Minggu, 20 November 2016

[Cerpen] - Titik Hitam dan Merah Muda


Jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, matahari masih berada di atas sana, memberi sinar yang hangat atau bahkan ini bisa di sebut sangat panas, matahari masih menunjukkan keperkasaannya di atas sana, seakan-akan enggan turun. Dedaunan sesekali terlihat bergoyang-goyang di karenakan hembusan angin, tunas baru tampak memberi warna baru pada dedaunan, sedikit kemerahan.

Hari ini untuk pertama kalinya kota ini begitu hangat, setelah seminggu lebih di guyur hujan. Ini bulan desember, bulan hujan begitu orang-orang menyebutnya sambil tersenyum, kemudian
mengutuki saat berita banjir beredar dimana-mana.itulah manusia, tersenyum saat bercerita tentang kebahagiaan kemudian mengutuk saat berbicara tentang kesedihan. Menarik diri dari bagian yang di persalahkan. Setiap mereka akan berteriak, bukan salahku jika banjir datang , padahal tiga bulan yang lalu mereka membuang sampah di sungai kecil di ujung jalan.

Banyak warga yang berkumpul di taman ini, mungkin karena weekend, atau mungkin karena cuaca yang bagus. Taman ini masih sama seperti dua tahun yang lalu, taman bermain untuk anak-anaknya masih sama, hanya saja ada dua ayunan yang di tambah, dan cat berwarna cerah yang telah pudar dan berganti dengan cat berwarna gelap dan suram.

Sepertinya anak-anak tidak terganggu dengan cat  yang pudar, mereka tetap saja bermain. Tertawa, tersenyum, ada yang menangis karena terjatuh, ada yang menangis karena tidak mau pulang, beberapa orangtua bahkan menunjukkan wajah panik sambil berjalan mengelilingi tamannya, ah setiap orang tahu apa artinya.

Seorang perempuan dengan kemeja coklat tampak diantara keramaian taman, wajahnya terlihat ayu dengan tambahan kaca mata dengan frame berwarna coklat. Tangannya memegang buku setebal 4 cm, jari telunjuknya masuk kedalam buku, seakan-akan memberi batas di sana.

Rambutnya yang terurai sebahu dibiarkan lepas begitu saja di terpa angin, matanya tajam, seakan-akan berbicara. Tidak ada senyum di wajahnya, hanya ada ekspresi datar, begitu datar bahkan tidak ada satu orang pun yang tahu untuk apa dia disana.

Ini bukan arena remaja, ini taman bermain anak-anak. Sementara perempuan itu? Dia sendirian, tidak dengan siapa-siapa hanya bersama sebuah tas punggung berwarna merah tua. Tidak ada anak kecil bersamanya.

Kakinya berhenti di sebuah kursi taman yang berwarna merah pudar, membiarkan tubuhnya tersangga dengan baik disana. Kini tangannya membuka buku setebal 4 cm itu, memperbaiki frame kacamatanya kemudian membaca dengan tenang.

Jadi dia kesini hanya untuk membaca????


****

“Re??”

“Ya?” perempuan yang di panggil Re membalikkan tubuhnya.

“Alby!!!” Re berlari  kearah Alby.

Alby yang pernah menjadi  kapten basket itu kini dengan cepat menghindar, gerakannya tentunya lebih gesit dari Re, tangannya masih memegang buku bersampul biru muda. Alby membiarkan Re terus mengejarnya, Re benar-benar payah dalam masalah berlari. Dasar kutu buku, dirinya bahkan berkali-kali hampir terjatuh, Re mati-matian mengejar Alby padahal Alby hanya menghindar dengan gerakan manis.

Re berhenti dan duduk di bawah pohon rindang yang tampaknya sejuk, matanya menatap Alby yang kini berada sepuluh meter dari dirinya, Re duduk diam, menatap kejauhan seakan-akan tidak melihat Alby disana.

Alby menatap ekspresi Re dari jauh, Alby berjalan sambil tersenyum penuh kemenangan. Dari dulu memang Re selalu kalah.

“Dapat!!!” Re berteriak mengejutkan Alby.

Alby tertangkap dijarak dua meter dari tempat Re berada, kali ini Re bergerak gesit, harusnya Alby lebih waspada. Alby hanya terkekeh pasrah, toh cepat atau lambat dirinya pasti akan membiarkan Re memegang buku yang baru saja dibelinya beberapa jam yang lalu.

“Wow.”

“Suka ?”

“Suka sih, tapi kan ini bukan punya aku.” Re berkata sambil memanyunkan bibirnya.

“Katanya tahu kapan bakal keluar nih novel, buktinya aku duluan.” Alby tersenyum penuh kemenangan.

“Iya, menang deh.” Re memberikan buku bersampul biru itu kepada Alby.

“Kalah artinya...”

“Traktir, iya, ayuk.” Re menarik tangan Alby.

Re tiba-tiba melepaskan tangan Alby, entah mengapa tangan Alby begitu dingin, ada yang salah? Atau Alby sakit? Atau? Re menatap mata Alby yang sepertinya bertanya.

“Kenapa?”

“Gapapa. Ayuk.” Re berjalan duluan.

Alby mengikuti dari belakang sambil memasukkan bukan tebal bersampul biru kedalam tas punggungnya. Seperti ada ketakutan di wajah Alby, matanya menatap punggung Re yang berjalan didepannya.

“Eh tunggu.” Alby berteriak sambil berlari kedepan Re.

Re menatap tajam, bingung bercampur kaget. Alby membukakan pintu bening kafe yang mereka datangi, tersenyum kearah Re, menutup kembali saat Re telah masuk. Alby tersenyum jahil melihat ekspresi kaget Re. Bagian terbaik dari perempuan yang ada di hadapannya kini adalah matanya, matanya bercerita.

“Tumben mau bukain pintu.”

“Ya, gapapa. Mau ngehargain kamu aja sebagai perempuan.”

“Jadi laki-laki itu harus ngejaga perempuan ya?” Re memicingkan matanya sambil membuka daftar menu.

“Gak juga sih, beberapa laki-laki bahkan di jaga sama perempuan.”

“Oh ya? Contoh.”

“Ibuku menjagaku sejak kecil.”

“Alby? Suka lucu ya.”

“Garing sih.” Alby berbicara sambil mencari pelayan.

Keduanya terhanyut pada pikiran masing-masing sembari menunggu pesanan, diluar hujan jatuh dengan derasnya, baru saja. Untungnya mereka sudah berada di sini, sebuah kafe dengan nuansa kemerahan yang hangat. Kendaraan tidak lagi seramai tadi, hanya beberapa mobil yang terlihat lewat. Dari kaca yang berada di sebelah kirinya Re menatap jalanan, deburan air hujan yang jatuh membentuk titik-titik indah di jalanan, ingin rasanya dirinya berada di luar sana, memegang setiap tetesan air, merasakan dinginnya angin.

Tapi Re sadar dirinya tidak lagi anak kecil, dirinya sudah dewasa, dan kesehatannya tak sebaik dulu. Siapapun pasti sadar bahwa semakin umur bertambah semakin pula kesehatan sulit di kendalikan.

“Re?”

“Ya?” Re menoleh kearah Alby.

“Kamu tahu ga? Tiap kali hujan aku selalu ingat waktu pertama kali kita ketemu.”

“Halte, hujan, konsentrasi.” Re menyebut inti-inti pertemuan mereka.

Alby tersenyum sambil menatap jalanan melalui  kaca yang ada di sebelah kanannya. Seperti kembali pada memory lama.

****

Perempuan yang berada di taman anak-anak itu kini sudah membaca sekitar 15 halaman, kacamatanya sudah berkali-kali turun. Namun tangannya begitu gesit memperbaiki letak kacamatanya. Matanya masih tetap terpaku pada buku bersampul biru yang ada di hadapannya, dirinya benar-benar merasa ada di dunia cerita yang ada di dalam bukunya.

Jari lentiknya kembali melakukan gerakan membalikkan halaman, namun matanya menatap kejauhan sejenak, memberikan ketenangan pada matanya, matanya terlalu lelah membaca tulisan kecil dibuku yang ada di tangannya.

Matanya menangkap sepasang insan dengan seorang anak berumur sepertinya berusia tiga  bersama mereka, si wanita tidak henti-hentinya tersenyum saat anaknya bermain seluncuran yang memang di khususkan untuk anak seumuran itu. Sementara si laki-laki yang sepertinya ayahnya menatap dari lembut kedua perempuan yang ada di hadapannya.

Kemungkinan besar keduanya adalah suami istri, mereka terlalu dekat untuk ukuran sepasang kekasih, lagian siapa pula yang pacaran sambil membawa anak kecil? Siapa pula yang telah mempunyai anak ketika masih menjadi sepasang kekasih.

Tiba-tiba si laki-laki yang kemungkinan besarnya adalah ayah dari anak kecil itu menatap kembali ke arah mata perempuan berbaju coklat yang masih duduk di kursi merah pudar dengan buku tebal di tangannya.

Laki-laki itu memberikan senyum, begitu manis.

Perempuan berbaju coklat itu hanya mampu mengangguk sambil tersenyum, ada perasaan dongkol pada dirinya mengapa menatap terlalu lama, siapa pula yang tidak merasa jika ditatap terlalu lama. Tangannya kembali mengangkat buku ke depan wajahnya dan kembali membaca.
****

“Reine?”

“Yap?” Re menoleh sambil menghirup tehnya.

“Aku boleh bilang sesuatu?”

“Boleh asal kamu traktir.” Re tersenyum jahil, rambutnya menutupi wajahnya saat tiba-tiba seorang pengunjung masuk.

Ternyata angin diluar sana begitu kencang, salahnya juga mengapa mengambil tempat di dekat pintu masuk, tentu saja siapapun yang masuk nantinya akan memberikannya angin yang dingin. Re merapikan rambutnya dengan cepat, kemudian kembali fokus ke arah Alby.

“Kita udah temenan satu tahun lebih ya, dari aku koas sampe sekarang udah jadi dokter beneran.”

“Kayanya sih, eh iya sih.” Re menaikkan bola matanya keatas seperti berusaha mengingat.

“Kamu percaya gak kalau perasaan itu muncul karena keseringan bareng?”

Re terhenyak, Re sudah mengerti akan kemana arah pembicaraan ini, namun dirinya berusaha tenang, membiarkan Alby menyelesaikan semuanya, toh bisa saja terkaannya salah.

“Aku Cuma mau bilang, ini buat kamu.” Alby mengeluarkan buku bersampul biru yang sedari tadi mereka perebutkan.

“Atas dasar apa?”

“Atas dasar aku minta kamu jadi orang yang berarti buat aku.” Alby menjawab perlahan, begitu tenang.

“Alby? Kamu tahu kan resikonya apa? Aku kamu itu mulai temenan ini karena hal sederhana, kemudian kita saling kenal. Jalan bareng, nyari matahari bareng, main hujan bareng. Kemudian kita sampai dititik sekarang saat hal sederhana yang kita punya jadi hal kompleks, aku gabisa nerima kalau ini Cuma buat ngehancurin pertemanan kita.” Re berbicara pelan sambil menatap kearah kaca yang kini menunjukkan jalanan yang kini  dipenuhi lampu.

“Re, aku, kamu itu udah dewasa. Kita bisa saling ngejaga perasaan. Aku sayang kamu, dengerin aku. Dan aku gak mau siapapun ngerubah semuanya. Aku berhenti di kamu Re.”

“Alby, tapi kita..”

“Kita bisa ngebuat temenan jadi lebih kan?”

“Alby? Dengerin aku.”

“Aku Cuma mau bilang itu aja dari tadi Re, kalau kamu mau tahu. Aku gak suka sama sekali buku ini, aku beli ini karena kamu, kamu yang sibuk banget dari dua bulan yang lalu tentang buku ini kan? Aku ngelakuin ini buat kamu.”

“Tapi janji ya? Kita gak akan pernah stop temanan, walaupun mungkin kamu atau aku malah ngelanjutin dengan orang lain.” Re memberikan jari kelingkingnya, sambil tersenyum.

“Janji.”

Alby membalas jari kelingking Re. Tangannya kini memegang lembut tangan Re. Perempuan yang ada di hadapannya adalah perempuan konyol yang ditemuinya satu tahun yang lalu. Perempuan dengan pakaian kantor yang begitu memikat, dengan senyum yang jarang sekali di keluarkan. Saat ini perempuan itu ada di hadapannya, namany Reine dan dia adalah kekasih Alby saat ini. Mulai saat ini.

“Jangan pernah ngerubah kata “Kita” jadi aku dan kamu lagi ya Alby.” Re tersenyum hangat.

Alby tersenyum sambil mengangguk pelan.
*****

Re tampak berjalan terburu-buru dengan celana jeans dan kaos panjang merahnya. Kakinya kini memasuki ruang rumah sakit, huh. Betapa sejuknya, tubuhnya seperti di beri hal yang istimewa. Bayangkan saja di luar sana matahari memikat dengan kuat, memberi rasa panas yang menyakitkan bagi setiap orang yang berada di bawahnya.

“Hei.” Alby menarik tangan Re yang berdiri terpaku merasakan AC yang menyejukkan.

“Hello By.” Re membiarkan Alby menariknya kearah kantin.

“By?” alby mengeryitkan kedua alisnya ketika mereka telah duduk berhadapan.

“Iya nama baru buat kamu.” Re tersenyum girang. Matanya berkata sama dengan senyumnya.

“Suka suka, aku panggil kamu Re ya?”

Re sedikit memicingkan matanya.

“Bukannya memang Re ya dari dulu?”

“Iya memang, udah baca bukunya?”

“Belum, aku masukin kotak “pemberian” sayang buat di baca. Setidaknya kalau kamu keluar kota dia
bisa ngingatin aku tentang kamu.” “Duhh, padahal sebelum bukunya keluar sibuk mau baca.”

“Ini beda By.”

“Aku nanti sore mau berangkat keluar kota By.”

“Oh iya? Jam berapa? Aku anterin.”

“Jam empat , gakusah. Gakusah repot-repot nanti ada Rani yang anterin aku kebandara.”

“Aku harus di sana Re.”

“Siapa tahu itu terakhir kali aku ngeliat kamu.”

Re menjatuhkan sendoknya, Alby menatap kaget, mengira Re marah. Namun Re malah menarik air mineralnya dengan cepat dan memindahkan sebagian isinya kedalm perutnya. Dasar konyol, sering sekali membuat orang lain berpikir lain.


“Re hati-hati ya disana.”Rani memeluk Re hangat.

Mereka berteman sudah cukup lama, sejak mereka berada di kantor yang sama. Memang Rani terlebih dulu berada di kantor itu, namun jika berbicara tentang pangkat atau jabatan Re masih berada di atas Rani. Rani, perempuan ini sangat menyukai warna biru tua. Bahkan saat ini dirinya memakai pakaian yang bisa di simpulkan semuanya berwarna biru tua.

Tali sepatu yang berwarna biru tua, jeans dengan warna biru tua, dan sweater yang biru tua. Astaga, begitu cintanya Rani terhadap sebuah warna. Re melepaskan pelukan sahabatnya itu. Sedikit bingung saat melihat Rani menangis. Dasar berlebihan, padahal Re hanya pergi dua hari. Hanya untuk mengecek proyek yang ada di sana. Apa artinya dua hari padahal bertahun-tahun kedepan mereka masih bisa bersama.

Yang berbeda mungkin hanya ruangan yang sepi, Re dan Rani memang berada di ruangan yang sama. Hal itu semakin mendukung pertemanan mereka. Yaahhh, seperti yang orang-orang katakan kedekatan dapat mengubah sebuah perasaan. Awalnya Re tak terlalu menyukai Rani yang begitu hyperaktif dalam berbicara, namun semakin lama Re semakin mengenal seperti apa Rani sebenarnya.

Ponsel Re tiba-tiba bergetar. Membuatnya bergerak dengan cepat mengambil ponselnya di dalam kantong jeansnya.

“Iya By?”

“Belum By.”

“Iya, daah.”

Re menutup ponselnya.

“Siapa?” Rani bertanya sambil duduk dan menyandarkan punggungnya di kursi tunggu.

“Alby.”

“Duh dianterin pacar ya.”

“Yang dokter ganteng itu kan?” Rani berusaha menebak.

“Iya.”

Rani dan Alby sebelumnya tidak pernah bertemu, Rani hanya tahu bagaimana Alby dari cerita-cerita Re, tentang kebersamaan mereka. Tentang hal konyol yang mereka lakukan, dan tentang perasaan Re yang ingin lebih dengan Alby. Cerita itu sudah berlalu lebih dari setahun yang lalu.

“Re..” Alby memeluk lembut Re sambil mengusap kepalanya.

“Hati-hati ya disana.”

“Aku sayang kamu.”

Alby masih berdiri disana, hingga pesawat yang di tumpangi Re meninggalkan bandara dengan nuansa putih itu.

“Pulang sama siapa?” Alby bertanya pada Rani yang hendak pulang.

“Sama taksi.”

“Bareng aja. Gak enak cewek pulang sendiri padahal ada laki-laki disini.” Alby tersenyum hangat.
Rani menatap dalam-dalam laki-laki yang ada di hadapannya, wajar saja Re jatuh cinta, begini toh orangnya.

“By the way, aku suka warna yang kamu pake hari ini.” Alby membuka pembicaraan ditengah kesunyian didalam mobil.

“Oh ya?”

“Ya, aku suka biru gelap. Lebih terkesan keren aja.”

“Sama, Kalau Re sukanya warna coklat.”

“Iya, dia punya seabrek barang dengan warna kaya gitu.”

Rani dan Alby lumayan banyak berbicara, sepertinya sikap Rani yang friendly membuat mereka bisa mengenal dengan cepat. Sesekali Rani megarahkan Alby kearah jalan rumahnya. Re masih menjadi topik pembicaraan mereka, tentu saja. Alby ingin cerita yang banyak tentang Re, selama ini Re lebih banyak diam mengenai dirinya, Re begitu tertutup.

*****

Perempuan beraju coklat itu kini menutup buku tebalnya, memperbaiki frame kaca matanya, dan meninggalkan taman bermain anak-anak yang kini sudah mulai sepi. Matahari bahkan kini sudah mulai menyembunyikan dirinya, seakan merasa bersalah akan panasnya hari ini.

Perempuan itu kini berjalan menuju parkiran matanya kembali menatap pasangan insan yang bersama anak kecil tadi. Matanya masih mencoba mencari arti diantara kedua orang dewasa yang ada di hadapannya, yang kini membujuk anak kecil itu untuk pulang. Sepertinya memang keduanya adalah pasangan suami istrinya.

Lalu apa pedulinya? Untuk apa dirinya peduli? Toh dirinya bukan siapa-siapa keduanya. Perempuan itu kini membuka pintu mobilnya, menghidupkan mesin, dan membiarkan semuanya begitu.

Matanya tertutup, seperti ada perasaan yang mendesak di dalam dirinya. Tangannya kini berada di wajahnya, membiarkannya cukup lama disana. Dirinya hanya ingin menahan agar perasaan itu tak kembali

Tin..tin

Suara klakson mobil mengejutkannya, matanya segera menatap mobil hitam yang telah pergi, sepertinya pasangan suami istri itu. Apa dirinya begitu berkesan sampai di beri tanda jika mereka akan pergi?

Perempuan itu kini melepaskan tas punggungnya, meletakkannya di kursi penumpang yang ada di sebelah kanannya.

Buk..

Sebuah buku terjatuh dari tasnya, ah dasar ceroboh dirinya benar-benar lupa mengunci tasnya. Namun tangannya tidak bergerak mengambil buku tebal itu, tangannya malah menggerakkan mobilnya dan meninggalkan parkiran itu.

Kafe hangat, begitu perempuan itu menyebutnya. Dirinya sering kali kesini. Untuk beristirahat sejenak atau berbagi cerita dengan temannya. Namun kini, itu beda. Dirinya sendiri saat ini. Tangannya masih memegang buku tebal itu, saat memasuki ruangan.

*****

Re menatap murung kearah printer yang ada di hadapannya, dasar pelupa. Harusnya dirinya sudah menyiapkan tinta sejak lama agar tak kehabisan seperti ini, padahal filenya sangat dibutuhkan untuk besok.

Masa depannya disana, begitu Re biasa menyebut setiap file yang dibuatnya.

Re mengambil baju hangatnya, mematikan setiap lampu dan mengunci pintu rumahnya, ini hanya rumah dinas. Bukan rumah milik Re, namun untuk sementara rumah bercat biru muda ini milik Re. Hingga Re nanti akan bersama Alby dirumah yang akan mereka bangun dengan perasaan saling mencintai.

Re mengendarai mobilnya kearah pusat perbelanjaan , Re biasa membeli tinta printer disini, toko kecil di ujung pusat perbelanjaan , di lantai 3. Re bahkan sudah mengenal orang yang menjadi penjual disana, Re melangkahkan kakinya dengan cepat, mengingat dirinya tidak punya waktu cukup lama. Waktu tetap waktu, terkadang mereka yang mengatur kita, padahal pepatah mengatakan aturlah waktu. Tapi sulit, bahkan sangat sulit. Siapapun pastinya terpatok pada waktu, jika kita tidak diatur oleh waktu lalu untuk apa ditetapkan jam makan, jam istirahat, jam tidur danlain-lain?

“Mbak  tinta printernya ya, yang hitam aja.”

“Udah lama gak kesini ya.” Perempuan berbaju putih dengan logo merk toko itu bergerak kearah rak.

“Iya, lupa tanggal mbak, ini udah habis banget.”

“Mau berapa?”

“Tiga aja deh sekalian buat simpanan.” Re berbicara sambil membuka dompetnya.

Re meninggalkan toko dengan cepat. Sesekali matanya menatap jam tangannya, hari ini dirinya harus berada di sebuah proyek pukul 4 sementara saat ini sudah pukul 3.

“Ya Tuhan.” Re menggumam pelan.

Re segera berjalan cepat. Langkah Re tiba-tiba berhenti. Matanya menatap satu titik, ada Alby disana, diujung sana. Disebuah tempat makan, tidak biasanya Alby makan disini. Dan wajahnya sepertinya begitu bahagia, sesekali bibirnya bergerak seperti menceritakan sesuatu, artinya Alby tidak sendiri. Tapi siapa?

Re mendekat perlahan, sejenak dirinya melupakan waktunya yang mepet, sejenak dirinya melupakan file yang disebutnya masa depan.

Matanya perlahan semakin jelas melihat semuanya, melihat hal yang membuatnya sakit. Melihat hal yang membuatnya membenci teman. Re membiarkan air mata mengalir dipipinya. Membiarkan kedua matanya mengeluarkan air mata yang membuatnya terlihat lemah.

“Alby.” Re menegur dengan lemah.

“Re?” Alby menampilkan ekspresi terkejut, panik dan semua yang menunjukkan dirinya bersalah.

Terlebih wanita yang ada di sebelahnya, wanita dengan sweater biru tua, wanita itu kini memucat, senyumnya yang sedari tadi terlihat hilang sudah. Wanita itu kini diam, tertunduk. Menunjukkan bahwa dia salah.

Alby berdiri berjalan perlahan kearah Re.

“Aku gapapa kok By, aku udah tahu kok.” Re berbicara perlahan sambil meninggalkan keduanya.

Alby berlari mengejar Re, namun tanpa suara. Alby tahu jika dirinya bersuara itu akan mempermalukan keduanya, ini pusat perbelanjaan orang-orang akan menatap aneh saat ada teriakan, apalagi saat ini Re menangis.

“Re.” Alby memegang tangan Re yang kini hendak mengeluarkan kunci mobil.

“Aku mau kamu tahu.”

“Iya, aku udah tahu. Aku tahu Alby.”

“Re, aku..”

“Iya kita udahan.”

Re meninggalkan Alby yang masih berdiri dengan rasa bersalah. Re membiarkan matanya mengeluarkan air mata, membiarkan pipinya menjadi tempat mengalirnya air mata. Cukup lama Re berada di titik itu, hingga akhirnya Re menghapus air matanya. Re berusaha kuat, dirinya tidak pernah selemah ini.

Ponselnya berbunyi.

Rani menelepon.

Re menatap tajam layar ponselnya, membiarkan layarnya beganti, membiarkan nada penandanya berhenti, toh sudah tidak ada artinya lagi.
****

Satu minggu sudah Re tanpa Alby dan tanpa Rani. Memang semuanya berbeda, Re mundur sebagai teman seruangan Rani, dengan penuh perjuangan memohon akhirnya Re dan Rani dipisahkan ruangannya. Dan Alby? Dia masih tetap menelepon setiap hari, walaupun Re tak pernah mengangkat walapun Re tak pernah peduli.

Pernah sekali Rani menemui Re di kantin kantor, tapi Re tahu itu hanya basa – basi memberi penjelasan hanya agar dirinya tidak terlihat salah. Rani, teman terbaik. Sangat di percaya, bahkan sangat dekat. Teman mengapa kalian begitu jahat?

Kali ini mungkin untuk keseratus kalinya ponsel Re berdering dengan nama Alby disana. Re menatap nanar layar ponselnya, hatinya melembut, harusnya dirinya tidak sejahat ini.

“Hallo?”

“Re?”

“Ya?”

“Maaf.”

“Ya.”

“Re aku mau jelasin semuanya.”

“Ya”

“Aku gak bisa bohongin perasaan aku.”

“Dulu kamu juga bilang, aku gak bisa nahan perasaan aku, kemudian kamu janji kita gak akan pernah berhenti jadi teman. Kalaupun kita udah pisah.”

“Kita gak berhenti jadi teman Re.”

“Kita berhenti dititik ini Alby, aku salah tentang perasaan aku salah tentang semuanya.”

“Re, aku mau kamu tahu.”

“Alby aku mau kamu tahu aku nyesal pernah bertemu denganmu.”


Re menutup ponselnya, ada rasa sesak didadanya, ada rasa yang ingin di tumpahkannya. Tangannya kini menutupi wajahnya dan bertumpu pada meja kerjanya. Lengan kemeja coklatnya itu kini di penuhi bercak-bercak air mata.

Entah mengapa dirinya begitu sedih, seperti kehilangan hal yang begitu berharga.

Re mengambil tasnya dan menutup ruangannya. Kakinya dilangkahkan keluar dengan mata yang sembab. Tidak ada seorang pun yang menahannya untuk jangan pulang, padahal ini masih terlalu dini untuk pulang. Rekan-rekannya hanya menatap penuh pengertian dan memberinya jalan untuk keluar.
Ada Rani juga disana, matanya terlihat penuh rasa bersalah. Tapi sudah tak ada gunanya lagi. Re sudah menutup dalam-dalam sebuahnya.

Re meletakkan barang-barangnya di sisi tempat tidur, dirinya kemudian menghempaskan tubuhnya. Masih ada rasa sesak didadanya, masih ada air mata yang harus di keluarkan. Matanya menatap nanar langit-langit kamarnya yang di cat putih bersih, membiarkan matanya bertahan disana, membiarkan dirinya terbuai dengan ingatan-ingatan yang begitu jauh.

Re menatap kearah lemari pakaiannya, sebuah kotak berukuran sedang terletak dengan rapi di atas lemarinya. Tubuhnya berdiri perlahan, mengambil kotak yang ada di sana. Kota yang sederhana yang di lapisi dengan kertas berwarna coklat.

Re mengusap bagian atas kotak, begitu berdebu. Sudah terlalu lama mungkin Re melupakan kotak ini.  Re membuka perlahan, Re tahu isinya, ini adalah kotak yang berisi barang-barang pemberian dan Re tahu ada nama Alby disana.

Re mengeluarkan buku bersampul biru dari dalam sana, buku tebal itu kini ada di tangannya. Matanya sudah tak lagi mengeluarkan air mata mungkin sudah lelah dengan semuanya, dan menyerah.

Re meletakkan buku tebal itu diatas tempat tidurnya, matanya melihat kearah jam yang ada di dinding kamarnya. 02.34 dirinya masih punya banyak waktu.

Re berjalan kearah kamar mandi, membasahi wajahnya dengan air, sebelumnya dirinya menggulung tangan kemeja coklat miliknya. Wajahnya kini terlihat lebih baik, bahkan sangat baik.

Sapuan bedak sederhana semakin menambah kesan bahwa dirinya baik-baik saja. Kaca mata dengan frame coklat menjadi pilihannya untuk menutupi ketidakbaikan perasaan yang mungkin terlihat dari matanya.

Re mengambil kunci mobil dan membawa serta buku tebal yang mengingatkannya pada Alby.

****

Perempuan berbaju coklat itu kini sepertinya mulai membaca, namun dirinya kali ini membaca di halaman pertama buku. Ada sebuah tulisan disana, tulisan lama yang menciptakan luka.

To: Reine Adriyata
I’m happy with you, please stay with me, and be a part of me.

“Hei” sebuah sapaan mengejutkannya.

“Ya.”

Laki-laki yang ada di taman??

“Kenalin aku Edwin.”

“Reine, panggil Re.” Tangannya kini menyambut tangan laki-laki yang sejak tadi ada di taman bersamanya namun dalam konteks belum kenal.

“Loh, istrinya mana?” Re bertanya sambil mencari-cari

“Bukan, aduh itu kakak ipar saya, kebetulan anaknya minta di bawain ketaman.”

“Oh.” Re menggumam pelan.

“Oh iya, aku duluan ya.” Ed berjalan kearah perempuan dan anak kecil yang saat ini berjalan kearahnya.

Re tersenyum pada perempuan yang kini sibuk menjaga anaknya. Mereka berpamitan sejenak lalu pergi. Re menatap punggung Edwin yang berjalan menuju pintu keluar.

Re menatap sekitarnya.

Perlahan dirinya mulai memaknai semuanya, pertemanan itu seperti lingkaran. Dimulai dengan hal sederhana, mungkin saja kedepannya dirinya bisa menjadi teman untuk Edwin atau mungkin orang asing lainnya. Tapi ada dua hal yang mungkin menghancurkan lingkaran pertemanan titik hitam yang merupakan kesalahan dan titik merah muda yang merupakan perasaan yang ingin lebih dari sekedar teman.

1 komentar: