Kamis, 19 Mei 2016

Forget It

Tetesan hujan jatuh dengan lembutnya, jatuh dengan lembut tanpa ada yang menahan. Tetesan itu kini membasahi tanah yang ada dibawah pohon besar itu, pohon besar yang katanya sudah sangat lama usianya, mungkin memang wajar jika pohon itu disebut pohon tua. Dedaunan dipohon tua itu kini beberapa mulai berjatuhan, angin yang kencang menyapu semuanya, menyapu air untuk jatuh, menyapu dedaunan untuk ikut dengannya. Begitulah yang terjadi sore ini, sebuah sore mendung dengan awan kelabu yang tampak bergulung.

Disini aku berdiri, sekitar 30 meter dari pohon tua yang kini tampak begitu lemah, tampak meliuk-liuk bagaikan tarian seorang putri yang gemulai. Aku meraih kamera pocket milikku, mengatur pencahayaan dan menjepret beberapa gambar. Aku menyukai hari ini, aku suka hujan, aku suka awan,
dan aku suka angin yang menyapu wajahku.

Terdengar suara kecil dibaling tas kecil milikku, ah lagi-lagi orang itu menggangguku. Harusnya dia tahu aku pun punya kesibukan lain selain mengurusi dia. Aku merogoh tasku, mengeluarkan sebuah ponsel mungil dengan case berwarna merah muda. Ah benar saja, sudah kutebak pasti dia. Hufttt

“Halo.”

“Fray… kamu dimana?”

“Ditaman.”

“Balik keasrama, Ibu nyariin.”

“Ya, sebentar”

Dia Nadia, teman sekamarku yang selalu overprotektif, entahlah aku mulai berpikir dia terlalu berlebihan. Padahal tanpa dia ketahui aku sudah meminta izin kepada ibu asrama sebelum pergi.

“Dasar teman.”

Aku berjalan melewati jalanan yang dibuat sedemikian rupa berbentuk hati. Mungkin aku sedikit salah tempat keluhku saat melihat apa yang ada dihadapanku. Ini taman tempat insan-insan memadu kasih.

Kuputuskan berjalan mengelilingi jalan dengan bentuk hati yang kupijak sejak tadi, batuan conblok terlihat basah dengan sempurna menyebarkan bau yang begitu menenangkan.

“Fraya… Ini anugerah terindah hari ini.”Gumamku pelan.

Harusnya setiap hari begini, ada hujan yang menenangkan semuanya.

“Fray.. Kemana aja?” terdengar suara Nadia menyambutku didepan pintu kamar.

“Yaa ampun Fray, kamu basah. Sana mandi.”

“Cerewet banget sih.” Jawabku cepat.

“Fray, tadi mama nelfon.”

“Mama siapa?” Tanyaku dari dalam kamar mandi

“Mamamu.”

“Loh kenapa kamu manggil mama juga?”

“Kan kita udah saudara.”

“Haisss.”

Aku mengeluarkan kamera kecil milikku, melihat beberap jepretan gambar yang kuambil. Kabel USB segera meluncur masuk kelaptopku dan terhubung ke kameraku, copy paste terjadi, kutulis tanggal hari ini disana, disebuah folder khusus yang ada di laptopku.

Aku mengibas gorden biru muda yang menutupi jendela, menatap kearah luar yang begitu gelap, ya ini sudah malam. Cahaya remang-remang terlihat dibeberapa tempat. Salah satunya kelas ujung yang merupakan kelasku, kelas itu terlihat begitu menyeramkan padahal tadi siang kami baru saja berbagi cerita disana, yaaa kegelapan mengubah semuanya.

“Fray, kita long weekend ini mau jalan.”

“Kemana?”

“Kedesa yang waktu itu direkomendasiin  sama pak Purno.”

“Oh ya?”

“Fray, tolong jangan djadi batu es.”

Aku meninggalkan Nadia disana, kami bertukar tempat saat ini, Nadia berada di jendela dan aku berada di tempat tidur yang begitu menenangkan.

“Aku pergi.” Sebuah bayangan melintas di pikiranku.

Ahhhh segera kupejamkan mataku, mencoba tidur.

Aku bangun tepat waktu sesuai dengan alarmku,  disebelah tempat tidurku ada Nadia dengan tempat tidurnya sendiri. Aku mencoba membuka pintu kamar, ah sial Nadia mengunci pintu kamar. Ini hal yang tidak kusuka dari Nadia, dia begitu mempersempit wilayahku.

“Nad..” Ujarku sambil mengoyang-goyangkan tubuh Nadia.

Aha, mataku tertancap pada benda yang menyembul dibalik bantal Nadia. Sialan apa maksudnya menyembunyikan kunci. Segera aku beraksi dan keluar dari kamar, berjalan kelapangan dan menghirup udara segar.

Aku melihat dua orang berada didalam lapangan, palingan juga mereka yang kasmaran dan sedang lari pagi romantic, huft aku melengguskan nafasku dengan cepat.

“Apa yang salah?”

“Tidak ada yang salah, hanya saja ah sudahlah lupakan tentang kita.”

Suara kecil keluar dari dua orang yang berjarak sekitar 40 m dariku, sepertinya mereka sedang ada masalah. Yaa, begitulah remaja, suka,sayang,pacaran,cinta,tidak cocok, putus. Itu semua sepeti lingkaran yang membelengu kehidupan para remaja.

Aku tidak mengenal mereka, mungkin mereka adalah kakak kelasku atau mungkin saja seangkatanku yang tidak kukenal. Entahlah, itu urusan mereka aku tidak mau mencampurinya.

Aku menggerakkan kakiku berlari kecil memasuki lapangan yang kini mulai ramai oleh siswa-siswa yang lain, ini merupakan kebiasaan yang telah diterapkan disekolahku. Sesekali aku terpaksa tersenyum kepada beberapa orang yang kukenal, terpaksa? Ya, jujur aku bukan orang yang terlalu menyukai sosialisasi berlebihan.

“Fray..”

Ah sial itu suara Nadia, aku bergerak semakin cepat berusaha berpura-pura tidak mendengar suara Nadia.  Sepertinya Nadia sudah terbangun dan menyadari kuncinya telah hilang.

“Heh, kamu! Ngapain kamu disini? Ngikuti Natan sekolah disini?” seorang perempuan berhenti dihadapanku dan membentakku.

Aku tidak mengenal siapa orang ini, dasar orang aneh. Aku menatap dingin perempuan yang kini mengeluarkan rona marah diwajahnya, aku mengacuhkan tatapannya dan berlalu.

But wait??? Natan? Siapa Natan?

“Bu, Fraya minta kunci cadangan ya satu lagi.” Ujarku merayu ibu asrama

“Kenapa?”

“Sulit.”

Kulihat ibu asrama berjalan kedalam kamarnya, cukup lama aku menunggu hingga akhirnya ibu asrama keluar dengan sebuah kunci ditangan. Yess,,, good bye Nadia. Tidurlah dengan tenang dan dengan segala keoveranmu.

Aku berlari kecil lantai dua sekolahku, mengambil beberapa gambar awan yang kini benar-benar terlukis begitu indah. aku suka awan, bukan tanpa alasan. Awan mempunyai gerak yang bebas dia bisa saja bergerak semaunya tapi tidak pernah sekalipun aku melihat awan membuat bentuk yang jelek, awan selalu menciptakan sesuatu yang indah dan menenangkan.

“Hai.”

Aku menolehkan kepalaku kearah suara yang kurasa berada dibelakangku.

“Sejak kapan kamu suka mandangin awan?”

Aku menatap asing kepada anak laki-laki yang berada di hadapanku kini, aku tahu wajah ini. dia orang yang ada di lapangan tadi pagi.

“Lama tidak berjumpa, bagaimana keadaanmu?”

Ah sial, dia siapa? Mengapa cara berbcaranya seakan-akan aku sudah pernah bertemu dengannya?

“Natannn….” Terdengar teriakan dari ujung lorong, seorang anak perempuan berdiri disana, wanita yang sama dengan yang ada di lapangan tadi pagi.
Aku berjalan menjauh dari tempatku, apapun itu aku tidak menyukai berada diantara masalah oranglain.

“Natan,kamu kenapa disini?”

“Bukan urusanmu.”

Terdengar suara dari dua orang yang kutinggalkan.
Aku menghempaskan dengan lembut tubuhku kekasur yang ada di kamarku, kemana Nadia? Tumben dia tidak ada dikamar, biasanya dia penjaga kamar.

Kring… kring….

“Halo.”

“Ya ma?”

“Fraya sehat kok.”

“Iya,iya,iya,iya.”

Aku meletakkan gagang telepon ditempatnya.

“Fraya.. Tadahhh besok kan libur 3 hari kamu ikut gak kedesa yang kemaren aku certain.”

Nadia tiba-tiba muncul dari pintu dan duduk di hadapanku kini.

“Its okay.”

“Desanya dimana?”

“Ada deh.”

Nadia bergerak merapi barang-barangnya dan memasukkan ketasnya, astaga anak ini begitu berlebihan apa dia sadar,libur tiga hari yang dikatakannya besok itu adalah seminggu lagi.

Guncangan bus terasa begitu tidak nyaman, sesekali tanganku harus berpegangan erat pada kursi yang ada di hadapanku. Ya, ini adalah besok yang dimaksud Nadia seminggu yang lalu. Kami berangkat ada sekitar 70 orang, dan aku adalah orang yang ikut karena di paksa. Aihhhh…

Tubuhku terbangun karena goncangan yang begitu kencang, astaga aku tertidur hampir 2 jam keluhku saat melihat jam tanganku yang kini menunjukkan pukul 3 sore.

Mataku sedikit terbelalak, sial mengapa tidak ada yang mengatakan bahwa kami akan kesini, ini adalah daerah yang sangat kukenal. Ini tempat dimana aku dibesarkan, tempat dimana aku memulai hidupku, sampai akhirnya aku pindah kekota beberapa bulan yang lalu.

“Nah.. anak-anak kita sudah sampai ditempat tujuan.” Terdengar suara Pak Purno setengah berteriak.

Kami sampai disebuah tanah lapang, iya wajar saja, toh kami disini untuk kemah bukan untuk menginap. Aku menatap hijaunya dedaunan, menatap awan yang sangat bersih hari ini, mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya. Jujur aku sangat merindukan udara ini.

Aku berjalan menjauhi rombongan sekolahku, meninggalkan Nadia yang sibuk dengan tenda kami. Aku melangkah menyusuri jalanan desa yang lenggang, sesekali terlihat para petani melewati jalan sambil membawa peralatan mereka.

Aku melangkahkan kakiku kesepetak sawah yang kini baru saja ditananmi. Aku merindukan ini Tuhan,
aku rindu semuanya, ingin rasanya aku menginjakkan kakiku kedalam tapi….

Enough Frayaaaa…. Enough…

Don’t remember it. Hatiku berteriak dengan pedihnya.

“Hai.”

Aku menghapus air mataku dengan cepat.

“Kau menangis?”

“Tidak.” Ujarku sambil berdiri menatap Natan.

Ya sepertinya dia Natan, seperti perempuan itu memanggilnya.

“Jika kamu butuh tempat, aku disini dengan pundakku.”

“maaf, apa sebelumnya kita saling kenal.”

“Apa kecelakaan itu merenggut ingatanmu?”

“Maaf aku pergi saat dirimu sedang kritis… maaf.”
Aku menatap asing kepada Natan, apa aku kecelakaan sebelumnya?

“Oh ya? Maaf mungkin aku lupa.” Ujarku pelan saat aku benar-benar tidak dapat menemukan informasi tentang dirinya di ingatanku.

“Apa yang membuatmu risau?” Natan duduk disisi sawah dan menarik tanganku untuk duduk bersamanya.

“Aku merisaukan pertemanan.”

“Boleh akutahu masalahmu?”

“Tidak.”

Aku mengajak Natan untuk kembali ke perkemahan.

“Frayaaa.. Kamu kemana aaaa…” Nadia menghentikan kalimatnya saat melihat Natan berdiri dibelakangku.

“Natan.. Hai?” Nadia tampak menyunggingkan senyum manisnya.

Dasar genit huhhh…

Pagi yang belum saatnya disebut pagi, kami mendaki bukit untuk melihat air terjun yang dikatakan Pak Purno.

“Hei Frey, kenapa diam aja?” Natan membuyarkan lamunanku.

Aku menatap Natan tersenyum sedikit, dan memastikan bahwa Natan aku baik-baik saja.
Sebuah memori berkumpul di pikiranku, menari-nari dengan indahnya. Memori bodoh yang selalu ingin aku hapuskan tentang jalan ini, tentang pohon ini, tentang semuanya.

“Kamu tahu apa yang paling indah dari air terjun?” Natan bertanya saat aku sibuk memotret  air terjun yang ada dihadapanku.

“Tidak ada.”

“Ini istimewa Frey, dia jatuh.”

“Kamu tahu Natan? Aku juga pernah jatuh disini.”

“Apa adegannya lucu?”

“Menyakitkan.”

“Jautuh terpeleset?”

“Bukan, jatuh cinta Natan.. kamu tahu cinta?”

Natan menatap aneh kepadaku, seakan-akan dirinya benar-benar tidak mengenalku, tatapannya tidak seperti beberapa menit yang lalu.

“Cinta tidak selalu menyakitkan Frey, dan jika itu menyakitkan itu tidak pantas disebut cinta.”
Aku duduk diantara batuan mencoba mengingat penggalan memori yang telah kupenggal menjadi beberapa bagian.

“Fraya.. Maaf aku harus pergi.”

“Fray maaf.”

“Fray Maaf.”

“Fray..

“Fray..”

“Fray.” Sebuah tangan menepuk tubuhku.

“Kamu baik-baik saja.”

“Its oke Nad.”

Malam terasa begitu dingin, saat kami berkumpul untuk makan malam.

“Frey, ikut aku.”

Natan menarik tanganku dengan perlahan.

“Natan.” Terdengar suara perempuan membentak. Ah entahlah siapa perempuan itu, dia muncul berkali-kali namun aku tidak tahu namanya.

“Natan, ingat janjimu.” Perempuan itu berkata lirih seakan-akan takut menganggu anak lain yang sibuk dengan makan malamnya.

“Han, jangan membuat aku membuat kesalahan yang kedua. Ini waktunya, berhenti mengikatku dengan kata-kata manismu.”

Natan menarik tanganku, membawaku kesebuah jembatan, aku tahu jembatan ini. lalu bagaimana mungkin Natan tahu tempat-tempat yang ada didesa ini? seharusnya aku merasakan kejanggalan ini sejak kemarin.

“Kamu suka angin?”

“Aku suka awan, angin, dan hujan.”

“Wow, kamu akan menciptakan badai jika ketiganya di gabungkan.”

“Aku tidak peduli, karena beberapa orang pantas di hancurkan.”

“Kamu menyimpan dendam?”

“Kamu tahu Natan? Aku benci jika harus mengatakan kita teman, aku benci jika harus menyebut persahabatan bukan karena sebutan itu tidak pantas hanya saja mereka yang disebut sebagai teman terkadang sama brengseknya dengan musuh. Mereka bermain dibelakang, berceloteh dibelakang, padahal dulunya semua begitu tenang sebelum pengkhianatan terjadi. 

Natan menutup mulutku dengan jarinya, seakan-akan menyuruhku berhenti berbicara.

“Apapun itu, apapun yang membuatmu membenci pertemanan. Dirimu sebenarnya tidak perlu membencinya, semua hanya perlu dijauhi.”

Aku menunduk, melihatkearah air yang begitu gelap. Mungkin Natan benar, semua itu seperti air yang terlihat dimalam hari begitu gelap padahal sebenarnya itu jernih, kegelapan lagi-lagi mengubah semuanya.

“Freya  Anindyta, aku tahu kamu belum bisa mengingatmu. Aku akan mengulang semuanya, bisakah kita bersama seperti dulu saat dirimu adalah aku dan aku adalah dirimu.” Natan memegang lembut tanganku.

“Waittt…. Natan. Aku bukan Freya, aku Fraya.”

“Tidak, dirimu Freya.”

“Aku Fraya.”

“Tidak mungkin, wajahmu sama dengannya.”

“Dia siapa.”

“Freya.”

Aku menatap aneh kepada Natan, aku mulai was-was jangan-jangan Natan adalah psikopat. Aku menarik kakiku dari antara pagar jembatan, membuat ancang-ancang untuk berlari jika saja Natan berubah menjadi sesuatu yang mengerikan.

“harusnya aku disana.” Natan menyandarkan keningnya ke pagar jembatan.

“Natan. Ayo kembali ke perkemahan.” Aku menyapa lembut Natan dengan matanku tetap memperhatikan gerak tangan Natan, bukan tanpa alasan, bisa saja dia tiba-tiba mengambil pisau dan membunuhku disini.

“Freya…”

“Fraya.”

“Ya itu.”

“Ma..”

“Mama kenal Freya?”

“Freya Ma, bukan Fraya.”

“Ma.. Mama kenapa nangis?”

“Ma…”

Terdengar telefon diputus. Siapa Freya?

Pagi hari yang begitu tenang, aku berjalan berdua dengan Nadia menyusuri jalan desa.

“Nad.”

“Ya?”

“Kamu kenal Freya?”

“Tidak.”

“Fraya.” Suara seseorang terdengar memanggiku dari seberang jalan.

“Nad cepat jalannya.”

“Tapi dia manggil kamu fray.”

“Jalan.”

Terdengar suara langkah mengejarku.

“Frey, aku tahu aku salah. Frey aku Cuma mau bilang maaf.” Terdengar suata teriakan dibelakangku.

Aku meneteskan airmataku pelan.

“Ranti, pergilah dengan segala pengkhianatanmu.” Gumamku pelan.

Dulu aku dan Ranti adalah sahabat, sahabat yang sangat dekat saat itu aku punya Jordi dan Ranti punya
Rian, namun entah apa yang terjadi Ranti dan Jordi menghancurkan persahabatan kami, untuk pertama kalinya aku mengenal cinta dan terkhianati karenanya.

Jam sekolah telah dimulai, seperti biasa semua tertata dengan rapi. Aku menatap kearah lapangan saat jam pelajaran, mencoba mencari motivasi dari kebosanan yang tercipta disini.

Aku melihat Natan disana, bersama dengan perempuan yang dipanggilnya Han tempo hari yang lalu. Mereka sepertinya sedang membicarakan hal serius.

Aku mengecek ponselku saat jam istirahat, ternyata ada sebuah pesan dari mamaku. Ah, sial. Aku seharusnya tidak membacanya.  Aku mengulang berkali-kali pesan yang kuterima.

Sore hari yang tenang aku berada di taman yang sama saat hujan menerpa pohon tua yang ada di hadapanku saat ini, pohon tua itu kini terlihat lebih tegar dari pada dua minggu yang lalu.

“Frey.”

“Fray.” Tegasku saat Natan muncul.

“Kamu masih mencari Freya?”

“Ya, kamu mengenalnya?”

“Dia saudara kembarku.”

“Freya tidak pernah bercerita dia punya saudara kembar, kamu berbohong?”

“Aku tidak mengenal Freya, dan Freya tidak mengenal aku. Dan berkatmu aku tahu bahwa ayah yang selama ini kusebut ayah, bukan ayah kandungku. Karena ayah kandungku adalah orang yang disebut

Freya ayah.”

“Lalu dimana Freya?”

“Dia disini.”

“Dimana?”

“Disini...” aku menunjuk jantungku.

“Kamu Freya? Apa ini lelucon?”

“Jantungku adalah jantung Freya, jadi dia disini dijantungku, dia membantuku hidup.”

“Ahhhhhh……” Natan mengacak-acak rambutnya.

“Natan, kamu tahu? Kamu hanya perlu melupakan rasa bersalahmu. Bukan dirimu yang salah tapi ada takdir diantara kita Natan.”

“Natan…” teriakku sambil menyentuh wajahnya yang begitu kusut.

“kamu tahu? Saat aku melihatmu, aku merasa dirimu adalah Freya, seharusnya aku tahu Freya mana mungkin selamat dari kecelakaan itu.”

“Aku tidak mengenal Freya, tapi kamu tahu? Aku belajar banyak dari orang yang sempat membuat Freya bahagia.”

Berhenti tenggelam dalam rasa bersalah, dunia tidak selalu menghujammu dengan kesalahanmu namun dunia menawarkanmu dengan berbagai kenyamanan, ketenangan, dan keindahan, sayangnya semuanya terabaikan dengan rasa bersalah. Dunia yang terang ini bisa saja menjadi menyeramkan itu semua karena kegelalapan. Dirimu bisa saja berada dalam kegelapan namun bukan berarti dirimu harus gelap mata.

“Apa kamu membenciku?”

“Tidak.”

“Mengapa?”

“Karena Freya pergi itu untukku, jika Freya masih hidup aku  tidak akan ada disini.” Ucapku pelan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar