
Kerumunan tampak di sebuah papan pengumuman. Orang-orang berdesakan seakan-akan secarik kertas yang berada di papan pengumuman begitu berarti. Terdengar suara mereka yang terjepit di antara kerumunan. Terdengar suara girang bahkan sesekali ada yang berpelukan, sambil berteriak-teriak.
Beberapa meter dari kerumunan itu tampak seorang gadis, dengan kulit putih yang terkesan pucat dengan sweater merah di tangannya. Matanya menatap nanar kerumunan yang berada di hadapannya. Gadis itulah aku. Quinsa itu namaku. Panggil aku Quin.
Terik panas membuatku harus menunggu di bawah pohon. Matahari begitu gagahnya memancarkan cahayanya. Cahaya yang membuat kulitku tersengat. Sesekali tampak beberapa orang keluar dari kerumunan yang berada di hadapanku dengan peluh yang berjatuhan.
Entah untuk apa mereka memaksa harus melihat pembagian kelas di saat yang bersamaan. Padahal waktu yang tersedia sangat banyak untuk melihat secarik kertas yang seharusnya tidak begitu penting.
Kulangkahkan kakiku kearah kerumunan yang kini mulai menyepi. Tanganku mencari-cari namaku di kertas. Ah lagi-lagi IPA 1 tepatnya XII IPA 1. Huft ada rasa lelah harus bersaing di kelas unggul.
Kulangkahkan kakiku kearah koridor yang di penuhi anak-anak kelas lain. Beberapa kali aku harus mengalah dari mereka yang pergi bergerombol. Yups aku terbiasa seperti ini sendirian yang membuatku merasa bebas melakukan apapun. Entah siapa yang mampu menghentikan keegoisan yang kumiliki. Tapi aku percaya suatu hari nanti aku akan bertemu dia. Dia yang membuatku merasa berharga, atau seseorang yang membuatku merasa aku terlalu bodoh melakukan hal egois seperti saat ini.
Kakiku berhenti saat melihat kelas yang kutuju. Kulangkahkan kakiku di kelas baruku. Kelas yang akan menjadi tempatku selama setahun kedepan. Mataku menatap seisi kelas. Ah kursi yang tersisa hanya bagian belakang. Tidak ada seorangpun yang menatap kearahku saat aku berada di dalam. Bahkan mereka yang satu kelas denganku sewaktu kelas XI hanya menatapku dengan senyum yang entah asli atau palsu.
“Quinnnn, kelas ini juga yaaa? Hem kita tiga tahun bareng dong.”
Aku membalikkan tubuhku melihat kearah siapa yang sedang berbicara kepadaku. Ah Hana dia temanku. Yups orang-orang yang masuk golongan teman menurut diriku. Kubalas teriakannya dengan senyuman.
Aku mengambil sapu tangan dari tasku dan membersihkan meja dan kursi yang kududuki. Liburan memang hanya satu minggu namun debu yang tidak terlihat tentulah ada. Ah debu terkadang seperti perasaaan, tidak perlu menunggu lama, perasaan sayang pasti ada hanya mungkin tidak terlihat.
Tiba-tiba tanganku merasa ada yang ganjil, oh Tuhan. Aku segera berlari keluar tanpa melihat kiri kanan.
Brukkkk………..
Ah sial tubuhku seperti tertabrak benda yang keras. Tubuhku terlempar ke lantai. Mataku segera kubuka memastikan apa yang ku tabrak. Seorang anak lelaki yang wajahnya tampak asing di mataku, ku tatap dalam-dalam matanya, tampak kecemasan di matanya.
“Ah maaf, aku enggak sengaja.” Kata itu yang terlontar dari bibirnya.
“Ah takapa.” ujarku sambil mencoba berdiri.
Mataku tertumpu pada sweater yang berada di tangannya.
“Punyamu?” Tanya ku sambil menunjuk kearah sweater yang ada di tangannya.
“Oh, ini milikmu. Tadi aku melihatmu meninggalkannya di papan pengumuman.” Jawabnya pelan sambil menyerahkan sweater yang di tangannya.
Aku berjalan kearah kursiku sambil membersihkan rokku yang terkena debu. Mataku menatap kursi yang berada di sampingku yang kini terisi. Ah terisi dengan anak laki-laki yang sama yang menabrakku beberapa menit yang lalu. Tampak dia begitu sibuk mengelap debu di mejanya dengan telapak tangannya.
“Butuh ini?” tanyaku sambil menyodorkan sapu tangan milikku.
“Oh terimakasih.” Jawabnya.
Aku memperhatikan tangannya yang cekatan membersihkan mejanya. Aku melihat nama sekolah di bajunya.
“Kalimantan Utara.” Gumamku pelan.
“Ha?” dia menatapku lembut.
“Oh ya, kenalin Genta.” Ujarnya sambil menjulurkan tangannya.
“Quinsha, biasa di panggil Quin.” Ujarku menyambut tangannya.
Entah mengapa aku merasa nyaman dengan Genta, anak laki-laki yang kini berada di sampingku. Cerita-ceritanya tentang kehidupannya, bahkan cerita tentang kepindahannya menjadi cerita yang menarik bagiku. Aku menyukai orang yang berada di sampingku saat ini untuk pertama kalinya aku bisa merasa nyaman berbagi cerita dengan orang lain.
“Quin! Di cari Radit tuhhh.” Hana mengejutkanku dengan panggilan.
Kulangkah kakiku keluar. Huft ada rasa aneh bagiku. apa hubunganku dengan Radit? Aku bahkan tidak begitu mengetahuinya.
“Ciee Quin….. sekarang sama Radit ya?” Hana menghentikanku sebelum sampai di pintu dengan lelucon yang aneh.
“Quin.” Radit tersenyum saat melihatku.
Radit adalah ketua kelas kelasku saat kelas XI. Wajahnya lumayan ganteng. Lucu juga orangnya.
“Ya?” ujarku pendek.
“Ayo, kesini.” Tangannya menarik tanganku.
Melewati koridor sekolah. Aku tidak begitu tahu akan kemana Radit mengajakku. Yang pasti Radit punya tujuan. Kakinya berhenti di depan sebuah pohon, aku mengikuti kakinya berhenti di depan pohon kecil yang mulai layu.
“Kamu tahu ini apa?” radit menatapku dalam.
“Pohon.”
“Ini pohon yang jadi tanggung jawab kita selama kelas XI, aku mau pohon ini enggak selayu ini. Jadi aku mau ngajak kamu sosialisasi ke adik kelas yang sekarang ngeduduki kelas kita dulu buat ngejaga ini.”
What? Cuma tentang pohon? Sepenting ini kah sebuah pohon? Aku menatap Radit dengan tatapan kesal.
“Radit kita kesini dengan jarak yang lumayan. Setelah sampai kita Cuma ngerjai begini? Sosialisasi? Mereka paham sendiri kok.” Jawabku kesal.
Radit menatapku sambil tertawa. Kemudian memukul pelan keningku. Untuk pertama kalinya Radit melakukan ini. Ada rasa aneh. Yups. Aku meninggalkan Radit disana. Meninggalkan Radit dengan tawanya yang seakan begitu puas.
Sesampai di kelas aku duduk dengan muka yang masih kesal. Mataku menatap sekeliling kelas. Membosankan mungkin. Bukan mungkin tapi memang. Sepuluh menit lagi jam berakhir. Ku tarik nafasku pelan. Ku bereskan semua barang-barangku.
“Quin.” Hana menyapaku sambil duduk di sebelahku.
“Ya.” Jawabku pelan.
“Ngapain sama Radit?”
“Enggak ada, enggak penting tau.” Jawabku menunjukkan muka kesalku.
“Quin, jangan terlalu dekat dengan Radit ya.” Hana menatapku dengan sungguh-sungguh.
“Why?”
“Karena aku suka Radit, aku kagum sama Radit, aku ngerasa nyaman sama Radit.” Hana berbisik ketelingaku.
“Oh, iyaiya Han.” Jawabku sambil melangkahkan kakiku keluar.
Bel berbunyi aku berjalan keluar, melewati koridor menuju asrama dengan Hana yang cerewet berada di sampingku. Huft kadang kecerewetannya membuat kepalaku agak terganggu. Tapi hanya dialan yang paham siapa aku, apa yang aku butuhkan.
“Quin.” Aku menoleh mencari suara yang menyapaku, suara laki-laki yang pasti bukan suara Hana.
Aku menatap Hana yang kini tersenyum simpul kearah samping. Kutolehkan mataku ke arah senyuman Hana. Ah mataku menangkap sosok Radit di depanku. Aku mencoba tersenyum, ya senyum palsu.
“Quin, kalau aku sama Radit gimana?” Tanya Hana.
“Oke, oke aja kok Han.”
“Quin, Radit itu perfect. Please jodohin gue sama dia.” Hana berbisik ketelingaku.
“Iyaiya, aku duluan Han.” Ujarku saat aku tiba di kamarku.
Kuperhatikan isi kamarku. Masih seperti saat aku meninggalkannya seminggu yang lalu. Aku melihat kearah luar dari jendela kamarku. Jendela yang kumiliki sangat strategis. Aku bisa melihat asrama anak laki-laki dan lapangan basket dari sini.
Tiba-tiba telefon di kamarku berbunyi. Entah siapa yang menelefonku aneh.
“Quin disini.”
“Hai Quin ini Radit.” Terdengar suara dari seberang.
“Kenapa Radit?” jawabku
“Kelas mana Quin?”
“Yakin pertanyaannya enggak salah? Tadikan kamu udah datang kekelas aku.” Ujarku.
“Maaf Quin. Quin sore ini kita keluar ya? Entah kenapa aku kangen liat kamu. Kita udah enggak satu kelas lagi sekarang.”
“Radit? Enggak salah? Kita enggak pernah dekat selama ini.” Ujarku
“Quin……. Udah mau enggak?” Tanya Radit mengalihkan pembicaraan.
“Iya. Tungguin di gerbang jam 3. Pulangnya jam 5 aku enggak mau lewat dari situ.” Jawabku sambil menutup telefon.
Aku mengambil segelas air untuk menelan obat yang jumlahnya tidak sedikit. Ya. Hari-hariku di ikuti dengan obat-obatan. Tubuhku lemah, kulitku pucat. Aku berusaha menjadi orang biasa.
Jam 3 aku berjalan menuju gerbang sekolah. Ku lihat Radit disana. Sampai saat ini aku masih bertanya-tanya untuk apa dia mengajakku keluar.
“Quin. Jalan aja ya? Mungkin lebih sehat jalan di hari yang mendung gini.”
“Oh boleh ujarku.”
Kami berjalan sekitar tiga puluh menit untuk tiba di sebuah taman. Taman yang sering kita jadikan tempat kumpul saat masih satu kelas. Kami bermain disana, bercerita atau sekedar berkejaran. Sampai ketika di jalan pulang hujan turun. Ah aku tidak menyukai hujan yang membuat tubuhku terasa tidak enak.
“Mau berteduh dulu?” Radit bertanya kepadaku.
“Ah lanjut aja jawabku.”
*****
Pagi harinya tubuhku memucat, badanku terasa berat. Aku memaksakan diriku kesekolah. Sesampai di sekolah tubuhku terasa begitu berat. Aku ambruk saat tiba di kursiku.
“Quin.” Aku mendengar suara Genta disana.
“Aku enggak papa Genta.” Jawabku pelan.
Akhirnya tubuhku tidak sanggup, aku ambruk dan di beri pilihan kembali keasrama atau kerumah sakit. aku memilih pilihan pertama. Aku menghabiskan hariku di kamar asrama yang sangat sunyi. Aku memperhatikan anak-anak lain saat pulang sekolah dari jendela kamarku. Aku melihat wajah Genta dari atas sini. Asramaku berada di lantai dua. Mata Genta menatap ke barisan asramaku seakan-akan mencari sesuatu. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.
Telefon dikamarku berbunyi. Aku beranjak dari tempat tidurku.
“Quin di sini.”
“Hai, Quin ini Genta.”
“Oh kenapa Gen?”
“Ini ada tugas yang harus dikumpul besok. Biologi halaman 13 yang bagian ganda.”
“Oh terimakasih Genta.” Aku benar-benar tidak menyangka dia begitu peduli padaku.
“Kamarmu lantai satu atau dua Quin?” Genta bertanya padaku.
“Lantai dua Gen, liat aja yang jendelanya kebuka yang gordentnya warna biru muda.” Jawabku.
“Quin kejendela sekarang.”
Aku bingung maksud Genta. Dengan ragu kulangkahkan kakiku ke depan jendela. Ah. Aku melihat Genta di luar sana dengan tangan yang melambai. Kemudian aku melihatnya berlari masuk keasrama laki-laki. Aku segera berjalan menuju telefon yang terlantar beberapa menit.
“Udah liat aku kan?” suara Genta terdengar disana.
“Udah Gen.” jawabku.
Aku memutuskan menyudahi pembicaraan dengan Genta, karena suara ketukan di pintu kamarku. Aku beranjak membukakan kamarku. Aku melihat wajah Hana disana dengan wajah yang sedih. Aku agak asing melihatnya Hana tidak pernah semurung ini.
“Kenapa Han?”Tanyaku.
“Quin, aku mau kamu jujur.”
“Iya kenapa?”
“Kamu kemarin pergi keluar sama Radit?”
“Oh itu iya. Dia yang ngajak aku kemarin.”
“Quin, kok kamu gitu sih? Aku kan udah bilang aku suka Radit kenapa masih pergi-pergi sama Radit sih?” Hana berbicara sambil berlalu dari pandanganku.
Aku mencoba mengejar Hana. Aku merasa bersalah. Iya bersalah, rasa bersalah yang dalam. Namun Hana hanya mengacuhkanku. Membuatku memutuskan untuk membiarkannya sendirian dulu.
Sejak hari itu, aku tidak pernah bertegur sapa dengan Hana. Tiap kali aku ingin tersenyum, aku terlebih dahulu melihat Hana membuang wajahnya. Sejak hari itu pula aku dekat dengan Genta. Kami sering melakukan hal bodoh. Berbicara dari kamarku ke lapangan basket. Terkadang kami menjadi satu partner dalam hal-hal berbau seni atau pelajaran.
Lalu dimana Radit? Aku mengacuhkan Radit sejak Hana membenciku. Sesekali aku melihat Hana berjalan bersama Radit. Aku merasa bahagia saat itu. Walaupun sesekali Radit masih menghubungi aku mencoba benar-benar mengacuhkannya. Mencoba memberi kesempatan kepada temanku Hana. Ya dia masih temanku.
Hari itu aku berada di klinik sekolah kesehatanku semakin drop. Seseorang menyentuh pundakku. Aku menoleh untuk melihat siapa yang melakukannya. Ah ternyata Radit. Aku melupakan bahwa dia adalah Dokter di klinik ini. Bukan dokter sih tapi anggota PMR yang udah profesionallah.
“Quin… kenapa?”
“Apanya?” tanyaku sambil menatap mata Radit.
“Kenapa selalu enggak peduli? Kenapa enggak pernah ada waktu buat ketaman.”
“Radit…. Ada orang lain yang lebih peduli denganmu dari jauh. Perhatikan mereka. Jangan terlalu terfokus dengan mereka yang kamu anggap berharga. Ingat ada mereka yang membuatmu di hargai diluar sana.”
“Quinnnn…. Aku nyaman sama kamu, aku nyaman sama dinginnya kamu. Aku nyaman sama kelemahan kesehatan kamu. Aku bisa kok jadi dokter buat kamu. Aku usahakan ada di saat sakitmu kambuh.”
“Raditt…. Aku boleh minta satu hal?” aku membuang mataku dari pandangan tajamnya.
“Apa?”
“Jadian sama Hana ya.” Ujarku sambil berjalan meninggalkan klinik.
Mulai saat itu, aku mulai intens melihat Hana bersama denga Radit. Ah andai saja aku masih bisa melihat Hana tersenyum, senyum yang di berikan untukku. Pasti semuanya lebih baik dari ini.
Dan aku? Aku tidak sendiri aku ada bersama Genta. Genta teman yang baik. Teman yang selalu ada di sampingku. Termasuk jadi partner saat ulangan.
“Quin.” Suara Genta membuyarkan lamunanku saat sedang jam istirahat.
“Kamu akhir-akhir ini semakin pucat. Kamu enggak papa?” lanjutnya.
“Enggak papa, Genta.” Jawabku.
“Kamu sebenarnya sakit apa? Kenapa tiap hari bawa jaket? Enggak panas, enggak hujan tetap aja bawa. Apa kamu punya masalah kesehatan?”
“Jawab Quin. Aku temanmu aku berhak tahu tentang dirimu.” Lanjut Genta.
“Ada waktunya Genta.” Jawabku pelan.
****
Sore ini aku memutuskan berjalan ketaman. Sekedar berjalan-jalan atau menghirup udara segar. Aku melihat orang yang kukenal disana. Ada Genta di kursi taman. Aku berjalan kearahnya mencoba mengejutkannya. Aku menatapnya dengan dalam. Ah aku begitu menyayanginya aku sudah menganggapnya seperti abangku sendiri. Senyumnyalah yang selalu membuatku bisa melawan dropnya tubuhku.
Saat hampir tiba di kursi Genta. Aku melihat seorang gadis berjalan kearah Genta. Duduk disampingnya. Bahkan bersandar di bahunya. Tuhan. Aku down. Aku emosi. Aku merasa aku yang pantas disana. Aku menatap dalam-dalam gadis yang kini memegang tangan Genta dengan eratnya. Mataku terasa berkunang-kunang jantungku berpacu dengan kuatnya.
Aku mendekati mereka. Aku menatap mereka. Gadis itu Hana.
“Genta.” Ujarku dengan mata yang panas.
“Hana?” sapa ku dengan mata yang begitu marah.
“Kalian pacaran?”
“Enggak Quin kita temenan aja kok.” Jawab Genta sambil berdiri berjalan kearahku.
Aku memutuskan pergi sebelum Genta sampai ke tempatku. Aku bodoh iya bodoh. Aku membuat orang yang di sukai temanku membenciku hanya untuk memberinya cela mengenal temanku. Lalu siapa temanku? Dia orang yang menyimpan dendam. Aku tidak masalah jika dia memegang tangan Genta. Memeluk Gentapun bukan masalah. Tapi jangan saat ini. Saat aku mulai menghargai kehadiran Genta, saat aku mulai merasakan Genta adalah yang terbaik.
Genta dia orang yang membuatku jauh dari keegoisanku. Beberapa kali dia mengajakku mengunjungi panti social membuatku yakin dia orang yang kucari. Orang yang penuh dengan kepedulian.
Tapi saat ini. Genta menghancurkan semuanya. Menghancurkan senyumku yang tersungging saat aku bertemu dengannya. Dan Hana dia yang lebih jahat dari semuanya.
Andai Hana tahu aku begitu berusaha membuat Radit menyukainya. Tapi dia menyukai orang yang kini kusukai.
Sesampai kamarku aku memutuskan tidur, tidur dengan hati yang panas. Hingga saat paginya terbangun aku merasakan tubuhku begitu lemah. Aku memaksakan diri kesekolah. Jam kedua aku ambruk. Aku memutih aku tahu aku salah, aku tidak menelan obatku tadi malam.
Aku terbangun dirumah sakit dengan oksigen yang terpasang di hidung. Infus yang di tangan, dan Radit yang ada di sampingku.
“Quin….” Aku mendengar suara Radit.
“Kamu harus istirahat. Makanya obat diminum Quin. Leukimia itu mematikan Quin. Jangan terlalu banyak pikiran.” Radit melanjutkan ocehannya.
Untuk pertama kalinya aku melihat Radit begitu peduli. Tapi aku tidak melihat Genta disini, atau bahkan Hana.
Mataku terasa panas saat mengingat mereka berdua.
“Kenapa? Genta sama Hana?”
“Udah jangan di pikirin.”
“Ada yang pernah bilang, jangan terlalu memperdulikan mereka yang kamu anggap berharga. Diluar sana ada yang lebih menganggap kamu berharga tapi kamu mengacuhkannya.”
Aku menatap kearah Radit. Aku mencoba tersenyum mendengarnya.
"Kamu itu kaya pohon didepan kelas yang pernah aku kasih tahu. Kamu itu berharga buat aku Quin. Walaupun kamu layu, kamu enggak sesempurna mereka yang lain .aku disini kok buat kamu." Radit menatap mataku dengan sangat dalam.
Ahh aku merasa bodoh saat ini.
Aku membiarkan mataku mengitari ruang yang kutempati saat ini.
Mereka yang kamu anggap teman, mungkin memang teman yang sempurna dalam lingkaran pertemanan tapi tidak untuk perasaan. Setiap orang berhak atas perasaannya. Setiap orang berhak memilih.
Jika mereka berharga bagimu. Katakan. Apapun reaksinya setidaknya dirimu tidak sakit saat melihatnya lebih menghargai orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar