hari yang tenang, kembali Lani membuka selembar foto anak kelas yang telah masukkannya kedalam lacinya, tangannya melingkari wajah Viko dengan tinta hitam. Matanya menatap kejauhan, seakan-akan mencari jawaban dari semua pertanyaan yang ada dikepalanya.

Lani mengambil ponsel miliknya.  Membuka percakapan grup dan memulai percakapan.

Lani : Besok 5 tahun tepat kematian Tania.

Randy : Tahu dari mana?

Lani : Tadi aku ketemu pak Kardi lagi berdoa dimakam Tania jadi aku curi pandang ke tanggalnya.

Ernest : Mungkin semuanya bakal berakhir

Nesya : fuh… gua mau pindah sekolah bro

Lani : Me too

Frenda : wow.. aku merasa bakalan ada tragedy besar besok

Randy : Kenapa?

Frenda : Karena 5 tahun yang lalu tepat dimalam hari adalah kejadian Tania bunuh diri, mungkin Tania akan membunuh besok, huu ngeri.

Rania : Izin gak masuk sekolah besok

Frenda : Me too

Randy : Aku juga coy gak mau mati gua.
***

Malam hari yang sama seperti lima tahun yang lalu, saat Tania meregang nyawa. Saat kesunyian tak mampu mengubah pemikirannya.

Randy memasuki sekolah, memarkirkan motornya dipinggir lapangan dan berjalan menuju kelas. Suasana sunyi dan mencekam sangat terasa, lebih tepatnya aura mistis terpancar dari kesunyian malam. Randy mengambil ponselnya.

“Katanya mau ngadain doa buat Tania, kok sepi? Payah ya kalau gak masuk sekolah.” Randy bergumam pelan.

“Bro.”

“Ernest.”

“Udah rame?”

“Sepi.”

“Loh katanya mau doa buat Tania.”

“Ah gitu deh.”

“Yaudah masuk kelas yok Rand.”

Ernest  mengeluarkan anak kunci dari sakunya, memasukkan perlahan, mendorong pintu yang kini menunjukkan gelapnya kelas yang mereka miliki, Ernest menekan sakelar lampu.Randy duduk di kursi kelas bagian depan. Matanya menatap seisi kelas, lumayan mengerikan. Ernest duduk dibelakangnya. Mata Randy menatap kearah gantungan kunci cadangan.

KOSONG?

KOSONG?

Otak kiri dan kanan Randy segera bekerja.

OH TUHAN?

Bukankah Lani mengatakan kunci ketiga adalah cadangan, jika Pandi bisa berada didalam kelas. Artinya pembunuh memegang kunci cadangan.

RANDY SEKARANG BERADA BERSAMA DENGAN SIPEMEGANG KUNCI CADANGAN DAN DIA ADALAH PEMBUNUHNYA.

Randy menatap tajam kedepan, berpura-pura tidak tahu. Harusnya dirinya sadar, tidak satupun orang digrup yang membicarakan doa untuk Tania, hanya Ernest yang mengajaknya. Randy memegang ponselnya.

To: Lani
Tolongin gua, gua di kelas sekarang lagi sama pemegang kunci cadangan.

To : Eno
Tolongin gua coy.  Dikelas sekarang.

Tiba-tiba sebuah tali tambang menjerat leher Randy, Randy berusaha meronta-ronta. Harusnya dirinya bisa lari lebih cepat. Randy membalikkan tubuhnya, matanya kini menatap mata Ernest.

“apa yang salah Nest?”

“Apa yang salah katamu?”

“Kalian telah membuatku selalu menjadi pemain cadangan di volley, harusnya kamu sadar mereka yang kubunuh adalah tim volley kita.”

“Nest, harusnya..”

Ucapan Randy terhenti karena Ernest mencekik lehernya.

“Harusnya apa?”

“Membiarkanmu hidup?”

“Kamu tahu? Hal yang kulakukan sama dengan yang dilakukan Tania. Hanya saja Tania membunuh dirinya sendiri, dan aku? Aku membunuh kalian yang menghalangi jalanku.” Ernest berteriak kencang.

Ernest  mengeluarkan pisau lipat dari sakunya.

“Ini saatnya Randy. Tidurlah dengan tenang.”

Cekikan Ernest yang terlalu kuat, membuat Randy tidak bisa bernapas. Cadangan oksigen Randy telah habis. Kini Randy terjatuh tak berdaya. Ernest memegang tangan Randy, siap memotong nadi Randy, seperti yang dilakukannya pada mereka yang telah terbunuh.

“Ernesttttttttt!!!!!!!!!!!” sebuah teriak terdengar menggema.

Frenda berdiri didepan pintu.

“Ernest, berpikirlah.”

“Frenda. Kamu tidak tahu apa-apa.”

“Aku tahu, ini semua karena aku membuat tulisan dimading, hal itu membuatmu termotivasi membunuh bukan?”

“I will kill you too.”

Ernest berlari kearah Frenda, mencekik leher Frenda.

“Ernest, ini dirimu yang asli?”

“Ingat? Ingat saat dirimu mengajakku jalan? Meneleponku sampai tengah malam? Dan saat ini kamu akan membunuhku?”

INGAT SAAT UNTUK PERTAMAKALI TANGANMU MENGENGGAM TANGANKU? INGAT? HEI! SEORANG PEMBUNUH TIDAK AKAN MEMBUNUH ORANG YANG DICINTAINYA!

Ernest mengendorkan cekikannya, memang benar. Dirinya sangat menyukai Frenda. Harusnya Frenda tidak perlu berada disini, harusnya Frenda tidak perlu tahu dirinya yang sebenarnya.

“Ernest… kamu tahu kenapa kamu tidak pernah dimainkan?”

Ernest menggeleng pelan sambil tetap mencekik Frenda.

“Kamu salah tentang kemampuanmu, kamu tidak pernah bisa bermain volley, ingat setiap kamu main timmu selalu kalah? Kamu tidak bisa.”

“Aku bisa.” Ernest berteriak.

“Kamu salah, kamu tidak pernah bisa. Dirimu hebat hanya dalam bayanganmu. Kamu salah Ernest.”

“Terkadang kamu perlu menghargai oranglain, dan membiarkan mereka maju. Mungkin usahamu memang banyak, jauh dari mereka. Tapi ada saat dimana sesuatu yang diusahakan hanya untuk menjadi pengalaman bukan kebanggaan.”

Ernest menunduk, dirinya berkecamuk. Batinnya mengakui bahwa memang dirinya tidak pernah bisa bermain, bahkan passingpun dirinya tidak bisa sebagus Pandi, Pendi atau bahkan Eno.

Randy, membuka matanya perlahan. Dirinya melihat kearah Ernest yang sedang mencekik Frenda, Randy mengambil pisau dapur yang terdapat didalam laci milik Rania, pisau itu kemarin digunakan saat praktek, namun tidak penting dari mana asalnya yang terpenting ada pisau.

Randy berlari kearah Ernest.

“Matilah kau Ernest.”

Ernest yang tertunduk benar-benar tidak sadar dengan apa terjadi. Frenda mendorong kesamping tubuh Ernest, resiko dari hal yang dilakukan Frenda adalah dirinya yang terkena tusukan, tepat dijantung. Tepat! Tepat dia akan meninggal sebentar lagi.

"Frenda? Oh Tuhan maafkan aku." Randy memegang wajah Frenda yang kini mendekati akhir hayatnya. Randy terhenyak melihat apa yang dilakukannya.

"Jangan bunuh Ernest Rand, biarin dia pergi anggap aja aku pembunuh yang...."

UHUK......

"Sebenarnya."

Ernest yang tersadar dari pikirannya segera meninju Randy.

“Dia orang yang berharga bagiku.” Ernest berteriak.

“Pendi, Pandi, Viko. Dia sahabatku.” Randy membalas jontosan tangan Ernest.

"Aku tidak peduli mereka, mereka salah." Ernest mencekik leher Randy.

"Hanya manusia bodoh yang membunuh temannya." Randy melepaskan cekikan Ernest.

"Kamu mau tahu bagaimana aku membunuh semuanya?"

"Nikmati ceritaku Randy sebelum maut menjemputmu."

Siang yang panas itu, Pandi berteduh dibawah pohon. Dirinya memang tidak kuat dengan panas. Panas hari ini memang menggila.

"Hei, kekelas yok Pan."

"Emang kamu punya kunci?"

"Punya."
Pandi duduk dikursi miliknya, menelan air mineral yang sepertinya tidak sanggup menghilangkan panas. Tiba-tiba jeratan tali terasa dilehernya, Pandi terlalu lelah, tidak ada kekuatan untuk melawan. Dirinya mengutuk tubuhnya yang begitu lemah.Oksigen yang dimilikinya telah habis, rontaan lemahnya kini hilang.

Ernest memerika denyut nadi dileher Pandi, masih terasa sangat lemah. Satu-satunya hal yang di pikirkan Ernest adalah bagaimana menghilangkan denyut nadi Pandi. Kakinya melangkah pelan menuju tasnya, mengambil pisau lipat perlahan.

"Pan, bye." Ernest membesetkan pisau tepat di nadi Pandi.

"Menyenangkan bukan Rand?" Ernest mencekik kuat leher Randy.

"Kau brengsek Nest." Randy berucap lemah terbata-bata.

"Pendi? kamu mau bertanya tentang Pendi?"

"Aku hanya perlu menunggu ditoilet dan mengunci pintu saat dirinya didalam toilet. Memukul tubuhnya dengan potongan kayu. Dan selesai." Ernest berbicara sambil menatap tajam Randy.

"Lalu Viko?"

"Aku sengaja datang kesekolah namun tidak masuk kelas, aku tahu bahwa sejarah tidak belajar. Menunggu ditoilet karena aku tahu Viko sering ketoilet. Saat kalian sibuk dengan kematian Viko aku menyelinap kedalam kelas. Lihat bahkan tidak ada yang mengingatku saat pelajaran sejarah. tidak ada yang peduli bahwa aku tidak ada."

"Hanya karena hal sederhana itu?" Randy berteriak tertahan.

"Hal sederhana bagimu tidak bagiku."

Randy menendang perut Ernest, kini cekikan lepas dari lehernya. Adu jotos kembali terjadi. Terjadi dengan cepat di hadapan mayat Frenda yang kini membujur kaku dengan darah yang menggenangi.


Pertarungan sengit itu akhirnya berakhir dengan pemotongan nadi dileher yang dilakukan Ernest. Randy tergeletak tidak berdaya. Matanya terbelalak menatap nanar langit-langit. Dirinya tergeletak ditempat yang sama dengan Pandi. Terlalu mengerikan. Randy menatap wajah Ernest yang sedang membersihkan bercak darah diwajahnya.

“Bye ma…ma, pap..a, La..n..i.” Randy menutup matanya perlahan.

Ernest  mengambil kunci kelas yang terdapat di kantung Randy. Mengambl kunci miliknya dan menggantungkannya ditempat semula didepan kelas. Ernest berjalan santai, matanya menatap Frenda yang tergeletak tak bernyawa di lantai.

Ernest  memegang wajah Frenda yang telah memucat.

“Harusnya kamu tidak disini sayang. “ ernest mengusap wajah Frenda.

“Tapi ini pantas kamu dapatkan.” Ernest melepaskan dengan kasar wajah Frenda.

"Terimakasih Tania." Ernest berbisik pelan. 

Ernest membiarkan lampu kelas menyala, Ernest menutup pintu kelas mengunci dengan rapat. Ernest berjalan menuju rumahnya dengan tenang, ditengah jalan dirinya berpapasan dengan mobil polisi dan ambulan. Sebuah senyum tipis tersungging di wajah Ernest.

Lani sampai disekolah bersama dengan Pak Kardi dan Polisi. Mereka berlari  menuju kelas. Lani membuka kelas dengan kunci miliknya. Pemandangan memilukan yang ada dihadapannya membuat Lani terjatuh lemas, sangat lemas.

“Kita terlambat pak.” Lani menangis sejadi-jadinya.

Lani memasuki kelas, menatap kedalam ruangan. Matanya menatap kearah paku yang kini sudah terisi kunci, kunci yang berlumuran darah segar.

“Pak, Pembunuhan ini telah selesai, kunci telah kembali.”

“Dan bapak telah mendapat siapa pembunuhnya.” Pak Kardi memutar video yang didapat dari kamera pengawas yang dipasang secara diam-diam yang dipasang didalam kelas.

Lani mengambil kunci yang tergantung dipaku, mengenggam erat kunci yang terasa begitu dingin,

“Mulai saat ini tidak ada kunci cadangan.” Lani mengeram sambil menangis matanya menatap kearah petugas yang membereskan mayat Randy.

Bye Rand.

original cerpen by me.
Pict by tumblr.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar